Home · Parenting · Konseling · Blogging · Tips · Daftar Isi

Janda CEO 9 (Salah Persepsi Yang Terkuak)

JANDA CEO Part 9
Salah Persepsi Yang Terkuak

Gardin sangat pasrah dan mampu menduga atas keinginan Pak Mochtar ingin bertemu dirinya. Menyiapkan dirinya kalau Pak Mochtar marah padanya. Dia yakin kok, Pak Mochtar pasti mengetahui kalau dia hadir pada saat Maura melahirkan kemarin. Mau gimana lagi, keinginannya sama sekali tidak bisa ia pendam. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
“Selamat ya mas, sudah jadi bapak, akhirnya setelah penantian lebih dari sepuluh tahun ya.” Pak Mochtar mengucapkan selamat pada Gardin.
Gardin tersenyum serba salah, senyumnya garing banget. Karena nggak siap diucapkan selamat. Tadinya benar-benar mempersiapkan mentalnya untuk dimarahi. “Makasih pak.”
Gardin pun mempersilahkan Pak Mochtar untuk duduk di ruang kerjanya.
“Saya sangat berharap, ini terakhir kalinya melanggar janji Mas Gardin sendiri ya. Tapi saya sangat maklum kok. Mas pasti sangat tersiksa kemarin itu.”
Gardin kali ini sangat lega mendengar ucapan Pak Mochtar. “Saya mohon maaf pak.”
“Sebenarnya saya kemari untuk memastikan apa yang Mas Gardin inginkan saat ini?”
“Saya membatalkan menceraikan Maura pak, tapi karena saya terlanjur mengucapkan talak, saya sangat berharap dia mau rujuk dengan saya. Saya masih sangat mencintai dia.”
“Bagai mana dengan Lucy?”
Gardin mendesah. “Sepertinya saya tetap beristri dua pak, saya takut Lucy akan nekad kalau saya menceraikan dia untuk kembali pada Maura. Saya telah menyakiti Maura, saya ingin memperbaiki diri saya dengan meminta maaf dan kembali padanya. Tapi saya juga nggak ingin melukai perempuan lain dengan membuang begitu saja ketika saya tidak lagi mencintainya. Saya tidak ingin menjadi orang plin-plan. Saya akan berusaha keras untuk bisa adil. Tapi bagaimanapun Maura tetap yang utama bagi saya.”
Pak Mochtar terdiam sejenak. “Saya nggak yakin Mbak Maura mau menerima ini.”
“Saya mengerti pak. Mungkin kita harus menyampaikannya pelan-pelan. Saat ini keinginan saya mendapatkan ijinnya untuk menemui dia dan anak kami. Saya nggak mau sembunyi-sembunyi lagi seperti kemarin.”
Pak Mochtar mengerti. “Mas, apakah dua anak muda yang tinggal bersama Mbak Maura adalah orang suruhan anda?”
Gardin nyengir malu-malu karena ketahuan geraknya. “Saya kan hanya berjanji pada bapak untuk tidak menemui Maura pak, tapi bukan berarti saya nggak boleh menjaga dia dengan cara saya kan pak?”
Pak Mochtar pun tersenyum. “Lain kali, koordinasikan dengan saya ya, tujuan kita sama kok, agar istri anda dalam kondisi aman dan tidak kekurangan apapun di sana.”
“Maafkan saya pak. Saya mohon jangan sampai Maura mengetahui mereka adalah orang suruhan saya pak. Saya nggak ingin Maura lebih membenci saya lagi.” Gardin minta dimaklumi.
“Saya mengerti.” Jawab Pak Mochtar. “Ngomong-ngomong besok saya akan ke Brisbane nengok Mbak Maura, ada yang mau dititip untuk Mbak Maura atau bayinya?”
“Ha? Bapak kok mendadak banget?” Gardin kebingungan. “Besok bapak berangkat jam berapa?”
“Pesawat saya jam 8 malam, tapi saya masih akan ke kantor sampai jam 3 sore.”
“Ya sudah pak, sebelum jam 12 siang, akan saya kirim ke kantor bapak besok ya.”
Tak lama Pak Mochtar pun meninggalkan kantor Gardin. Ia pun melepas tamunya hingga keluar ruangan. Setelahnya dia pun menghampiri sang sekertarisnya.
"Mi kamu masih ingatkan selera istri saya?”
“Yang mana pak?”
Hadeuh… pertanyaan macam apa ini, Hanya Maura ratu di hatinya. Harusnya ini sekretaris tahu dong. “Maura…” Gardin setengah berteriak karena kesal.
“Iya pak,” Mia serba salah, tahu kalau dirinya salah bertanya.
Gardin pun menyerahkan kartu kreditnya. “Belikan kalung untuk Maura, dan juga belikan satu boneka Teddy bear ya!”
“Sekarang pak?”
“Terserah, pokoknya besok jam 10 pagi sudah ada di meja saya, dan sebelum jam 12 Subhan sudah harus mengantar ke kantor Pak Mochtar!”
**
Pak Mochtar membunyikan bel di apartemen itu, kali ini Arkan yang membukakan pintunya.
“Saya Mochtar, pengacara Mbak Maura, bisa saya bertemu Mbak Maura?”
Arkan tersenyum. “Silahkan pak, Mbak Maura sudah menunggu kok.” Arkan pun bergerak mundur untuk mempersilahkan Pak Mochtar untuk masuk.
Pak Mochtar mendapati Maura sedang di ruang tengah, dia baru saja meletakan bayinya ke dalam box. Sang bayi ganteng itu dalam keadaan tidur sekarang. Pak Mochtar mengamati Maura, sepertinya Maura sudah sehat, terlihat wajahnya sangat cerah walaupun juga terlihat lelah. Sesuatu yang normal, ibu baru memang terlihat selalu lelah. Pak Mochtar pun kemudian memandangi sang bayi. “Ganteng mbak. Selamat ya mbak.”
Maura tersenyum dan berterima kasih. Dia pun mempersilahkan untuk Pak Mochtar duduk. Nggak lama, Angga pun menyajikan minuman ringan untuk Pak Mochtar. Pak Mochtar pun tersenyum dan berterima kasih.
Setelahnya Angga dan Arkan masuk ke dalam kamar Arkan. Memberi ruang bagi keduanya untuk lebih leluasa bercakap-cakap. Tapi di dalam mereka memantau sih.
(Bang, Pak Mochtar lagi ada di sini.) Mereka pun memberikan laporan.
Membaca laporan Arkan, Gardin yang sedang sarapan pagi langsung menyalakan tabletnya untuk memantau mereka melalui CCTV nya.  Terlihat Maura dan Pak Moctar berada di ruang tengah,
“Saya mau minta tolong pak, adakah orang yang bisa saya mintakan tolong di sini untuk ke kantor catatan sipil di Queen street, saya mau minta tolong dibuatkan akte kelahiran Hiro. Karena secepatnya saya mau buat paspor untuk dia.”
“Sudah ada namanya?”
Maura mengangguk. “Hiro putra Gardin Handoko.”
Pak Mochtar tertawa. “Sesimple itu?”
“Itu satu-satunya nama yang kami dulu sepakati untuk anak laki-laki. Saya hanya ingin menjalani apa yang saya sepakati dulu bersama Gardin.” Maura pun tersenyum menjawabnya.
“Pengacara rekanan saya di sini akan membantu Mbak Maura untuk mengurus itu semua. Sebelumnya, saya mau menyampaikan titipan dari mas Gardin untuk Mbak Maura.” Pak Mochtarpun menyerahkan kotak yang berisi kalung berlian dan boneka Teddy Bear.
Maura membuka kotak beludru berwarna hitam itu. Berisikan kalung emas putih dengan bandul berlian utuh dua karat yang bermodel simple dan cantik. Maura tersenyum, ini pasti Mia yang beli. Lima tahun Mia menjadi sekretaris Gardin, dia sudah sangat terbiasa disuruh Gardin membelikan hadiah untuk Maura. Saat dia ulang tahun, ulang tahun pernikahan mereka, atau kalau Gardin dan Maura sedang bertengkar. Sebelum Mia, dulu ada Vanesh sekretaris Gardin yang sebelumnya juga sering melakukan hal yang sama. Walau begitu Maura cukup tersanjung. Karena Gardin seakan kembali menjadi Gardin yang dulu, yang mau membelikannya hadiah-hadiah sebagai bentuk perhatiannya walaupun ya sekretarisnya sih yang beli. Perhatian ini sama sekali tidak terjadi lagi ketika Gardin mulai mengenal Lucy. Maura pun membaca kartu ucapan yang berisikan tulisan tangan Gadin:’I Love you’. Cukup tiga kata yang sangat ia rindukan. Membaca itu membuat Maura terenyuh… sejenak ia kangen Gardin.
Maura pun kemudian membuka kartu ucapan Gardin untuk Hiro:’Hey baby boy, ayah kangen kamu!’ Maura pun tersenyum membacanya. Dia pun meletakan boneka Teddy Bear itu di samping Hiro yang tertidur lelap.
Rasanya nggak perlu tahu dari mana Gardin tahu bahwa ia telah melahirkan. Gardin punya banyak mata untuk dengan cepat mengetahui semua ini. Bahkan ketika dia sudah bersembunyi sejauh ini.
“Saya kok belum menerima akta cerai ya pak, apa Gardin benar-benar nggak punya waktu untuk mengurus semua itu? dia kan sudah berjanji.” Maura membuka percakapan penting ini pada Pak Mochtar.
Dengan begitu gugup, Gardin menyaksikan percakapan itu, benar-benar seperti nonton drama yang menegangkan untuk Gardin.
“Hal ini yang ingin saya sampaikan pada Mbak Muara. Sepertinya begitu Mas Gardin tahu kalau Mbak hamil, beliau mengurungkan niatnya untuk menceraikan Mbak Maura. Tapi karena ia sudah terlanjur mengucap talak, maka ia ingin rujuk dengan Mbak Maura.”
Maura hanya diam mendengarnya.
“Apa Mbak Maura bersedia?”
“Semudah itukah mempermainkan batin saya?”
“Saya paham ini nggak mudah buat Mbak Maura, tapi bagaimana pun lebih baik buat Hiro memiliki orang tua yang utuh.”
“Bagi saya, lebih baik Hiro memiliki orang tua yang bahagia. Apa hanya karena anak, Gardin ingin rujuk dengan saya pak? Apakah nanti dia malah justru nggak tertekan, memaksakan dirinya bersama saya hanya demi Hiro?”
“Saya rasa nggak begitu, Mas Gardin masih mencintai Mbak Maura kok.”
Maura memandang Hiro, bayi itu masih saja tertidur. “Terus terang saya tidak lagi mengenal Gardin pak. Dia begitu berubah.”
“Maksudnya?”
“Sejak bersama Lucy, Gardin menjadi matrealistis pak, selalu mengukur apapun dengan uang. Menganggap semua masalah akan selesai dengan uang. Terus terang saya sedih.”
Pak Mochtar menyimak, mendengarkan curahan hati Maura. Nggak cuma Pak Mochtar sebenarnya, ada Gardin, Arkan dan Angga yang ikut menyimak diam-diam.
“Pada saat dia menjatuhkan talak pada saya, yang dia janjikan hanya dia akan memberikan saya banyak uang. Dia lupa atas semua janjinya pada ayah saya, pada Ijab qabul yang dulu dia kumandangkan. Dia nggak lagi bertanya siapa yang akan melindungi saya, menyayangi saya, Padahal dia tahu bahwa saya sebatang kara. Baginya semua akan selesai dengan uang. Dari itu saya menolak semua pemberian dia pak. Karena saya nggak butuh uangnya, saya butuh cintanya, perlindungannya, dan kehadirannya dalam hidup saya.”
Gardin kaget mendengar pengakuan Maura. Benar-benar dia lupa dengan semua kewajiban dan janjinya itu.
“Saya sangat mengerti apa yang menjadi kekhawatiran dan kesedihan Mbak Maura. Saya pun tidak meminta itu terjadi saat ini juga. Tapi bisakah Mbak Maura paling tidak membuka diri untuk Mas Gardin? Sekedar untuk mengijinkannya datang kemari, menengok anaknya dan Mbak Maura?”
“Saya takut pak.”
“Takut?”
“Saya takut dia mengambil Hiro dari saya. Saya takut dia akan memaksa saya menerima uangnya dan membuat saya harus melepas Hiro untuknya. Dengan kehebatannya saat ini, hal itu bukannya mustahil untuk dia.”
Gardin terpana mendengar kekhawatiran Maura. “Astaga, saya nggak sekejam itu Maura.” Gardin bicara pada layar CCTV. Dia masih saja nggak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Masih menatap layar itu dengan mata yang berkaca-kaca. Menggigit jemarinya untuk meredam semua emosinya.
“Mbak, saya sangat mengenal Mas Gardin. Mungkin dia berubah karena Lucy. Tapi percayalah dia nggak akan sekejam itu pada Mbak Maura. Kalaupun sampai itu terjadi, saya pasti akan membela Mbak Maura.”
“Mungkin saya berlebihan pak, tapi perasaan insecure itu yang saya rasakan. Saya benar-benar takut kehilangan Hiro. Dia alasan saya hidup sampai saat ini.”
“Saya mengerti. Saya akan sampaikan pada Mas Gardin bahwa Mbak Maura belum siap menerima kehadirannya lagi. Semoga Mas Gardin mau bersabar.”
Maura menjawab dengan senyum keringnya.
“Saya pamit ya mbak. Sekali lagi selamat dengan kehadiran baby Hiro. Jaga diri mbak Maura baik-baik ya. InshaAllah saya datang mengunjungi Mbak Maura lagi.”
Maura mengangguk dan tersenyum. “Makasih banyak ya pak, sudah bersedia datang dan menyampaikan titipan Gardin. Sampaikan padanya saya terima kadonya. Terima kasih.”
Pak Mochtar tak lama pun undur diri.
**
(Bang, elo nyimak percakapan mereka?) Angga bertanya pada Gardin ketika Maura membawa Hiro ke kamarnya.
(Iya.)
(Bang, Mbak Maura harus tahu kalau elo masih sayang dia.)
(Elo mau bantu kita jelasin ke Mbak Maura?) Angga dan Arkan sepertinya gerah dengan kesalah pahaman ini. Mereka sangat tahu bagaimana sayangnya Gardin pada Maura. Ingatan mereka sangat kuat bagaimana Gardin menangis di rumah sakit tempo hari. Masa iya yang kayak gitu acting.
(Nggak usah, makasih. Tugas kalian jaga istri gue, bukan ikut campur urusan gue.)
(Maaf bang.)
(It’s ok. Gue ngerti niat baik kalian. Tapi nggak usah. Itu udah jadi resiko buat gue.)
“Aku akan bersabar, sayang. Aku akan bersabar sampai kamu percaya aku lagi. Aku akan berusaha keras untuk menjadi seperti yang kamu mau. Supaya kamu bisa terima aku lagi.” Tekad Gardin sungguh-sungguh.

_*.....Bersambung...*_

Artikel keren lainnya:

Janda CEO Bagian 7 (Earl-grey-tea "VS" Teh-melati)

JANDA CEO Part 7
Earl-grey-tea "VS" Teh-melati

Minggu pagi, nggak pagi-pagi bener sih. Pukul Sembilan waktu Brisbane, Maura sedang menikmati secangkir earl grey tea. Dia menghirup aroma teh itu dengan begitu dalam. Arkan mengamati Maura.

“Suka banget ya mbak sama aroma Earl grey itu. Buat aku sih baunya kayak jamu.” Arkan penasaran.

Maura melirik sewot. “Ya bedalah. Ini tuh seger banget tahu nggak.” Dia pun menikmati teh nya dengan mata terpejam. “Apalagi sejak gue hamil, gue doyan banget dengan aroma teh.”

“Wah elo ngidamnya teh gitu?”

“Kok ngidam?”

“Iya, kalau elo suka sesuatu saat hamil, padahal kalau nggak hamil elo biasa-biasa aja, itu artinya bawaan bayi.” Angga menjelaskan.

“Sok tahu ya bapak ini. Kayak yang udah pernah ngalamin aja.”

“Yah… itu sih kata tunangan gue sih mbak.” Angga nyengir. “Konon kabarnya juga.”

“Yang namanya ngidam itu di awal-awal kehamilan kali. Ini guekan udah hamil delapan bulan, masa iya masih ngidam.” Dalih Maura.

“Eh mbak yang namanya ngidam mah sampe tuh bayi lahir. Bebas mau awal atau akhir-akhir kehamilan.” Arkan menambahi.

“Ah baru denger gue.”

“Eh tapi serius mbak, ngidam elo segampang ini. Nggak ada yang susah apa?”

Maura tersenyum. “Sebenarnya ada sih yang nggak gue temuin di sini. Tapi gue nggak mau ribet ah sama hal konyol gitu.”

“Oh ya, apaan tuh?”

Maura tersenyum, sedikit mengingat. “Waktu gue kecil nyokap gue suka bikin teh tubruk yang aromanya melati gitu. Nah aromanya khas banget, belakangan ini gue mendadak kangen dengan aroma itu.”

“Oh ya, kayak gimana tuh?”

Maura bersusaha mengingat. “Merk tehnya teh cap botol. Gue waktu kecil sering disuruh nyokap beli di warung deket rumah.”

“Oh itu yang kemasannya warnanya hijau kan? Itu mah teh di rumah gue juga.” Jawab Arkan “Nyokap gue sering kok nyeduh teh itu. Sekarangkan ada teh celupnya mbak. Aromanya sama kok. Tapi memang lebih mantep teh tubruknya sih.”

“Wah enak ya, jadi lebih praktis. Ah kalian bikin gue kepengen aja sih.” Maura pun bangkit dari duduknya. “Mendingan gue mandi aja, biar sadar teh kayak gitu hanya mimpi di sini.” Dia pun berjalan ke kamarnya.

“Eh siapa tahu mbak, udah ngecek di happy shop belom?” Arkan mengingatkan bahwa ada toko yang menjual produk Indonesia di sini.

“Udah pernah, di sini yang ada cuma teh Sosro sama Tong Tji.” Jawabnya setengah berteriak meninggalkan mereka.

Arkan dan Angga tersenyum ditinggal Maura. Hanya satu menit berselang, ada suara yang mengabarkan notifikasi di grup WA mereka.

(Teh yang dimaksud Maura kayak apa, ada gambarnya nggak?) Gardin ternyata yang memberikan pertanyaan.

Angga dan Arkan pun tersenyum. Nih CEO nontonin mereka ngobrol lagi ternyata.

(Ntar bang gue cari di Google dulu) Nggak lama kemudian Arkan pun mengirimkan gambar produk yang dimaksud.

(Belinya di mana?)

(Nyokap gue sih biasanya beli di Alfa bang, kalau di Carefour jarang ada) Kali ini Angga yang menjawab.

Gardin langsung melompat bangkit dari duduknya begitu membaca informasi itu. Bu siti kepala rumah tangga yang sedang menyediakan sarapan untuknya pun terkejut dengan reaksi Gardin.

“Pak Gardin ada apa?”

“Bu Siti, Alfa midi yang dekat rumah kita buka jam berapa?”

“Jam 7 pak, bapak ada perlu apa biar saya yang beli.”

“Nggak bu biar saya saja.” Dia pun berlari meraih kunci mobilnya dan pergi ke garasi tempat mobilnya di parkir.

“Pak, tapi ini baru jam 6.20”

“Nggak papa bu, Saya tunggu buka aja di depan tokonya.” Gardin pun berlari keluar rumah. “Istri gue ngidam, biar dia jauh, harus gue yang beliin.” Tekadnya.

Bu Siti begitu terpana. Puluhan tahun sudah dia bekerja di rumah ini, baru kali ini Pak Gardin begitu bersemangat untuk belanja ke Alfa midi. “Mau beli apa sih pak? Kayak Mpok Alpa aja ya, ke Alfa girang banget.” Dia pun geleng-geleng kepala.

**
Pukul sepuluh pagi, Gardin sudah ada di teras rumah Mia sekertarisnya. Mia dan Malvin suaminya kebingungan kenapa sang bos besar ada di rumah mereka.

“Mia, Malvin seingat saya kalian masih punya visa Australia kan?” Mia dan Malvin tahun kemarin baru menikah, dan mereka memang bulan madu ke Sydney setelahnya, itu pun hadiah dari Gardin, makanya nggak heran kalau Gardin ingat.

Mia dan Malvin keheranan, tapi merekapun mengangguk.

Gardin kemudian menyerahkan amplop coklat besar. “Ini uang seratus juta. Untuk kalian beli tiket penerbangan ke Brisbane. Kalian harus berangkat hari ini juga!”

Mia dan Malvin terbengong-bengong. Kebingungan mereka tidak sampai di situ.

Gardin menyerahkan tas plastik berlogo Alfa midi pada Mia. Mia makin keheranan ketika ia buka isinya cuma teh, ada sepertinya 20 kotak baik teh celup maupun teh kering.

“Bawa teh ini ke sana!” Gardin pun menyerahkan kunci apartemen dan secarik kertas berupa alamat rumah itu. “Ini Alamatnya, usahakan kalian masuk rumah itu sebelum jam 12 siang, jadi rumah itu kosong. Letakan aja di meja makannya. Setelah itu kalian boleh jalan-jalan sebentar, hari selasa balik ke Jakarta, hari rabu sudah kembali masuk kantor ya, balikin kunci apartemen itu ke saya hari rabu juga!”

Mia dan Malvin masih terbengong-bengong.

“Kamu bisa nganter istri kamu kan Vin?”

Malvin yang masih terheran-heran pun tetap mengangguk “Saya bisa ambil cuti mendadak pak kalau cuma dua hari sih.”

Gardin mengangguk senang. “Ya sudah, saya minta tolong ya, kasihan kalau istri kamu harus terbang sendirian. Ok itu saja ya. Terima kasih sebelumnya.” Gardin pun meninggalkan keduanya yang masih terheran-heran.

“Brisbane itu di Australia kan?”” Malvin masih berusaha konfirmasi.

Mia pun mengangguk.

“Kita nganter barang ke Australia kayak di suruh ke Depok ya?”

Mia pun tertawa. “Ya udah yuk, kita siap-siap, online beli tiket, setelahnya langsung ke Airport aja.”Mia pun langsung mengajak Malvin bersiap.

“Hadeuh, kalau bos besar mah, sah-sah aja deh nyuruh ngapain aja.” Malvin masih nggak habis pikir. “Penting bener ya ini teh, harganya sampai seratus juta?”

_*......Bersambung.....*_

Artikel keren lainnya:

Janda CEO Bagian 8 (We welcome You)

JANDA CEO Part 8
*We welcome You

Di bulan Desember, kursus Bahasa Inggris telah selesai, mereka punya banyak waktu sebelum pertengahan February memulai perkuliahan.  Maura sebenarnya agak bingung Arkan dan Angga sepertinya tidak ada rencana untuk pulang ke Indonesia ataupun jalan-jalan seputaran Australia, paling nggak seputaran Queensland lah, alasan mereka mereka masih menyesuaikan diri di sini, dan budget mereka sangat limit untuk jalan-jalan karena beasiswa yang diberikan kantor mereka nggak banyak.  Lha beasiswa dikit kok mobilnya Harrier, walaupun mereka berdalih bahwa itu hanya mobil om nya Angga tetep aja biaya untuk bensin dan perawatannya kan nggak sedikit.

Kalau Maura mah jelas, dalam hitungan hari ia akan melahirkan.  Ia mulai dirundung kegugupan yang luar biasa.  Bisa dipahami sih, merasa seorang diri dengan pengalaman pertama ini.  Sudah mulai merasa nggak nyaman di sana-sini.  Mulai sulit makan, perutnya pun terlihat sudah sangat turun. Makanya dia merasa beruntung banget ketika Angga dan Arkan berkomitmen akan mendampinginya melahirkan.  Bantuan sahabat-sahabat barunya sungguh berharga.

“Mbak Muara mau gue pijitin pinggangnya?”

Angga dan Maura terkejut mendengar tawaran Arkan.  Arkan ditatap begitu jadi nggak keenakan. “Eh… jangan salah sangka mbak, gue nggak tega melihat mbak Maura dari tadi kayaknya kesakitan.  Megangin pinggang terus.”

Maura tersenyum mengerti.  “Iya sih, sakit banget sebenarnya.  Tapi nggak usah makasih ya Kan.”  Maura pun berusaha untuk membuat dirinya nyaman duduk di sofa.  Tapi sepertinya kurang berhasil.

Angga menghampiri Arkan dan berkata pelan. “Hati-hati bacot lo bos, di denger big bos mati lo!”

“Iye gue tahu.” Arkan pun menjawab sambil berbisik. “Tapi gue nggak tega.”

“Gue tahu, gue juga bingung lihatnya.”  Mereka masih bisik-bisikan.

Arkan dan Angga benar-benar serba salah.  Tapi mereka juga nggak tahu sebenarnya harus bagaimana.  Mereka hanya berdiri stand by setiap kali Maura bergerak.

Ketika sepertinya Maura sudah bisa sedikit nyaman, Angga dan Arkan pun duduk di sofa tidak jauh dari Maura untuk nonton TV bersama.

Tidak lama Maura pun bergerak perlahan.  “Aku ke kamar aja deh, nyoba tidur.”

“Oh gitu mbak?  Kalau bisa pintunya nggak usah dikunci ya mbak.  Kita khawatir.”

“Kalau ada apa-apa teriak aja ya mbak.”

Maurapun menjawab dengan senyuman.  Dia pun bergerak menuju kamarnya.

Begitu Maura masuk kamar, Angga dan Arkan saling bertatapan mereka langsung memegang telepon genggam mereka masing-masing.

(Bang, kita harus bagaimana? bingung banget) Angga yang pertama memberi kabar.

(Iya bang, sepertinya Mbak Maura sudah mau melahirkan.)

(Gardin lagi meeting, kayaknya HP ini dia tinggal di ruangan.) Jason yang menjawab. (Nggak dibawa ke rumah sakit aja?)

(Tadi kita udah nganter ke rumah sakit bang, tapi baru bukaan satu, jadi disuruh pulang lagi.)

Jason berusaha mengingat bagaimana istrinya dulu melahirkan.  Panik luar biasa dia saat itu.  Jadi lupa dia dulu ngapain aja. (Semua perlengkapan sudah siap?)
(Sudah di mobil bang.)
(Di Sana sudah jam berapa.)
(Jam 8.)
(Ya udah, kalian gantian tidur deh, in case harus berangkat ke rumah sakit tengah malam, kalian siap.)
(Ok bang.)

Percakapan selesai. Jason jadi ikutan gugup mendengar berita ini.  Ini kenapa meetingnya Gardin lama banget sih. Dia pun melangkah menuju ruangan Gardin.  Sebelumnya bertemu Mia di depan ruangan Gardin, yang memang ruangan Mia.

“Mi, Pak Gardin meetingnya belum selesai?”

“Belum pak, mereka agak rigit.”  Mia menceritakan tentang tamu mereka, investor dari Texas.

Jason melirik ke ruangan meeting yang begitu transparan itu.  Terlihat sih kalau Gardin memang tidak tenang tapi berusaha untuk fokus.  Dalam ruangan itu Selain Gardin, ada Denny asisten pribadinya, Fandi anak buah Jason yang mengurusi masalah legalnya dan empat orang dari pihak calon investor dari Texas itu.  Mereka memang sedang membahas projek mereka  di Sumatera Selatan yang rencananya akan dimulai tahun depan. Jason seharusnya hadir dalam meeting itu tapi Gardin memintanya untuk menjaga kabar dari Maura.  Paling tidak salah satu dari mereka saja yang fokus pada pekerjaan.  Untuk urusan Maura, selain Gardin sendiri yang memang hanya Jason yang tahu di kantor itu.

“Mi, kamu tolong online check in dong, untuk penerbangan malam ini saya dan Gardin ke Brisbane.”

Mia bingung. “Oh, Pak Gardin jadi berangkat malam ini pak?”  Tapi tangannya pun tetap bergerak dengan lihai di keybord komputer untuk melakukan permintaan Jason.

Jason mengangguk.  Dia berusaha memberi kode pada Fendi agar menyampaikan pada Gardin untuk mempercepat meetingnya.  Pesawat mereka pukul 8 malam ini sudah pukul 5 sore. 

“Oh ya, minta Subhan untuk stand by di Lobi ya!”  Jason kembali memerintahkan Mia melakukan persiapan untuk mobil yang akan mengantar mereka ke airport.

Sepuluh menit kemudian terlihat bahwa meeting itu selesai.  Sepertinya terjadi kesepakatan.  Mereka saling berjabat tangan.  Sepertinya Gardin mengucapkan permintaan maafnya kalau ia harus meninggalkan tamunya.  Ia pun meminta Denny dan Fandi menemani tamunya keluar.  Tapi justru dia keluar paling duluan dari ruangan itu.

“Gimana bang?”

“Udah bukaan satu”

“Maksudnya apaan?” Gardin kebingungan.

“Intinya udah deket proses melahirkannya.” Jason juga bingung menjelaskan.

“Gue ambil Hp gue satunya di ruangan dulu.”  Gardin pun setengah berlari, dan kembali keluar dalam hitungan detik.  “Paspor saya mana Mi?”

Mia pun langsung memberikan paspor dan boarding pass online pada Jason dan Gardin.

“Tolong nggak ada yang tahu kalau saya ke Brisbane ya, termasuk Lucy!” Begitu menerimanya, mereka berdua pun setengah berlari menuju lobi.  

Melihat peristiwa itu Mia hanya terdiam, sudah bisa menduga apa yang sedang terjadi.  Tapi sebagai sekertaris ia harus bisa menjaga rahasia atasannya itu.  Sepintas ia pun berdoa untuk keselamatan siapapun yang akan melahirkan.

(Bang, kita menuju rumah sakit sekarang, Mbak Maura udah kesakitan banget.) Arkan memberi kabar.

Di mobil Gardin dan Jason saling pandang.  Gardin pun langsung menelepon Arkan.  Tapi langsung di reject.

(Bang, jangan nelepon dulu.  Mbak Maura masih ada dalam mobil.  Nanti kita kabarin, kalau ada yang mau elo bilang WA aja dulu.) Arkan memberikan informasi.

“Tuhaaaannnn saya harus bagaimana?”  Gardin panik banget.

Jason berusaha menenangkan Gardin.  Dia pun mengelus-elus kasar punggung Gardin.  “Tenang ya…  Bentar lagi kita sampai airport kok.”  Sumpah ini udah bagus banget jam 6 sore, hari kerja, Di tol bisa 40 km/jam.

(Kita OTW ke BNE.  Kalian jaga Maura baik-baik ya.  Gardin udah nggak bisa nulis.  Panik banget.)

Jason dan Gardin sampai airport pukul tujuh tiga puluh.   Karena sudah online check in dan mereka nggak bawa apa-apa, mereka langsung ke imigrasi dan menuju gatenya.  Just right on time, mereka memasuki pintu masuk sesaat pintu hampir ditutup.  Jason dan Gardin pun duduk di kursi mereka dengan perasaan campur aduk.  Sang pramugari pun menyuguhkan welcome drink untuk mereka berupa juice.  Mereka langsung meminumnya sampai tuntas karena mereka memang sangat haus karena sedari tadi berlari kian kemari.  Setelahnya mereka duduk manis di kelas Business dan tak lama pesawat pun mengudara sesuai jadwalnya.   

Setelah pesawat aman di udara, telepon genggam mereka bisa diaktifkan lagi.  Mereka memang memakai flight mode tetapi mereka masih bisa online dengan menggunakan wifi pesawat sehingga mereka masih bisa berhubungan dengan Arkan dan Angga.

(Gimana Maura?)

(Kata dokter masih bukaan tiga bang.  Kita nggak boleh masuk bang jadi cuma bisa nunggu kabar aja di luar.)

(Kadang ngintip dikit. Kasihan bang, Mbak Maura kesakitan sendirian.)

Baca itu Gardin benar-benar nangis.  Sama sekali dia tidak lagi menyembunyikan airmatanya.  Membayangi Maura merintih sendirian dia benar-benar hancur.

“Sholat.  Doain bini lo!”  Jason bicara pelan tapi tegas.  Nggak bisa ngapa-ngapain juga sekarang.  Dari pada kacau nggak jelas.

Gardin mengangguk nurut perintah Jason.  Dia pun melakukan tayamum dan kemudian Sholat.  Cukup lama dia memanjatkan doa.

Perjalanan Jakarta-Sydney kurang lebih tujuh jam, setelahnya mereka harus berganti pesawat menuju Brisbane.  Memang semula mereka akan berangkat dengan jet pribadi Gardin, tapi ternyata karena salah koordinasi sang Pilot sudah terlanjur terbang dengan carteran orang lain.  Untuk mencari pilot pengganti kalau mendadak gini ya nggak mudahlah.

Kira-kira kalau di Indonesia pukul tiga pagi, pukul 6 pagi waktu Brisbane.  Arkan memberikan informasi pada mereka. (Bang, kayaknya harus dioperasi.  Boleh kita yang tanda tangan persetujuan operasi?)

(Emergency?)  Tanya Gardin.  Dia masih ingin berperan sebenarnya.

(Air ketubannya udah pecah bang, harus secepatnya.)

(Ya udah, kalian aja tanda tangan kalau begitu.)  Sumpah Gardin kalut banget.  Tapi dia bisa apa?

Jason sebenarnya sempat tertidur, tapi terbangun mendengar Gardin kembali kasak-kusuk.  Diapun membaca pesan dalam grupnya.  Wajarnya kalau Gardin kembali panik.

“Doain semua baik-baik aja!  Nggak ada yang bisa kita lakukan di sini juga selain berdoa.”

Gardin pun hanya bisa mengangguk.

Begitu landing, Gardin dan Jason keluar dari pesawat setengah berlari, masuk immigrasi Gardin dan Jason sempat ditahan.  Karena mereka cukup mencurigakan terbang antar benua tapi sama sekali tidak membawa barang.  Tapi akhirnya mereka justru mendapat prioritas ketika Jason dan Gardin menjelaskan bahwa istri Gardin sedang dalam proses melahirkan di Brisbane.  Mereka berdua memang banyak perjalanan bisnis ke Australia dengan track-record yang mereka punya, maka kecurigaan imigrasi dianggap tidak beralasan.

Mereka seharusnya terbang jam delapan pagi, tapi pihak maskapai berhasil membuat mereka terbang jam tujuh pagi ketika mengetahui kondisi mereka yang emergency.  Landing di Brisbane pukul delapan tiga puluh, mereka pun langsung naik taxi menuju rumah sakit.  Sesampai di rumah sakit, Jason dan Gardin menemui Arkan dan Angga yang terlihat kelelahan dan panik.  

“Gimana?”

“Masih di ruang operasi bang, baru masuk tadi jam 8 kurang.”

Mereka hanya bisa duduk menanti.

Lima belas menit kemudian, seorang suster keluar dengan membawa kereta bayi.  Di dalamnya seorang bayi laki-laki anak dari Gardin dan Maura.

Keempatnya langsung melongok melihat bayi yang baru lahir itu.

Sang bayi pun menatap mereka dengan dahi berkerut.  Dia tidak menangis terlihat curius menatap mereka.

Jason pun bertanya pada suster apakah Gardin bisa mengadzankan anak itu.

Sang suster pun mengajak Gardin untuk masuk ruang perawatan bayi.  Hanya boleh dua orang yang boleh memasuki tempat itu.

Setelah cuci tangan, dan memastikan semua bersih, Gardin pun diijinkan untuk menggendong anaknya.  Dia pun mulai mengadzankan bayi laki-laki itu.  Rasanya begitu haru buat Gardin. Akhirnya bisa melakukan peristiwa sakral antara ayah dan anak itu.

Jason mengabadikan peristiwa yang pastinya akan menjadi sejarah bagi kelurga Gardin.  Jason pun jadi ikut terharu melihat pemandangan Gardin menangis tersedu-sedu.  Setelahnya, Gardin mencium anaknya dengan penuh sayang.

Nggak lama, bayi pun diberikan kembali ke perawat yang ada di sana.  Sang Suster meletakan bayinya di tempat di mana para bayi bisa dilihat dari luar ruangan.  

Gardin dan Jason keluar ruangan bayi dan menghampiri Arkan dan Angga.

“Gimana Maura, dokternya sudah keluar?”

“Belum bang.”

Baru saja Angga menjawab, seorang dokter senior keluar dari ruangan operasi, menjelaskan bahwa operasi berjalan lancar, bayi dan ibu dalam keadaan baik dan selamat. Saat ini Muara sedang dalam keadaan tidur dan masih di ruang pemulihan sampai dia siuman.

Gardin langsung meminta ijin bertemu Maura sebelum Maura terbangun.

Sang dokter hanya tersenyum, sepertinya suami Maura sudah tidak sabar.  Maka diijinkannya Gardin masuk, tapi hanya dirinya seorang yang kini boleh masuk.

Gardin pun memasuki lorong dingin dan sepi itu, nggak jauh… dia pun melihat istrinya terbaring di satu tempat tidur.

Gardin memakai jubbah berwarna hijau, diapun menutup wajahnya dengan masker.  Menghampiri Maura diapun mencium kening sang Istri. “Terima kasih banyak sayang.  Maafin aku nggak mendampingi kamu dari awal.”  Dibelai juga rambut Maura dengan sayang.  Ditatap perempuannya itu dengan perasaan campur aduk, Haru, Merasa bersalah, bahagia atas kelahiran anak mereka, tapi ada juga kerinduan yang mendalam.

Ingin rasanya untuk tinggal lebih lama di samping Maura, tapi Gardin takut, dia nggak tahu rekasi Maura ketika mengetahui dia ada di sana.  Akhirnya Gardin memutuskan untuk keluar ruangan sebelum Maura bangun.

Ketika ia keluar ruangan dijumpainya Jason, Arkan dan Angga sedang melihat bayinya yang berada di baby show.  Dimana ruangan bayi itu dibuka jadi keluarga bisa melihatnya melalui kaca bening.  Hanya ada Bayi Maura saat itu.  Gardin pun menghampiri mereka kembali melihat bayinya.

“Kayak gue ya gantengnya?”  Gardin bangga banget dengan anak laki-lakinya yang baru datang ke dunia.

Ketiganya hanya melirik pada ayah baru itu.  Kembali fokus melihat bayi itu.

“Namanya siapa bang?”  Tanya Angga.

“Terserah Maura aja. Gimana caranya coba kalau gue yang namain, gue aja masih nggak yakin kalau gue boleh ada di sini.”

“Elo bisa kasih tahu kita, nanti kita sampein ke Mbak Maura gimana caranya lah.”

Gardin tersenyum tapi sekaligus ia sedih “Dulu banget, waktu sebelum Maura beberapa kali keguguran, kita udah merancang nama untuk anak-anak kita.  Semoga Maura ingat itu.”

Jason menepuk bahu Gardin, “sebentar lagi Maura keluar nih dari ruang pemulihan.  Kita pergi yuk!”

Gardin kaget. Harus banget pergi sekarang?

“Kabarin kita begitu Maura masuk kamar ya.” Pinta Jason pada Angga dan Arkan.

Jason pun menyeret Gardin untuk keluar dari rumah sakit itu.

Ketika mereka baru keluar dari lift di lantai lobi, Angga sudah memberi kabar bahwa Maura sudah siuman, masuk ke ruangan perawatan, bahkan sudah bisa meminta Angga dan Arkan pulang saja untuk istirahat, tahu banget kalau sejak semalam mereka belum tidur.

Jason menelepon Angga. “Ya sudah, kita makan bareng dulu deh, kalian belum makankan? Kita tunggu di bawah ya!”

Setelah Jason menutup sambungan teleponnya dia pun melangkah bersama Gardin.  

Tiba-tiba Gardin berhenti ketika mereka berada di lobi luar rumah sakit.  “Kenapa gue harus begini bang?”

Jason heran. Maksudnya?

“Kenapa gue nggak boleh lebih lama deket anak dan istri gue?”  Gardin begitu frustasi. “Gue pengen gendong anak gue lebih lama, gue pengen jagain Maura yang masih lemah.  Sepuluh tahun gue nunggu peristiwa ini, tapi Kenapa sekarang gue nggak boleh bahagia lebih lama?”

Jason bingung kok jadi dia yang disalahkan?  Dia hanya membiarkan Gardin meluapkan emosinya.

“Sebegini beratnya konsekwensi yang harus gue tanggung karena nyakitin Maura?”  Gardin nangis lagi, kali ini bukan karena terharu.

“Jangan cengeng, elo laki-laki!”  Jason sangat serius. “Dari awal gue udah bilang elo membuang berlian dan justru mempertahankan perempuan yang salah. “

“Apa gue nggak punya kesempatan untuk memperbaikinya? Gue sayang banget sama Maura.  Gue belum terlambatkan?”

“Pelan-pelan, kita ikutin maunya Maura.  Kasih dia waktu untuk bisa nerima elo lagi.  Kita ikutin prosedur yang diminta Pak Mochtar.  You are a man with honor, tepatin janji elo sama Pak Mochtar.”  Jason menepuk pundah Gardin.  Memintanya untuk tenang.

Nggak lama, begitu Arkan dan Angga pun menghampiri mereka, Gardin langsung menghapus airmatanya.  Arkan dan Angga lihat sih, tapi mereka pura-pura nggak tahu. Setelahnya mereka berempat sarapan di café terdekat.

Setelah sarapan yang kesiangan alias brunch, keempatnya berpisah.  Gardin dan Jason naik taxi menuju satu hotel di City, sedangkan Angga dan Arkan naik mobil yang sebenarnya milik Gardin pulang ke unit mereka.  Tadinya mereka hendak mengantar kedua bos mereka itu ke hotel tapi Gardin menolak.  Tahu banget dua anak muda itu lelah karena semalaman mereka begadang menemani istrinya.  Gardin sangat berterima kasih untuk itu.  Makanya, kalau sekedar ke hotel aja sih, bisa naik taxi kok.  

Gardin dan Jason check in di salah satu hotel berbintang maximal di tengah kota.  Mereka hanya memesan satu kamar saja yang bertempat tidur dua.  Benar-benar tidur layaknya orang pingsan.  Menjelang malam mereka ke boutique ternama terdekat untuk membeli pakaian ganti, dan pukul delapan malam sudah kembali ada di airport, berangkat menuju Jakarta via Singapura tepat tengah malam.  Huh… benar-benar hari yang padat.  Perjalanan yang diawali dengan sport Jantung, tapi akhirnya mampu memberikan rasa lega bagi Gardin.  Walaupun kebahagiaannya nggak maximal, paling tidak ia cukup lega bisa menyaksikan dengan langsung kehadiran anaknya ke dunia, dan bisa tenang mengetahui Maura baik-baik saja.  Itu sudah lebih dari cukup saat ini.

_*....Bersambung....*_

Artikel keren lainnya:

Kumpulan Meme Besok Hari Senin

Yang penulis rasakan, hari yang asyik adalah hari dimana besoknya adalah hari libur. Eh pada saat hari libur, kita merasa wegah karena besoknya hari senin dan harus mulai aktivitas lagi. Sebenarnya ini terjadi karena kita tidak menikmati aktivitas sehari-hari kita.
Berikut ada beberapa meme yang menunjukkan perasaan dan ekspresi ketika menyadari bahwa besok adalah hari senin.
1. Libur terasa sebentar
Ya kalau libur rasanya waktu berlalu begitu cepat, padahal setiap harinya sama 24 jam. Sabar ya mas, dia mah emang gitu.
Meme besok senin
2. Hari senin adalah hari buruk
Memang hari senin menjadi momok yang menyeramkan. Kasian ya hari senin.
Meme besok senin
3. Auto diem ketika sadar besok senin
Lagi asyik-asyiknya liburan, tetiba nyadar bahwa besok adalah hari senin, auto bad mood kayanya.
Meme besok senin
4. Masih menjadi misteri
Begini ya, kan jarak Jakarta ke Bandung dan jarak Bandung ke Jakarta itu sama. Tapi mengapa jaraka senin ke minggu dan jarak minggu ke snin ko beda ya. Heran aku....

Meme besok senin
5. Pak Hakim aja bingung
Tolong kami Pak! Kami sedang bingung, jangan ikut-ikutan bingung dong. Siapa nih yang akan menyelesaikan permasalahan ini.

Meme besok senin
6. Nyindir amat
Iya sih, ngapain takut amat sama hari senin. Lagian sabtu dan minggu cuma tidur doang. Dasar kita aja yang pemalas. Kalau rajin mah pasti semangat bertemu hari senin. Memang memulai hari itu berat, lebih berat lagi kalau tidak dimulai. 

Meme besok senin
7. Apa salah hari senin???
Iya ya, apa salahnya hari senin. Semua hari sama kan? Mungkin harus tukeran hari dengan hari yang lain. Tapi kayanya problemnya bukan disitu. Ada mental dan perasaan kita yang tidak menyukai aktivitas kita deh.
Meme besok senin
Pertama, jangan terlalu asyik dengan liburan dan melupakan tugas-tugasmu. Itu kunci supaya kita tidak benci dengan hari senin. Jangan pula menunda tugas-tugas! Karena menunda tugas sama dengan menumpuk penderitaan.
Kedua, Nikmati dan cintai segala aktivitasmu agar kita tidak membenci hari senin. Bukan hari seni yang salah, tapi kita aja yang tidak menikmati hidup kita. Kalau kita bisa menikmati semua aktivitas kita, pastinya hari senin itu menjadi hari yang dirindukan.
Semoga Allah memberikan keberkahan kepada kita di hari senin ini! Amin.
I LOVE MONDAY

Artikel keren lainnya:

Cerbung Janda CEO Part 6

JANDA CEO Part 6
Menjalani Hidup Baru yang Tidak di Inginkan

Setelah mengetahui Maura berada dalam kondisi aman, dan kedua stafnya bisa diandalkan untuk menjaga Maura, Gardin sudah bisa sedikit tenang. Sekarang waktunya menepati janjinya pada Lucy untuk menikahinya, merayakan pernikahan mereka sesuai yang di harapkan oleh Lucy. Karena pernikahan ini sebenarnya tidak terlalu diinginkan oleh Gardin, jadi ia menjalankannya setengah hati. Apalagi ketika dia menyadari bahwa sebenarnya Mauralah yang ia cintai. Gardin sangat merindukan Maura. Bagaimanapun ia adalah laki-laki yang penuh bertanggung jawab, maka tetap ia laksanakan pernikahannya dengan Lucy.
Seminggu kemudian, tepatnya di bulan November pernikahan itu dilangsungkan. Sebenarnya Lucy menginginkan pesta taman yang megah dan romantis. Bagaimanapun November musim hujan, resiko hujan kapan saja datang membuat konsep pernikahan terpaksa berubah di sebuah hotel mewah yang terletak di tengah kota Jakarta. Gardin mewujudkan impian Lucy dengan membiayai pesta pernikahan dengan budget miliaran rupiah itu. Lucy mengundang ratusan orang dan puluhan wartawan dalam pesta pernikahannya. Gardin hanya mengundang Jason dalam pernikahan itu. Dia merasa ini bukan pestanya. Pesta ini dibuat hanya untuk menyenangkan Lucy. Sebenarnya Lucy tidak punya banyak tamu, pergaulannya tidak terlalu luas, dan kedua orang tuanya juga berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Sudah mengundang sanak saudara, tetangga dan kolega, teman-teman sosialitanya, tamu yang datang beberapa ratus saja, sedangkan gedung pertemuan di hotel berbintang ini berkapasitas ribuan orang. Alhasil terlihat pesta itu menjadi kosong. Makanan mewah dan berlimpah terhidang di pesta itu, dekorasinya begitu berkelas, homebandnya bagus banget, tapi tamunya terlihat begitu sedikit. Pesta macam apa ini? Gardin hanya tersenyum melihat pemandangan itu, sudah dibilang tidak perlulah memilih ruangan ini, hotel ini juga menyediakan ruangan yang berkapasitas lebih kecil kok. Tapi Lucy kekeuh, dia ingin semua yang terbaik. Jadi begini deh hasilnya.
Hati kecil Gardin tahu sih, kalau Lucy berharap Gardin mengundang semua rekan businessnya, memperkenalkan Lucy sebagai istrinya, dengan begitu bisa menjadikan Lucy naik kelas sosial. Semula memang Gardin merencanakan itu untuk Lucy, tapi begitu melihat bagaimana sikap kasar Lucy pada Maura, Gardin pun berubah fikiran. Dia benar-benar kehilangan rasa pada Lucy. Maka, ia mengurungkan niatnya menjadikan Lucy ratu dalam hati dan kehidupannya. Cukup Maura saja yang mengisi posisi itu.
Kekesalan Lucy tidak sampai di situ, dia mencoba menghibur dirinya dengan melaksanakan konfrensi pers setelah pesta berlangsung. Dengan bangganya ia memperkenalkan Gardin sebagai suami tercintanya. Saat itu dia benar-benar merasa sebagai selebrity sesungguhnya dengan para wartawan mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Dia pun bisa memamerkan gaun pengantin yang harganya begitu mahal, dan perhiasan berlian berharga fantastis itu. Dia merasa begitu sempurna. Sampai ada satu wartawan yang bertanya tentang statusnya, benarkah dia istri ke 2? Benarkah dia seorang pelakor?
Ketika ia bermaksud menjawab pertanyaan itu dengan “no comment”, Gardin justru menjawab dengan tenang. Gardin dengan tegas menyatakan bahwa Lucy bukan pelakor karena dia tidak merebut Gardin dari Maura, tetapi para istrinya berbagi dirinya. Dengan pernyataan itu, Gardin pun kembali membenarkan bahwa Lucy adalah istri ke duanya dan menegaskan bahwa istri pertamanya adalah Maura.
“Kamu kenapa sih bang? Harus ngomong seperti itu sama wartawan?” Lucy sepertinya sangat tidak suka dengan perkataan Gardin pada wartawan. Bahkan ketika pesta usai dan mereka sudah di apartemen merekapun Lucy masih mengungkit kekesalannya.
“Ngomong apa?” Gardin tengah bersiap tidur.
“Kenapa harus banget sih ditegaskan kalau aku istri kedua?”
“Kenyataannya begitu, aku malah membantu kamu untuk menegaskan bahwa kamu bukan pelakor.”
Lucy terdiam. Ada benarnya juga sih, namanya jadi lebih baik daripada dia menyandang predikat pelakor.
“Terus kenapa sekarang kita pulang ke sini?”
Hadeuh apalagi sih maksudnya. “Maksud kamu apa, inikan apartemen kamu, memangnya mau pulang ke mana?”
“Kenapa kita nggak ke Pondok Indah?”
Hm… minta ditegasin nih orang. Gardin mulai naik pitam. “Dengar ya, rumah di Pondok Indah itu rumah aku dengan Maura. Kamu sama sekali tidak punya hak atas rumah itu. Masih nggak puas aku sudah beliin apartemen ini?”
Lucy kaget dibentak.
Gardin pun jadi bangun dari tempat tidur, dia pun langsung mengganti pakaiannya lagi yang semula dia sudah siap dengan mengenakan piama.
“Mau ke mana bang?”
“Mood ku sudah jelek. Aku pulang saja.”
“Lho bang, inikan malam pertama kita.”
Gardin meringis sinis. “Malam pertama apa reunian? Sudahlah, aku pulang saja, besok juga aku harus ke kantor lebih pagi.” Gardin pun melangkah keluar.
“Bang kita belum bahas honeymoon kita lho.” Lucy menyusul Gardin ke depan.
Gardin mengenakan sepatunya.  “Aku nggak bisa sampai akhir tahun ini, kalau mau honeymoon, pertengahan tahun depan saja.” Dia pun berlalu meninggalkan Lucy yang kebingungan ditinggal sendiri.
**
“Apa nggak sebaiknya kamu pergi dari hidup aku Ra? Lucy hamil anak aku, dia akan memberikan sesuatu yang aku nantikan selama sepuluh tahun ini. Kamu nggak usah khawatir, aku akan memberikan kamu banyak uang agar kamu tetap bisa hidup layak tanpa aku.” Kata-kata itu yang selalu teringat jelas dalam fikiran Maura. Bagaimana dengan sangat santun Gardin mengusirnya, bagaimana Gardin menganggap semua masalah akan selesai dengan uang. Dia benar-benar terluka dengan perkataan Gardin itu.  Apapun caranya kata-kata itu tetap saja menyakitkan. Dan kata-kata itu kembali hadir dalam ingatan Maura ketika ia menjumpai berita online bahwa Gardin dan Lucy baru saja menyelenggarakan pesta pernikahan yang megah.
Maura pun kembali mengingat satu tahun terakhir ini. Bagaimana Gardin berubah begitu mengenal Lucy. Gardin menjadi acuh padanya itu sudah pasti. Tapi yang membuat Maura semakin tidak mengenal Gardin, ketika Gardin menjadi mengecilkan semuanya. Segala sesuatu diukur dengan materi. Menganggap uang merupakan solusi semua masalah. Dan yang paling aneh ketika Gardin pun tidak lagi menganggap dirinya berharga. Dia selalu menganggap dirinya berarti karena dia punya uang. Maura benar-benar bingung, “betapa rendahnya kualitas dirimu sekarang Gardin tersayang.” Makanya dia sangat menolak pemberian Gardin ketika hendak menceraikan dirinya. Karena ia ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya jauh lebih berharga dari uang yang Gardin punya. “Kamu punya uang Sayang, tapi kamu nggak bisa memiliki aku dan anak ini.” Maura berkata sambil mengelus-eluskan perutnya.
Maura menghapus airmatanya. Photo-photo yang ditampilkan di surat kabar online ini begitu sempurna. Lucy begitu cantik dengan balutan gaun pengantin yang indah, Gardin pun tak kalah gantengnya. Bagaimana dengan nasibnya? Kenapa sampai sekarang Pak Mochtar masih belum memberikan kabar tentang perceraiannya? Tunggu-tunggu… Kenapa Gardin memberi tahukan bahwa Lucy adalah istri keduanya, dia pun menyebutkan namanya sebagai istri pertama Gardin. Ah ternyata benar. Gardin belum mengurus perceraian dengan dirinya. Sebegitunya ya dia terabaikan sampai untuk mengurus perceraian yang Gardin janjikan dia nggak sempat? Maura sedih banget. Begitu nelangsa ya nasibnya ini, sampai untuk kejelasan status saja ia harus menunggu sebegini lamanya.
“Beritanya sedih banget ya mbak, kok sampai nangis begitu?” Arkan mengagetkan Maura, tiba-tiba dia sudah ada dibelakang Maura sambil melihat penasaran apa yang sedang dibaca maura.
Spontan Maura menghapus airmatanya. “Kok tiba-tiba elo ada di sini sih?”
“Gue dari tadi negur elo begitu keluar kamar, elonya bengong aja sambil nangis. Ya gue penasaranlah. Baca apa sih mbak?” Arkan pun ikut membaca. “Busyet selebriti kawin aja bisa sampai bikin elo nangis ya?” Arkan begitu heran. “Tunggu…tunggu… Jangan bilang kalau Gardin ini mantan suami elo? Eh… kok ini bilangnya elo masih istrinya. Jadi bener mbak?”
Halah ini acting Arkan lebay banget sih… Angga jadi mau tertawa melihat Arkan yang bicara pada Maura, tapi ia tahan. Angga menutupi wajahnya dengan pura-pura membaca brosur informasi diskon coles minggu ini. Ia hanya duduk di ruang tengah saja, tidak ikut mereka yang sedang ngobrol di meja makan. Di hadapan Maura ada laptop, karena memang dia sedang membaca berita online dengan laptopnya itu.
“Ya gitu deh.” Maura menjawab keingintahuan Arkan.
“Ha serius, elo istrinya Gardin?” Angga sekarang ikut nimbrung. Dia sebenarnya lebih penasaran dengan isi hati Maura.
“Jadi elo tuh sudah cerai atau belum?”
Maura bingung, mau cerita nggak ya, yah… tapi mereka juga sudah terlanjur menebak. “Lebih tepatnya Gardin sudah menjatuhkan talak satu ke gue. Jadi tinggal ketok palu aja sih.”
“Saat dia jatuhin talak, dia tahu elo hamil?”
Maura menggeleng. “Sampai sekarang dia belum tahu gue hamil anak dia. Gue nggak mau ganggulah, Lucy saat itu juga bilang dia hamil. Dan Gardin lebih milih Lucy dari gue. Makanya gue cabut aja. Nggak kepengen ganggu mereka yang lagi happy.”
Arkan dan Angga terdiam. Mulut mereka gatel banget pengen memberi tahu Maura kalau Gardin sudah tahu kalau Maura hamil, makanya mereka ada di sini, ditugaskan untuk menjaga dirinya. Tapi mereka tahan.
Maura kembali melihat photo pernikahan itu. “Gaun ini hebat banget ya, bisa menyembunyikan kehamilan Lucy, kandungannya kan sudah menginjak tujuh bulan.” Maura Heran.
“Lucy keguguran mbak.”
“Ha? Kok Tahu?”
“Tunangan gue follow instagramnya. Itu skuter sejak pacaran sama Gardin heboh banget mbak. Rajin pamer: pamer mobil baru, tas baru, apartemen baru, bahkan pas keguguran aja rajin banget posting di RS karena dia di klas VVIP. Udah gitu sering banget nulis status maap ya ijin nggak syuting, harus bedrest. Sok eksis banget, semua juga tahu dia sepi job.”
Arkan dan Maura jadi tertawa. “Kok elo update banget, beserta nyinyirannya lagi.”
“Sebetulnya yang nyinyir tunangan gue mbak, tapi karena dia selalu nyinyirnya depan gue, jadi gue ikutan deh.”
Tapi Maura terpana mendengar informasi itu. Oh Lucy keguguran. Sejenak ia iba. Maura tahu banget sakitnya kehilangan calon anaknya. Dia empat kali merasakan hal itu. Ia pun juga iba pada Gardin. Dia sangat tahu bangaimana Gardin sangat menantikan anak itu. Semoga mereka cepat mendapatkan gantinya. Doa tulus Maura untuk mereka yang telah menyakiti batinnya.
**
(He, kalian ngomongin bini gue apa tadi?) Gardin bertanya pada kedua staffnya di grup WA mereka.
Arkan dan Angga yang sedang duduk di sofa ruang tengah langsung saling memandang. Mereka salah ngomong apa ya? Maura sudah masuk kamar saat itu, sudah pukul delapan malam, sepertinya Maura sudah tidur.
(Kita ngomongin Mbak Maura apa bang?)
(Bukan Maura, itu elo bilang Lucy sok eksis?) Sebenarnya Gardin pun mengetik pesan itu sambil tertawa.
(Eh, lagian elo iseng amat sih dengerin kita ngomong. CEO nggak ada kerjaan ya?)
(Kurang ngajar lu, gue kangen bini gue tahu nggak?) Nih bocah-bocah udah bisa kurang ajar sama gue ya? Guman Gardin.
(Lha depan mata yang baru dianggurin? Bang kita itu menghibur Mbak Maura, dia sedih melihat photo pernikahan elo sama Lucy, Nyinyirin dikit Lucy lah biar Mbak Maura terhibur)
Membaca pesan itu Gardin terdiam. “Akuh begitu menyakiti kamu ya sayang? Maaf ya.” Gardin bicara pelan “Percaya deh, akupun tersiksa, tapi aku harus melaksanakan janjiku.”

_*...Bersambung.....*_

Artikel keren lainnya:

Janda CEO Part 5 (Novel)

JANDA CEO Part 5
Misi Persahabatan

Minggu pertama bulan Oktober Angga dan Arkan sudah siap untuk berangkat. Kelengkapan administrasi telah selesai, walaupun semua dikerjakan secara ngebut. Ya memang agen yang ditugaskan Gardin mempermudah semuanya sih. Bener-bener deh kalau bos besar ada maunya semuanya jadi cepet.

Sekarang, Angga dan Arkan ada di ruangan sekertarisnya Gardin namanya Mbak Mia. Mereka ada di sana karena Mbak Mia inilah yang memberikan mereka tiket untuk terbang ke Brisbane. Arkan dan Angga menerima tiket itu dan berterima kasih. Hari ini merupakan hari terakhir mereka bekerja sebelum berangkat ke Brisbane. Mereka dikasih libur dua hari dan setelahnya mereka langsung berangkat ke Brisbane.

“Kalian ditugasin apa sih sama Pak Gardin, sampai-sampai dapet tiket kelas bisnis?” Mbak Mia penasaran. Baru ini ada staff junior tugas dapet tiket bisnis. Biasanya fasilitas kantor itu hanya memberikan penerbangan kelas bisnis pada staf yang kedudukannya minimal senior manager.

Angga dan Arkan kaget dan saling bertatapan tak percaya mendengar informasi dari Mbak Mia.

“Serius mbak ini kelas bisnis?” Angga masih nggak percaya.

Mia pun mengangguk. “Harus aku lagi yang pesan, nggak boleh orang keuangan, Pak Gardin sampai berkali-kali wanti-wanti.”

Wow… cuma itu komentar yang terfikirkan keduanya.

“Boleh ketemu Pak Gardin nggak mbak?”

Mbak Mia mengangguk. “Kalian memang sudah ditunggu. Di dalam juga ada Pak Jason kok.”

Angga mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan Gardin. Dari dalam Gardin memerintahkan untuk masuk. Angga dan Arkan pun masuk ke dalam ruangan dengan takut-takut. Mereka pun langsung duduk di sofa di hadapan Jason dan Gardin dengan canggung.

“Sudah siap berangkatkan?” Tanya Jason.

Arkan dan Angga mengangguk bersamaan.

“Sebelumnya makasih banyak bang, kita dikasih kelas bisnis terbangnya.” Arkan mencoba untuk sopan.

“Jangan seneng dulu lu. Gue ngasih bisnis biar kalian bisa tidur di pesawat. Karena begitu landing kalian langsung kerja.” Jawab Gardin.

Mendengar informasi tersebut Angga dan Arkan langsung manyun. Busyet deh nih bos nggak boleh bener yak anak buahnya seneng bentar.

“Begitu kalian landing, kalian akan dijemput oleh Pak Syarif. Pak Syarif itu detektif yang dibayar Gardin untuk menjaga Maura. Nanti Pak Syarif akan memberi tahu apa yang harus kalian lakukan ya.” Jason memberikan instruksi pada keduanya.

“Ok bang.” Angga dan Arkan menjawab bersamaan.

“Begitu sampai kalian langsung beli nomer Australia ya, nanti kalian tambahin grup WA kita dengan nomer Australia kalian itu.” Kali ini Gardin yang memberikan instruksi.

“Siap bang.”

“Di grup nama gue sama bang Jason udah kalian gantikan?”

“Sudah bang. Sesuai kesepakatan. Bang Gardin jadi Andra, Bang Jason jadi Malik.”

Jason terkekeh mendengar namanya jadi Malik. “Kalian nemu nama itu dari mana sih? Terserahlah. Kita menjaga aja jangan sampai Maura tahu kalau kita yang menyuruh kalian berteman dengan dia.”

“Nah itu bener, apapun yang terjadi jangan sampai kalian mengaku kalau kalian disuruh kita ya!”

“Iya bang.”
**
Nggak usah di ceritain yah bagaimana noraknya Angga dan Arkan terbang dengan business class pertama kalinya dalam hidup mereka. Yang pasti mereka seneng bangetlah, Untuk pertama kalinya di udara mereka merasakan yang namanya red and white wine. Tapi ternyata anak-anak muda ini mampu mengontrol diri mereka. Ingat akan ada tugas berat yang harus mereka emban ketika mereka landing. Kedua anak muda itu lebih memilih untuk tidur di dalam pesawat dalam kenyamanan mereka terbang. Nyaman banget yah bobo di business class itu, nggak usah minta geseran dikit sama penumpang lain. Hehehe… dikira angkot kali geser dikit.

Begitu landing di Brisbane sesuai rencana mereka langsung dijemput oleh Pak Syarif. Pak Syarif pun mengantarkan mereka ke apartemen mereka. Jangan dibayangin apartemen yang dimaksud gedung tinggi ya. Apartemen ini berada dalam pemukiman di daerah St.Lucia, lebih mirip town house sih, bangunannya hanya berlantai tiga. Apartemen itu terdiri dari tiga kamar tidur yang terletak di lantai satu.

Tugas berat pertama mereka adalah membuat Maura bersedia tinggal bersama mereka. Pak Syarif menunjukan kamar untuk Maura, kamar terbesar yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Sedangkan dua kamar lainnya untuk Angga dan Arkan memiliki kamar mandi di luar kamar, mereka harus berbagi kamar mandi itu. Nggak masalah sih, apartemen ini nyaman kok. Menurut Pak Syarif apartemen ini dibeli Gardin untuk Maura begitu ia tahu Maura ada di Brisbane. Pak Syarif yang mengurus semua proses pembelian apartemen ini. Jadi mereka nggak perlu pusing dengan membayar mingguan sewa apartemen ini. Bahkan untuk tagihan listrik, internet dan maintenance pun langsung ditagihkan ke kantor. Mereka hanya cukup tinggal di sini, dan berusaha membuat Maura mau tinggal bersama mereka. Pak Syarif pun langsung menyerahkan pada mereka sebuah mobil bermerk Toyota seri Harrier untuk mereka gunakan sebagai armada mereka memberikan pelayanan prima pada Maura. Untuk operasional mobil dan lain-lainnya, Pak Syarif menyerahkan kartu ATM yang berisi dollar yang cukup banyak. Lengkap semua fasilitas untuk mereka, eits… jangan salah ini semua bukan untuk mereka, tapi untuk Maura. Angga dan Arkan hanyalah perantara agar semua fasilitas ini sampai pada Maura tanpa Maura mengetahuinya. Bagaimana caranya nih?

“Ini akan menjadi kamar ibu Maura pak?” Tanya Arkan pada Pak Syarif.

Arkan, Angga dan Pak Syarif sedang memasuki ruangan tidur yang direncanakan untuk Maura.

Pak Syarif mengangguk. Lalu memberi kode untuk keluar kamar itu. Mengajak mereka untuk memasuki salah satu kamar yang nantinya akan menjadi kamar Angga atau Arkan.

“Begini, Kamar ibu Maura, ruang tengah dan dapur telah dilengkapi oleh kamera CCTV yang aksesnya hanya bisa dilihat oleh Pak Gardin.” Pak Syarif mulai menjelaskan. “Jadi kalian jangan sembarang bertindak di tempat itu. “

Angga dan Arkan pun mengangguk mengerti.

“Saat ini ibu Maura tinggal di lantai atas. Nah tugas kalian bisa membuat ibu Maura bersedia tinggal bersama kalian. Buat beliau percaya bahwa kalian hanyalah mahasiswa yang baik, yang nggak tega melihat perempuan hamil harus naik turun tangga, sedangkan unit kalian terletak di bawah.”

“Ibu Maura sudah hamil berapa bulan pak?”

Pak Syarif berusaha mengingat. “Kira-kira tujuh bulan, sudah kelihatan kok dia sedang hamil.”

Angga dan Arkan mengangguk mengerti.

Sekarang ini kan weekend biasanya beliau akan pergi belanja mingguan ke Coles Toowong. Kalian bisa mulai menyapa dan mencoba berkenalan siang ini. Tapi jangan berlebihan, coba se-natural mungkin.”

Angga dan Arkan menyimak penjelasan Pak Syarif.

“Coba kenalan dengan mengatakan bahwa kalian orang baru, minta petunjuk di mana harus belanja groceries, dan coba menawarkan diri untuk pergi bersama, seakan-akan begitu kebetulan bahwa beliau juga ingin belanja.”

Hm… cara yang masuk akal sih.

“Tapi berusaha sangat sopan ya, buat beliau percaya bahwa kalian orang baik. Tumbuhkan rasa percaya beliau pada kalian, karena misi utama kalian adalah membuat dia bersedia tinggal bersama kalian.”

Arkan dan Angga pun kembali mengagguk mengerti.

Pak Syarif melirik ke jam dinding. Sekarang pukul 11 siang. “Masih ada waktu satu jam, biasanya ibu Maura pergi jam 12 siang. Kalian kalau mau mandi atau siap-siap sekarang deh!” Ia pun berjalan ke ruang tengah. Dan membiarkan Arkan dan Angga memilih kamar mereka, setelahnya mereka harus bersiap untuk menjalankan misi pertama mereka, misi persahabatan.
**

Pak Syarif mengintip dari jendela, memperhatikan acting Angga dan Arkan. Dia tersenyum dan ingin tertawa melihat dua anak muda itu mencoba tampil senatural mungkin.

“Kita nanya sama siapa?”

“Gue juga nggak tahu.”

“Apa kita ketok salah satu unit aja?”

“Gila lo… ini bukan Jakarta, mana bisa kita kayak begitu.”

Maura pun melintas dan memperhatikan dua anak muda yang sedang kebingungan itu. “Halo.” Sapanya pada Angga dan Arkan.

Angga dan Arkan pun tersenyum.

“Indonesia?”

Maura mengangguk dan masih tersenyum. “Ada yang bisa dibantu?”

“Ini bu, eh mbak…” Arkan ragu diapun sedikit melirik perut Maura.

“Mbak aja.” Maura meralat.

“Iya mbak, kita baru landing dari Jakarta, kebingungan mau ke supermarket beli bahan makanan sama keperluan harian. Mau nanya bingung nanya sama siapa?”

“Oh begitu. Kebetulan saya juga mau belanja mingguan. Mau bareng?” Maura dengan ramah langsung menawarkan diri.

“Nggak ngerepotin mbak?” Kali ini Angga yang bertanya.

“Sama sekali nggaklah, kan saya juga mau ke sana.”

“Oh gitu ya mbak. Kita naik mobil yuk mbak, kebetulan omnya Angga minjemin kita mobil.”

Maura mengangguk. “Boleh, dengan senang hati malah, nggak perlu ke halte bis.” Maura tertawa ramah.

Mereka pun berjalan ke parkiran mobil.

“Eh kenalan dulu mbak, Saya Angga.” Angga memberikan tangannya untuk dijabat, Maura menerima dengan ramah.

“Saya Arkan mbak.”

Maura kembali tersenyum. “Saya Maura.”

“Makasih banyak ya mbak, sudah bersedia menemin kita.”

Mereka pun mengobrol terus menuju mobil yang dimaksud.

Melihat pemandangan itu Pak Syarif menghela nafas lega. Satu misi telah berjalan baik. Ternyata dua anak yang awalnya begitu meragukan bisa dipercaya mengemban tanggung jawab. Malam ini, Pak Syarif bisa pulang ke Jakarta dengan tenang.

Ditinggal sendirian di unit ini membuat Pak Syarif menjadi termenung. Pak Syarif dulu adalah orang kepercayaan Pak Handoko ayahnya Gardin. Mengenai Maura, ini kedua kalinya Pak Syarif bekerja. Yang pertama lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Pak Handoko sendirilah yang menyuruh Syarif untuk mencari tahu tentang Maura. Ketika itu Gardin begitu tergila-gila dengan Maura. Pak Handoko ingin mengetahui seperti apa Maura itu, bagaimana latar belakang keluarganya. Pak Handoko adalah orang tua yang sangat open-minded pada saat itu. ia hanya tak ingin anaknya jatuh cinta pada orang yang salah. Begitu mengetahui kalau Maura berasal dari keluarga baik-baik yang tidak memiliki track record buruk, dan kepribadian Maura pun baik, Pak Handoko langsung merestui hubungan anaknya, walaupun secara ekonomi keluarga Maura sangat kekurangan. Hal itu tidak masalah bagi Handoko. Dan sekarang, justru Gardin lah yang menghubungi Pak Syarif, memintanya mencari Maura di Brisbane, mengawasi dan menjaganya sampai ada orang suruhannya yang akan menggantikan posisi Pak Syarif dengan tugas-tugasnya itu. Sebenarnya Gardin memintanya untuk lebih lama menjaga Maura, hanya saja ada permasalahan administrasi. Orang suruhan Gardin begitu terburu-buru mengurus visa untuk Pak Syarif, hingga akhirnya visa itu hanya single entry dan hanya bertahan selama tiga bulan. Untuk kembali lagi ke sini, artinya ia harus mengulang apply visa lagi dari awal, dan butuh waktu tidak sebentar.  Ya sudahlah, toh sekarang sudah ada Angga dan Arkan yang bertugas menjaga Maura. Dan sepertinya mereka bisa diandalkan kok.
**

(Bang ini ibu Maura?) Arkan mengirimkan photo Maura melalui grup WA. Photo itu diambilnya secara diam-diam ketika Maura sedang belanja bersama mereka.

Maura terekam dalam kamera sedang menggunakan baby doll berwarna biru langit selutut, rambutnya terikat ekor satu, dan menggunakan flatshoes berwarna krem. Terlihat Maura begitu santai tapi tetap anggun. Aura keibuannya begitu melekat karena kehamilannya telah terlihat jelas. Photo itu sedang memperlihatkan dirinya sedang mengamati satu produk coklat.

Gardin terpana melihat pemandangan itu, baru kali ini dia mendapatkan photo yang begitu jelas. Pak Syarif memang sering mengirimkan photo Maura padanya tapi photo kali ini terlihat begitu berbeda. Sepertinya Arkan memang seorang photographer amatir yang baik. “Astaga, kamu makin cantik kalau lagi hamil begini sayang.” Gardin bicara sendiri karena begitu takjub. Seketika Gardin begitu kangen Maura. Jantungnya berdetak begitu kencang memandangi photo itu. Mengutuk dirinya sendiri, bodoh benar dirinya melepas istrinya pergi begitu saja.

(Bang, bener nggak?)

(Iya bener, Gardin lagi kangen Maura gara-gara lihat photo itu makanya nggak jawab elo) Jason yang menjawab pertanyaan Arkan.

(Oo)
(Kalian lagi ngapain sekarang?) Tanya Jason

(Lagi belanja bareng ibu Maura bang, kita tadi kenalan sama beliau disuruh Pak Syarif nanya supermarket sama Ibu Maura, biar ada alasan kenalan)

(Ya udah terusin aja, ntar aja kalian laporan lagi)

(Ok bang)

Percakapan pun terputus.

Gila lo bang, ternyata elo bener-bener kenal gue. Gardin bicara dalam hatinya. Elo memang benar gue kangen banget istri gue…


“Mbak Maura makasih banyak ya.” Angga berterima kasih pada Maura ketika mereka telah kembali ke unit mereka. Sekarang mereka berada di depan tangga menuju unit Maura.

Maura tersenyum. “Saya yang makasih lho, ini udah dapet tebengan, dibawain lagi belanjaannya.”

“Kita bawain ke unit mbak Maura ya mbak. Mbak Maura tinggalnya di mana?” Tanya Arkan yang masih membawa belanjaan Maura.

“Saya tinggal di atas unit kalian, tapi nggak usah. Makasih banyak ya.” Maura bermaksud mengambil belanjaannya yang masih dibawakan Arkan dan Angga.

“Eh jangan mbak! Sudah kita bawain ya.”

Angga dan Arkan langsung menuju tangga yang dimaksud membawakan belanjaan itu naik ke unit Maura.

Maura tersenyum dan pada akhirnya membiarkan mereka berjalan mendahului dirinya. Mengerti sih, laki-laki baik pasti nggak akan tega melihat perempuan hamil mengangkat belanjaan demikian banyaknya. Ah andai saja yang membawakan itu Gardin, tentunya Maura sangat bahagia. Maura pun hanya berjalan menyusuri tangga dibelakang keduanya. Ketika mereka berada di depan unitnya, Maura pun membukakan pintu dengan kunci yang sedari tadi dipegangnya. Setelahnya mempersilahkan keduanya masuk.

“Mampir dulu yuk, saya bikinin es syrup?”

Arkan dan Angga langsung nyengir. Ya mau bangetlah. Merekapun langsung masuk ketika telah dipersilahkan oleh si pemilik rumah. Mereka pun duduk manis di ruang tengah. Unit ini rapih banget, nyaman banget deh. Mereka pun mengamati seluruh sudut ruangan itu.

“Unit ini berapa kabar mbak?” Arkan pun berbasa-basi.

“Dua kamar.”

“Mbak berdua sama suami tinggal di sini?”

Maura memberikan minuman yang dibuatnya pada keduanya setelahnya diapun menggeleng. “Saya sendirian, ya beberapa bulan lagi akan berdua dengan yang di perut ini.”

“Oh suami nggak ikut mbak?”

“Mantan suami saya di Jakarta.”

“Eh… maap mbak.” Arkan diam.

“Elo sih.” Angga berkata pelan.

Arkan menjadi menyesal.

“Nggak papa kok.” Maura meminta untuk berhenti menyalahkan. “Kalian kuliah di UQ?”

“Eh iya mbak. Kita ambil Master, hukum.” Jawab Angga.

“Oh, kok datengnya bulan begini?”

“Iya mbak, kita ikut kelas bahasa Inggris dulu mbak, khusus writing aja, karena writing kita masih jelek.”

“Oh, di ICTE?”

“Iya mbak, kok tahu?”

“Saya juga lagi kursus di ICTE, kalau saya karena menunggu melahirkan dulu. Karena kemungkinan anak ini lahir di bulan desember makanya saya mengambil kursus dulu aja, baru bulan February kuliah master juga.”

“Oh begitu. Kenapa nggak melahirkan di Indonesia aja mbak?” Angga penasaran.

Maura tersenyum. “Yah sebenarnya saya ada masalah dengan mantan suami, jadi saya agak-agak berusaha menghilang dari dia, makanya saya memutuskan melahirkan di sini aja.” Entah kenapa Maura begitu mudah bicara jujur dengan kedua orang yang baru dia kenal. Apa mungkin karena dia selama ini jarang bertemu dengan orang selain teman sekelasnya ya, sehingga tiba-tiba aja bawaannya pengen curhat.

“Oh maaf mbak.” Kali ini Angga yang merasa terlalu banyak bertanya.

“Nggak papa kok. Saya yang minta maaf nih, kok ketemu kalian bawaannya pengen curhat aja, padahalkan kalian orang baru. Apa bawaan bayi ya?”

“Ah nggak papa kok mbak. Kadang curhat dengan orang yang baru dikenal malah lebih nyaman.”

Maura pun tersenyum.

“Mbak, tapi ngomong-ngomong kenapa tinggal sendirian tapi dua kamar begini?”

“Saya dicarikan tempat tinggal oleh kenalan dari pengacara saya, karena terburu-buru yang ada tempat ini, ya sudah saya terima saja. Walaupun memang agak berlebihan sih, saya tinggal sendiri jugakan. Tapi saya hanya ngontrak enam bulan kok di unit ini, dan sudah berjalan tiga bulan juga.”

“Oh begitu.”

“Eh mbak, kalau nanti malam kita undang makan malam di unit kita mau nggak? Ya biar lebih akrab saja sama tetangga?” Tiba-tiba Arkan mengeluarkan ide.

“Kalian kan baru pindah, apa sudah siap menyambut tamu?” Maura bingung.

Arkan garuk-garuk kepala. “Iya ya…”

“Ya sudah, kalian nanti malam makan malam di sini saja, saya aja deh yang mengundang.”

“Beneran mbak?” Angga yang kali ini bertanya.

Maura mengangguk.

“Tapi saya aja yang masak ya mbak, saya bisa masak lho. Kata ibu saya masakan saya enak.” Pinta Arkan.

“Oh ya?” Maura dan Angga heran.

“Ibu saya orang tua tunggal mbak. Karena ibu saya seharian kerja, saya dari kecil terbiasa masak untuk saya dan adik saya. Ibu saya yang ngajarin setiap weekend.”

“Oh begitu. Ok deh, saya mah setuju-setuju aja.”

“Ok deh sampai nanti malam ya mbak.”

Angga dan Arkan pun pamit setelah mereka menghabiskan syrup yang dihidangkan Maura.


Sejak perkenalan hari itu, mereka menjadi sangat akrab. Setiap pagi mereka berjalan bersama menuju tempat kursus mereka, dan kemudian pulang bersama. Mereka memang memiliki jadwal kursus yang sama, sehingga memudahkan untuk kesemuanya berangkat dan pulang bersama. Angga dan Arkan menawarkan Maura untuk berangkat kursus dengan kendaraan yang mereka punya, tapi Maura menolak. Karena sebenarnya lokasi mereka tinggal tidak terlau jauh dari ICTE tempat mereka kursus. Berjalan kaki sangat menyehatkan bagi ibu hamil. Begitu dalih Maura. Akhirnya Angga dan Arkan mengalah saja. Persahabatan yang baru mereka jalin berjalan sangat nyaman. Maura ternyata memiliki personality yang ramah dan menyenangkan. Dan sepertinya dia memang kesepian sehingga Angga dan Arkan dengan mudah bisa menjadi sahabat baiknya. Hati kecil Maura juga melihat ketulusan keduanya untuk berteman, sehingga dia amat membuka diri.

Misi pertama telah berhasil, menjalin persahabatan dengan Maura. Semua telah dilaporkan pada Gardin dan Jason. Arkan dan Angga sering kali mengajak Maura untuk makan di unit mereka sehingga kegiatan mereka bisa dipantau Gardin. Gardin sangat senang dengan kemampuan Arkan dan Angga berteman dan melindungi Maura. Selanjutnya menjalankan misi kedua. Yaitu mengajak Maura tinggal bersama dengan mereka. Tapi untuk hal itu bisa terjadi, nggak akan mudah. Harus pelan-pelan. Menanamkan kepercayaan yang utuh bagi Maura terhadap keduanya. Gardin dan Jason pun meminta mereka tidak terburu-buru untuk menjalankan misi kedua mereka.

“Mbak Maura rencananya mau melahirkan di mana?” Angga bertanya ketika mereka telah selesai menikmati hidangan makan malam di unit Angga dan Arkan. Sudah menjadi kebiasaan buat mereka untuk makan malam bersama menikmati hidangan buatan Arkan. Kadang-kadang mereka makan di luar juga sih.

“Kalau ngikutin aturan asuransi alliance sih gue harusnya melahirkan di Royal Brisbane Women hospital itu. Tapi itu terlalu jauh. Jadi gue memutuskan untuk melahirkan di Wesley aja.” Maura menyebutkan rumah sakit swasta yang terletak di Coronation Drive. Memang letaknya lebih dekat dibandingkan RBWH dari tempat mereka tinggal.

“Jangan sungkan ya mbak minta anter sama kita, mumpung mobil omnya Angga masih sama kita.” Pinta Arkan.

Maura tersenyum penuh terima kasih. Dia memang butuh bantuan dari mereka.

“Ini beneran lho mbak, bukan basa-basi.” Angga pun menegaskan.

“Semenjak gue kenal kalian, kok jadi manja gini ya? Belanja ditemenin, bahkan ke kampus pun selalu sama kalian.” Semenjak mereka sudah merasa akrab, Maura sudah meminta mereka untuk lebih luwes dengan menggunakan gue-elo dalam komunikasi mereka.

“Lha, memangnya kenapa, kita nggak keberatan kok.”

“Kalian nggak risih apa, mainnya sama perempuan hamil? Kalian kan masih muda, ya mainnya sama yang muda-muda juga lah. Gue nggak pernah lihat lho kalian main sama siapa gitu"

Arkan dan Angga hanya nyengir..... 

>>>bersambung

Artikel keren lainnya:

Janda CEO Bagian 4 (Cerbung)

JANDA CEO......bagian (4).

Kalau ada yang kepo berapa banyak sih tabungan yang dimiliki Maura? Jawabnya dua juta US dollar. Itu merupakan tabungan selama sepuluh tahun Maura bersama Gardin. Dari itu Maura sebenarnya bingung, kenapa sih Gardin keukeuh banget agar Maura meminta lebih dari apa yang dimilikinya sekarang? Uang segitu jelas banyak bangetlah, cukup kok untuk dia bertahan hidup, dan gaya hidupnya juga nggak suka foya-foya dan dia pun juga bukan shopaholic, makanya dia yakin banget bisa bertahan dengan limpahan rejeki yang dia punya. Masih harus minta hartanya Gardin lagi? Ya nggak perlulah, dia bukan perempuan serakah kok.
Nah untuk hidupnya di Brisbane dia hanya membawa seperempat tabungannya itu. Sisanya ada dalam rupiah di Jakarta. Dia yakin apa yang dia bawa lebih dari cukup untuk biaya melahirkan dan juga untuk selama ia menempuh pendidikan masternya. Rencananya, untuk program masternya dia akan mengambil business dan memfokuskan pada food and beverage. Karena rencananya, nanti ia akan melakukan usaha di bidang itu.
Mengawali kehidupannya di Brisbane dengan menjadi siswa di satu kursus bahasa Inggris. Sebenarnya dengan nilai IELTS yang dia punya dia sudah bisa langsung masuk program master, tapi karena ia akan melahirkan dalam empat bulan ke depan, maka akan lebih mudah baginya untuk kursus bahasa dulu, dan memulai program masternya di semester depan. Yah… kira-kira usia anaknya nanti akan dua bulan ketika ia mulai kuliah. Sudah bisalah untuk dititipkan ke daycareatau dia akan menyewa baby sitterselama ia kuliah. Masih belum memutuskan… lihat nanti ajalah. Intinya semua sudah dalam rencananya.
Alhamdulilah, semua baik-baik saja, Maura rajin control kandungannya ke midwifedan dokter umum di klinik kampus, dan melakukan USG tiga bulan sekali. Janinnya sehat dan diapun kuat. Yes...!
**
Angga dan Arkan dorong-dorongan memasuki ruangan Jason. Melihat pemandangan itu Jason berusaha keras menyembunyikan tawanya. ia berusaha menciptakan suasana kaku dan seakan ia sedang marah pada keduanya. Bahkan Jason sama sekali tidak mempersilahkan keduanya duduk ketika mereka telah berada tepat di hadapan Jason.
“Gue denger kalian mau sekolah lagi?” Jason membuka pembicaraan.
“Eh… anu bang…” Arkan bingung memulai pembicaraan.
“Yang jelas kalau ngomong, elo mau sekolah atau mau anu?”
“Iya bang.” Angga menjawab ketakutan.
“Dapet di mana kalian?”
“Masih belom pasti kok bang, soalnya masih bingung…”
“Gue tanya, kalian dapet mana?” Jason membentak sambil memukul meja kerjanya.
“UQ bang.” Keduanya menjawab serentak dengan begitu ketakutan.
“Gitu aja susah. Kapan kalian berangkat?”
“Eh… itu bang masalahnya.”
“Kenapa?”
“Saya belum dapet beasiswanya bang.” Jawab Arkan.
Jason menatap Angga. “Kalo elo?”
“Masih nunggu pengumuman LPDP bang.” Jawab Angga.
Jason tersenyum. Tuhan Maha baik, semua memang tidak ada yang kebetulan. Diterimanya kedua anak buahnya yang diam-diam melamar S2 ke UQ justru mempermudah kerjanya. “Gue bayarin mau nggak?”
“Ha?” Bersamaan Angga dan Arkan begitu heran.
“Budek ya kalian? Bukan gue sih yang bayarin kalian, Perusahaan yang bersedia bayarin semua kebutuhan kuliah kalian di sana, mau nggak?”
“Bayarin apaan bang?”
“Kuliah, biaya hidup, asuransi, terbang ke sana. Kayak beasiswa deh.”
“Serius bang?”
“Memangnya kayak begini nggak serius?”
Angga dan Arkan saling berpandangan.
“Tapi ada syaratnya.”
“Apaan bang?” Keduanya makin penasaran.
“Pertama, setelah kuliah selesai kalian harus balik kerja di sini lagi.”
Angga dan Arkan mengerti. “Ada lagi bang?”
Jason mengangguk. “Ini yang paling penting…” dia pun mempersilahkan keduanya duduk dan mulai menjelaskan duduk persoalannya.
Dengan serius, keduanya menyimak penjelasan yang diberikan Jason pada mereka. Ternyata ada misi penting.
**
“Menurut elo kita ambil nggak tawaran Bang Jason dan Pak Gardin itu?” Angga benar-benar ragu dia butuh pemikiran Arkan. Mereka diberi waktu beberapa jam untuk berfikir oleh Jason. Saat ini mereka telah kembali ke kubik kerja mereka. Duduk sambil dalam keadaan galau, mereka mencoba berdiskusi.
“Jagain bini orang, bininya big bos lagi. Berat euy…” Dua pengacara muda ini benar-benar dalam dilemma.
“Jadi gimana?”
“Menggiurkan banget sih tawarannya, gaji kita di sini tetep jalan walau kita sekolah, udah gitu bulanan selama kita di sana gede banget dibandingkan beasiswa biasa.”
“Makanya. Selain itu, ini tantangan seru lagi, kita jadi detektif gitu.”
“Apaan lu, emang dipikir kuliah nggak berat apa, temen gue bilang kuliah hukum di sana tugasnya seabreg tau nggak, sekarang ditambah kerjaan jagain bini orang, mana hamil lagi.”
“Ah anggap aja kita punya part time job.”
“Part time job kita yang mana? Jagain bini orangnya atau kuliah kitanya?”
Angga bingung dengan pertanyaan Arkan. Iya ya… bisa-bisa kuliahnya yang akan menjadi part time job mereka. Mengingat Pak Gardin kan bos besar nggak mungkin banget jagain istrinya itu merupakan kerjaan sampingan. “Jadi gimana dong?”
Arkan menatap Angga tajam. “Elo mau nggak?”
Angga mengangguk. “Gue mau tapi gue nggak sanggup sendiri.”
Arkan diam sejenak. “Ok deh, gue mau, tapi janji ya, Susah ataupun gampang kita tanggung bareng-bareng!”
“Siap.”
Arkan mengajak Angga menjabat tangannya. “Deal ya nggak ada yang boleh nyerah!”
“Deal. Kita harus pulang bawa ijasah juga ya.”
“Wajib!” Jawab Arkan mantap.
Dengan kesepakatan yang mereka buat, mereka pun dengan percaya diri melangkah kembali memasuki ruangan Jason.
**
Jason membawa Angga dan Arkan ke ruangan Gardin. Dan memperkenalkan mereka sebagai staff mereka yang akan kuliah di UQ.
“Usia kalian berapa sih?” Gardin heran aja, ini kok yang dibawa Jason unyu-unyu begini.
“Saya 25 pak.” Jawab Angga.
“Saya 26 pak.” Kali ini Arkan juga menjawab.
Setelah saling berjabat tangan, Gardin memperkenalkan ketiganya duduk. “Kalian sudah tahukan tujuan kalian gue panggil?”
Angga dan Arkan mengangguk.
“Kalian bersediakan bantu gue?”
Angga dan Arkan kembali hanya mengangguk.
“Jangan ngangguk-ngangguk aja, kalian ngertikan apa tugas kalian, jagain istri gue, laporin setiap kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan kehamilannya?”
“Iya pak.”
“Kalian panggil gue kayak manggil Bang Jason aja, panggil gue Bang, karena kita akan sering berkomunikasi, aneh kalau kalian masih panggil gue pak!”
“Baik pak… eh… baik Bang.” Arkan masih rikuh memanggil bos besar dengan sebutan Bang, sok akrab banget sih.
“Kapan rencananya kalian berangkat?”
“Awal tahun depan bang, karena kuliah kita mulai bulan February.”
“Nggak bisa!”
“Ha?”
“Kalian harus berangkat dalam tiga minggu ini, paling nggak awal bulan depan, detektif yang gue sewa harus keluar Australia pertengahan bulan depan, kalian harus gantiin dia jagain istri gue!”
“Kita belum ngurus visa bang, lagi pula Surat dari kampus untuk bikin visa juga belum keluar karena kuliah juga masih jauh waktunya.”
“Minta surat bahwa kalian butuh kursus Bahasa Inggris dulu, ntar gue juga tanggung kursus kalian!”
Arkan dan Angga makin bingung.
“Gue udah minta bagian keuangan untuk bikin financial guaranty letterbuat kalian, untuk kebutuhan keberangkatan, hari ini juga bakal ditransfer ke rekening gaji kalian. Tution feekalian langsung ditagihkan ke sini, kalian nggak usah khawatir, allowance kalian di sana bakal ditransfer langsung untuk dua tahun dimuka begitu kalian kasih nomer rekening kalian di sana. Tiket bakal di kasih ketika visa udah di tangan. Pokoknya gue mau kalian cepet kerjanya!”
Angga dan Arkan benar-benar gelagapan dengan segala informasi yang mereka terima dari Gardin. Hadeuh… nafas dulu, kenapa seperti lagi sprint begini?
“Tapi bang…” Angga berusaha menghentikan Gardin memberikan informasi untuk dirinya dan Arkan.
Kesemuanya menoleh ke Angga.
“Saya belum siap.”
“Ha?”
“Saya belum ijin orang tua dan tunangan saya bang.”
“Astaga…” Jason dan Gardin langsung tepok jidat.
“Karena saya fikir saya akan berangkat masih empat bulan lagi bang.” Angga menjawab pelan dengan rasa bersalah dan ketakutan.
“Tenang… tenang!” Jason berusaha menenangkan Gardin yang agak emosi. Anak-anak ini nggak sepenuhnya salah, too much information and ordersdalam waktu yang begitu singkat.
“Elo juga belum ijin orang tua sama tunangan juga?” Gardin bertanya pada Arkan.
Arkan menggeleng ketakutan. “Saya jomblo bang, tapi memang belum ijin ibu saya, karena sebenarnya saya nggak yakin bisa berangkat, saya sampai kemarin belum punya beasiswa.”
Gardin benar-benar gregetan mendengar para unyu-unyu ini bicara. Yah nggak salah juga sih, sebelum hari ini kan mereka benar-benar nggak tahu harus berangkat secepat ini.
“Lagi pun, kuliah kami hanya satu setengah tahun bang, nggak sampai dua tahun.”
“Gue nggak mau tahu, pokoknya kalian harus di sana sampai bini dan anak gue balik lagi ke sini, ngerti!” Gardin kali ini berkeras.
“Iya Bang.” Keduanya menjawab bersamaan. Angga dan Arkan kebingungan kenapa malah sekarang mereka dimarahin ya? Yah… namanya menghadapi bos besar, sah-sah aja deh dia mau ngapain. Dalam hati keduanya begitu pasrah.

_*.Bersambung.*

Artikel keren lainnya:

Janda CEO Bagian 3 (Cerbung)

Cerbung JANDA CEO Part 3
Ilustrasi Wanita Karir

Menikah dengan Gardin, seorang CEO pada perusahaan berkelas konglomerasi bidang energy, memang meningkatkan kualitas hidup Maura. Seorang perempuan berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah, sang ayah hanya mampu menyekolahkannya di akademi sekretaris. Dipilihnya program study itu karena ia ingin cepat bekerja, ingin cepat-cepat membantu perekonomian keluarga yang morat-marit. Kondisi ekonomi mereka kala itu semakin terpuruk karena sang ayah dalam kondisi sakit. Sang ibu telah meninggal lima tahun sebelum maura menikah, ketika ia masih di bangku SMA. Sejak itu ia hanya tinggal berdua dengan sang ayah. Dan Ayahnya pun meninggal dunia tepat beberapa menit setelah ia memberikan restunya untuk Gardin dan Maura menikah. Maka menikahlah mereka di hadapan jenazah sang ayah. Ketika itu usia Maura dua puluh dua tahun dan Gardin berusia tiga puluh tahun. Bagi Maura tidak ada cobaan yang lebih berat dalam hidupnya melebihi kehilangan kedua orang tuanya. Kehilangan sang ayah membuatnya sangat rapuh dan kehilangan pegangan. Maka kehadiran Gardin datang di saat yang sangat tepat.

Setelah mereka menikah Gardin tidak mengijinkannya bekerja lagi. Tapi mendukungnya untuk melanjutkan sekolah. Maka, ia pun kuliah lagi di extention ekonomi UI. Berat, tapi Maura bahagia menjalaninya. Tepat empat tahun ia menyelesaikan kuliahnya dengan nilai yang gemilang. Berbekal ijasah S1 nya itulah membuat dia berkeinginan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Sebetulnya sudah lama ia punya keinginan itu, tapi selalu diurungkan mengingat sebagai istri Gardin dia begitu sibuk mendukung gerak bisnis sang suami.

Sekarang, Maura memutuskan untuk menjauh dan terbang ribuan kilometre dari Jakarta. Ia berencana untuk melahirkan di kota itu, setelahnya ia akan mengambil program master. Dia seorang diri sekarang, harus meningkatkan kualitas dirinya apabila ke depannya harus berjuang di atas kakinya sendiri. Pendidikan merupakan investasi terbaik yang terfikirkan saat ini. Tabungannya sangat cukup untuk menunjang itu semua. Untuk melahirkan di negeri orang, dan kemudian melanjutkan pendidikan. Yang berat adalah ia harus menjalani semua itu seorang diri. Meyakinkan dirinya bahwa ia sanggup, dan ia pasti bisa menjalaninya. Demi ketenangan batinnya, demi anak yang sedang dikandungannya. Anugrah terbesar yang akan dia dapatkan, setelah penantiannya selama sepuluh tahun. Ia harus menjaga kandungan ini baik-baik.

**

Gardin mengundang Lucy untuk datang ke kantornya ketika kondisi Lucy sudah sangat sehat. Lucy bahagia sekali dia bisa memasuki kantor mewah itu berperan sebagai istri dari pemilik perusahaan raksasa itu. Hm… calon istri sebenarnya.

Ketika memasuki ruangan Gardin, Lucy langsung mencoba mencium Gardin ketika di dapatinya Gardin tersenyum menyambut kedatangannya. Tapi Gardin dengan halus menolak ciuman itu, karena dia tidak sendiri di ruangan itu. Ada Bang Jason sang pengacara.

“Ini kantor, tolong jaga sikap!” Pintanya pelan pada Lucy.

Lucy hanya cemberut mendengarnya. Dan duduk di samping Gardin.

Setelah semuanya duduk tenang.

“Sebelum menikah, aku membuat penjanjian pra nikah untuk kamu. Aku melakukan hal yang sama pada Maura dulu.” Gardin menyerahkan satu berkas dokumen pada Lucy. “Kamu baca baik-baik ya!”

Lucy pun dengan enggan membaca. Tertulis bahwa statusnya adalah istri ke dua, apa yang menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajibannya. Tertulis juga tentang apabila terjadi perceraian dan apabila mereka memiliki anak.

“Kamu bilang, aku menjadi istri kedua hanya sementara waktu, kenapa sekarang menjadi tertulis begini?”

“Karena akan seperti itu. Ada hal penting yang membuat aku nggak mungkin menceraikan Maura.” Gardin bersikap sangat kaku dan tegas.

“Kok sekarang jadi berubah? Apa karena aku tidak hamil lagi?”

“Sama sekali tidak ada hubungannya dengan kamu, ada hal lain yang tidak bisa aku jelaskan.”

“Aku nggak mau.”

“Kalau kamu nggak mau nggak papa, artinya pernikahan ini tidak akan terjadi.”

“Kok kamu sekarang seperti ini?”

“Karena aku sangat marah dengan kamu.” Gardin pun memperlihatkan video itu.

Lucy kaget, ternyata ada bukti rekaman ketika ia menyerang Maura.

“Berapa kali aku bilang, jangan ganggu Maura. Apa tidak cukup bagi kita sudah mengkhianati dia, masih juga harus kamu siksa seperti itu?”

“Bukan begitu kenyataannya, video ini editan. Dia menyerangku lebih dulu.”

“Sepuluh tahun aku bersama dia, aku sangat tahu dia seperti apa. Jangan berbohong lebih jauh, atau sama sekali tidak ada pernikahan.”

“Aku akan bunuh diri kalau kamu nggak menikahi aku.”

“Kalau kamu bunuh diri yang rugi kamu sendiri. Kamu nggak melihat apa yang kamu dapatkan kalau menikahi aku?”

Lucy diam.

“Silahkan baca lagi apa yang akan menjadi hak kamu!”

Lucy terdiam setelah membaca. Apa yang dia inginkan semua akan ia dapatkan. Hanya satu yang tidak akan dia dapatkan, menguasai Gardin dan hartanya seutuhnya, karena ia harus berbagi dengan Maura.

“Bersedia tanda tangan?”

Lucy pun mengambil pulpen yang ada di hadapannya dan langsung menanda tangani berkas itu.” Tapi dia cemberut. Masih belum sepenuhnya ikhlas.

“Jangan pernah kamu ganggu Maura lagi!”

**

Gardin sedang dalam perjalanan menuju apartemen Maura. Dia sedang berfikir keras bagaimana menyampaikan berita ini pada Maura, bahwa ia mampu menduga kalau Maura hamil anaknya, dan berubah fikiran. Ia bermaksud membatalkan rencana menceraikan Maura. Dia bingung menyampaikan kalau dia akan beristri dua. Hanya ingin minta maaf pada Maura, dan besar harapannya Maura memaafkannya dan bersedia hidup bersama lagi dengannya, kembali ke rumah mereka di Pondok Indah.

Terlalu asik termenung, hingga Subhan sang supir pribadinya harus memberi tahu tiga kali pada Gardin kalau mereka telah sampai di apartemen Maura. Begitu gugupnya Gardin turun dari Jauguar keluaran terbaru. dia pun melangkah menuju tower tempat Maura bernaung.

“Mau kemana pak?” Tanya seorang satpam dengan sopan.

“Ke tempat ibu Maura.” Jawab Gardin sambil menuju lift.

“Ibu Maura di lantai 9?”

Gardin mengangguk.

“Ibu Maura sudah sebulan tidak tinggal di sini lagi pak.” Satpamnya heran kok Gardin nggak tahu.

“Ha? Kamu yakin?”

Sang satpam mengangguk. “Kalau bapak tidak percaya bisa hubungi pihak marketing, karena ibu Maura menyewa unitnya melalui kantor marketing kami.”

Gardin semakin heran. Jadi itu apartemen sewaan? Maura tidak membeli apartemen yang murah itu? Gardin tahu kok, dengan tabungan yang Maura punya dia mampu membeli apartemen kecil begitu mah.

Gardin pun langsung menghubungi Maura melalui telepon genggamnya, mesin operator menyatakan nomer itu tidak aktif. Kemudian Gardin menelepon Pak Mochtar. Menanti sesaat “Pak, Maura ada di mana?”

Pak Mochtar menghela nafas. “Mas Gardin ke kantor saya saja ya sekarang, kebetulan saya sedang kosong sampai jam tiga nanti.”

“Ok, saya ke sana sekarang.” Gardin pun langsung bergegas menuju satu gedung pencakar langit di jalan TB Simatupang.

**

“Maura di mana pak?” Tanpa basa-basi Gardin pun langsung bertanya begitu ia tiba di ruangan kerja Pak Mochtar.

Pak Mochtar menghela nafas. “Saya nggak bisa bilang mas, saya sudah berjanji pada mbak Maura.”

“Apa bapak tega, istri saya hilang pak.” Gardin begitu memohon.

“Seharusnya mas berfikir seperti ini sebelum anda menyakiti dia.”

“Apa saya nggak punya kesempatan untuk memperbaiki pernikahan saya pak?”

“Mas, saat ini Mbak Maura butuh tenang.”

“Saya nggak tenang pak. Saya nggak tahu dia di mana.”

Pak Mochtar hanya diam.

“Tolong saya pak, dia di mana?”

Pak Mochtar ragu. “Setelah Mas Gardin tahu, mas mau apa?”

“Saya akan temui dia.”

“Kalau begitu saya tidak akan memberi tahu.”

“Kok bapak seperti ini?”

“Mas, Mbak Maura butuh tenang, demi kesehatannya.”

“Maura sakit?”

“Batinnya yang sakit mas.”

Gardin diam. “Pak, saya mohon beri tahu saya dia di mana?”

“Saya akan beri tahu, asalkan Mas Gardin janji tidak akan mendatanginya sebelum ijin pada saya.”

“Kenapa begitu?”

“Karena nantinya saya akan bertanya pada beliau apakah diijinkan Mas Gardin menemuinya.”

Gardin menghela nafas. Memejamkan matanya sesaat. “Ok, saya janji saya tidak akan menemui dia tapi saya butuh tahu dia ada di mana.”

Pak Mochtar menyalakan alat perekam yang ada di hadapannya. “Tolong ulangi janji Mas Gardin sekali lagi, saya belum sempat membuat surat pernyataan.”

“Saya, Gardin Darren Handoko berjanji tidak akan menemui istri saya, Maura Amelia Andrakarma walaupun saya tahu dia di mana sebelum saya mendapatkan ijinnya.” Gardin mengulang pernyataannya untuk direkam.

Pak Mochtar pun mematikan alat rekamnya. “Mbak Maura ada di Brisbane.”

“Apa?”

“Dia akan melanjutkan program masternya di sana, selain mencari ketenangan. Karena ia nggak sanggup menghadapi pernikahan Mas Gardin dengan Lucy.”

“Kenapa Brisbane?”

“Karena Universitas yang ada di sana yang menerimanya pertama.”

Gardin diam, dia memang sudah lama tahu kalau Maura sangat ingin sekolah lagi, tapi dulu Gardin tidak mengijinkan, karena ia tak mau jauh dari Maura. Rupanya Maura ingin mewujudkan cita-citanya yang tertunda. Gardin sangat bangga dengan Maura, di saat kondisi seperti ini, meraih pendidikan tinggi justru menjadi pelariannya.

“Dia sendirian di sana pak?”

“Mas Gardin tahukan betapa kerasnya istri anda? Tapi nggak usah khawatir, saya sudah menitipkan dia pada beberapa rekan saya yang ada di sana.”

Gardin masih terdiam. Dia pun bangkit dari duduknya. “Terima kasih informasinya pak.” Diapun hendak meninggalkan kantor itu.

“Mas, tolong tepati janji anda, Biarkan Mbak Maura tenang!” Pinta Pak Mochtar.

Gardin pun hanya mengangguk linglung dan meninggalkan kantor itu.

**

Gardin semakin panik begitu mengetahui bahwa apa yang dia khawatirkan benar adanya. Jason mendapatkan data akurat bahwa Maura hamil, saat ini kehamilannya telah berjalan lima bulan. Sejauh ini ibu dan janin dalam kondisi sehat.

“Gue harus gimana Bang? Gue udah janji sama Pak Mochtar untuk nggak menemui dia. Tapi gue bener-bener nggak tenang.”

“Kita kirim orang aja untuk mengawasi dia, biar orang itu yang akan melaporkan setiap harinya.”

“Apa yakin Maura nggak tahu?”

“Kita usahainlah, Maura kan mau sekolah toh, kita buat orang suruhan kita untuk jadi mahasiswa juga.”

Gardin tersenyum. “Ide bagus tuh.”

“Elo setuju? Gue akan cari orang untuk itu.”

“Secepatnya ya bang! Gue bener-bener harus tahu kabar Maura.”

Jason mengangguk. Dia pun bangkit dan bermaksud meninggalkan Gardin. “Gue hubungi elo secepatnya. Nggak usah khawatir ya.”

“Ah elo, ini tentang anak dan istri gue Bang.”

“Udah ilang baru lo cari. Kemaren-kemaren ke mane aje? Nyusahin aja lu!”

Gardin tersenyum kecut. “Yah… namanya juga khilaf.”

_*.Bersambung*_

Artikel keren lainnya: