Home · Parenting · Konseling · Blogging · Tips · Daftar Isi

Janda CEO 19 (End): Memberi Bukti Bukan Janji

JANDA CEO.....Part 19
*Memberi Bukti Bukan Janji

Akhirnya Pernikahan yang dimaksudpun terlaksana juga. Pelaksanaannya agak unik. Karena diselenggarakan di hari Jumat, pagi hari pukul delapan, jam kerja, dan lokasinya adalah di ruang serba guna kantor Gardin. Pernikahan ini disaksikan oleh seluruh pegawai Gardin yang ada di Jakarta, kepala cabang dari seluruh Indonesia, dan para undangan yang merupakan relasi bisnis Gardin. Restoran Maura ditutup hari ini, karena seluruh pegawainya datang ke acara pernikahan sang bos. Pastinya ada Pak Mochtar jugalah di acara ini. Kira-kira ada seribu orang yang hadir di peristiwa itu. Prosesinya ya pernikahan pada umumnyalah, pengajian, ijab qobul, penyerahan mahar, dan lainnya. Hanya saja tidak ada penanda tanganan surat nikah, karena mereka telah punya surat nikah sejak empat belas tahun yang lalu.


Yang lucu adalah pernikahannya seperti acara halal bi halal kantor, para pegawai salaman kepada pengantin, mengambil makanan dan mereka pun kembali bekerja. Tapi untuk hari ini, para pegawai dipersilahkan mengambil makanan yang tersaji dari pagi hingga jam makan siang nanti, artinya makanan tersedia hingga selesai sholat jumat. Syaratnya kalau mau bawa ke ruangan, jangan pake piring katering ya. Pihak catering menyediakan container untuk dibawa kemanapun kok. Kalau para tamu yang bukan pegawai kantor itu, mereka datang mengikuti prosesi akad, ramah tamah menikmati hidangan dan pulang deh. Yah, pukul sepuluh para tamu di luar pegawai kantor ya sudah pulang lagi, kembali dengan aktivitas mereka. Nggak ada pelaminan, Maura pun nggak memakai make up yang berlebihan layaknya pengantin, hanya selayaknya nyonya rumah menyambut tamu aja. Gardin dan Hiro menggunakan baju koko yang telah disiapkan Maura, senada dengan kebaya Maura. Acaranya terbilang biasa-biasa saja, nggak romantis, nggak mewah, tapi terkesan mingle dan nyaman saja buat semua. Bagaimanapun hari itu merupakan hari yang membahagiakan bagi keduanya. Gardin dari tadi banyak senyum deh menyambut semua orang dengan begitu ramah.

Dalam pidato singkatnya Gardin mengucapkan terima kasih atas segala dukungan para staffnya selama ini. Sedangkan Maura juga memberikan sedikit sambutan untuk meminta para karyawan membantunya menjaga Gardin dari godaan. Ih mulai kelihatan nih posesifnya. Hehehe.

Arkan dan Angga menghampiri Maura dan Hiro diantara banyaknya tamu. Gardin sepertinya sedang menemani relasinya yang lain.

“Selamat ya Mbak.” Arkan dan Angga bergantian memeluk Maura.

Maura pun menerima pelukan hangat dari dua orang yang sudah ia anggap adik itu.

“Makasih ya, tanpa bantuan kalian dan Bang Jason belum tentu nih kami bersatu lagi.” Ucapan terima kasih Maura yang begitu tulus untuk keduanya.

“Such a great honnor mbak.” Jawab Angga.

“Gue sih nggak keberatan sama sekali mbak, jagain elo serasa jagain kakak ipar.” Arkan menimpali.

“Betul-betul.” Angga setuju.

“Wah berarti elo nganggap gue abang nih, kalau Maura kakak ipar?” Tiba-tiba Gardin sudah di samping mereka dan menimpali pembicaraan.

Angga dan Arkan langsung saling pandang.

“Mau lu anggap dia abang? Udahlah selingkuh, nyia-nyiain istri, terus begitu mau balik bikin repot lagi.” Tanya Angga.

“Iya, gue sih ogah.” Jawab Arkan.

Gardin langsung emosi, tahu sih dua anak muda ini bercanda. Dia langsung mengalungkan kedua tangannya pada kedua leher Angga dan Arkan sambil membentuk kondisi membiting layaknya kepiting. “Ayo ngomong lagi, gue bikin nggak nafas sekalian.”

“Ayah jangan!” Hiro yang ketakutan.

Semuanya tertawa melihat Hiro panik.

“Nggak papa kok, Ayah bercanda sayang.” Maura menenangkan Hiro.

Gardin pun melepas keduanya.

“Tuh, Hiro aja pro kita ya.” Arkan pun melakukan hi five pada Hiro. 

Merekapun tertawa bersama merayakan bersatunya kembali Gardin dan Maura.

Pukul sepuluh pagi, ketika suasana sudah mulai sepi. Gardin, Maura, Hiro masih duduk manis di salah satu meja bundar yang ada di sana. Gardin dan Maura sedang menemani Hiro yang sedang asik makan es krim, ketika Jason menghampiri mereka.

“Mau sekarang?” Tanyanya pada Gardin.

Gardin sepintas mengamati sekeliling, sepertinya memang sudah tidak ada lagi tamu yang hadir. Tinggal para karyawan yang masih menikmati hidangan. Dia pun mengangguk, kemudian mengajak Maura dan Hiro meninggalkan ruangan itu menuju ruangannya di lantai 25.

Mereka berempatpun naik lift menuju ruangan Gardin. Ketika menuju ruangan, mereka melalui Mia yang sedang ngobrol di mejanya bersama beberapa pegawai perempuan lainnya, sepertinya mereka masih menikmati hidangan yang tersedia di lantai bawah.

“Mi, titip Hiro bentar ya!” Pinta Gardin.

Sepertinya Mia sudah siap sih karena sebelumnya Gardin juga sudah bilang kalau dia akan ada pertemuan serius antara dia dan sang istri juga Jason. Justru Maura yang nggak tahu tentang pertemuan ini.

Gardin pun berlutut bicara pada Hiro. “Ayah sama bunda ada di ruangan itu ya, Hiro di sini sebentar sama tante Mia.” Gardin menunjukan ruang meeting yang transparan di samping mereka, sehingga Hiro pun bisa mengamati mereka.

Hiro mengangguk mengerti.

Mereka bertiga memasuki ruangan meeting. Maura masih bertanya-tanya pertemuan apa sih ini, kok kayaknya serius ya.

Jason pun menelepon seseorang, sepertinya anak buahnya untuk dibawakan dokumen.

Nggak lama, Fendi pun datang dengan map berisi dokumen yang kemudian ia serahkan ke Jason, dan kemudian Fendi pergi lagi meninggalkan mereka kembali ke ruangannya.

Jason kemudian menyerahkan semua dokumen itu ke Gardin.

Gardin pun tersenyum menatap Maura, “Seharusnya aku melakukan ini sejak dulu.” Gardin pun satu-satu memberikan dokumen itu pada Maura. Memintanya membaca pelan-pelan.

Maura pun melakukan apa yang diminta Gardin. Yang pertama adalah saham perusahaan Gardin. Gardin mendapatkan warisan dari sang ayah berupa 65% saham perusahaan ini. Tapi sekarang saham itu sudah berkurang menjadi 60% karena 5% telah dia hibahkan ke Jason. Secara keseluruhan, Gardin memiliki saham 60%, sebuah perusahaan tambang dari Norwegia memiliki 30% saham, selebihnya Pak Mochtar 5% dan Jason 5%. Nah surat yang sedang dibaca Maura saat ini adalah Gardin menghibahkan saham yang dimilikinya dengan: 20% untuk Maura, 30% untuk Hiro, jadi untuk dirinya sendiri sekarang hanya 10% saja. Maura sangat kaget membaca dokumen yang di hadapannya itu.  

“Sekarang perusahaan ini perusahaan kita Ra, bukan lagi hanya aku seperti yang dulu kamu katakan.” Gardin memberi keterangan.

Belum selesai, Gardin pun menyerahkan dokumen kedua, yaitu menjelaskan pemindah tanganan beberapa property diantaranya rumah di pondok Indah, beberapa unit apartemen mewah yang terletak di Jakarta, Bali, Bandung, Hongkong, Melbourn, dan Singapore dari nama Gardin menjadi milik Maura. Belum termasuk unit yang di Brisbane ya, kalau itukan memang dari awal sudah atas nama Maura.

Masih belum selesai, Gardin menyerahkan dokumen yang ketiga berupa pindah tangan tabungan pribadi Gardin ke nama Maura, ada beberapa rekening yang disampaikan di sana. Jumlah nolnya itu bikin pingsan makanya Maura cuma berani mengintip.

“Gardin, ini apa-apaan?” Maura menatap Gardin demikian serius. “Ok lah kalau kamu mau semua ini atas nama Hiro, tapi bukan nama aku.”

“Aku mau ngasih tahu kamu kali ini aku serius Ra, aku memasrahkan semuanya sama kamu. Biar kamu aja yang mengelola semua harta pribadi kita. Jadi aku nggak mungkin minta kamu untuk pergi dari hidup aku lagi. Kalau perusahaan tetap aku yang mengelola, tapi artinya aku bekerja untuk kamu dan Hiro. Karena seperti itukan tugas kepala keluarga.”

“Aku nggak mau menerima ini semua. Aku cinta kamu, berikan aku sewajarnya, bukan seperti ini!”

Gardin menggeleng. “Ra, terima dong. Semua ini atas nama kamu agar aku nggak lagi semena-mena terhadap kamu seperti dulu. Tapi aku yakin kamu nggak akan ninggalin aku dengan membawa semua itu kok. Aku juga akan tetap merasakan itu semua.”

“Din, aku nggak mau. Aku mau rumah tangga kita berjalan wajar. Kita saling sayang, saling dukung satu sama lain. Bukan begini.”

“Nggak ada yang berbeda lho. Semuanya wajar-wajar aja. Semua ini agar kejadian lalu nggak terulang lagi. Sudah itu aja kok.”

“Sebesar apa sih keyakinan kamu kalau aku akan selalu setia pada kamu?”

Gardin menggeleng. “Aku cinta kamu. Kalau kamu mau balas dendampun aku pasrah.”

Pertemuan pun berakhir dengan Maura yang begitu kebingungan atas amanah yang begitu besar.

**
Maura menepati janjinya untuk kembali bersedia diboyong ke Pondok Indah. Gardin pun nggak mau menunggu lama, begitu semua acara telah selesai, mereka langsung pulang ke Pondok Indah, nggak ada lagi mampir-mampir ke Bekasi. Gardin bilang semua barang-barang mereka di sana sudah di pindahkan oleh timnya.

Hiro yang kebingungan ketika memasuki rumah mereka di Pondok Indah, Besar banget, semua fasilitas tersedia lengkap. Dia pun terheran-heran dengan banyaknya orang yang ada di sana.  

“Halo Mas Hiro. Apa kabar?” Sapa bu Siti. Ini memang pertama kalinya Hiro bertemu dengan Bu Siti. Ia pun tersenyum ramah pada Hiro.

Hiro pun tersenyum, dan mengajak Bu Siti berjabat tangan dengan sopan. Nalurinya berkata bahwa perempuan tua di hadapannya adalah orang yang bisa ia percaya.

Bu Siti pun menggandeng tangan Hiro dan memperkenalkan Hiro dengan staf lainnya yang memang pekerja di rumah itu, ada dua belas orang. Setelahnya Bu Siti meminta ijin pada Gardin dan Maura untuk mengajak Hiro berkeliling rumah.

Gardin pun mengijinkannya. Dia sangat percaya dengan Bu Siti. Kepala rumah tangga yang telah mengabdi pada keluarga itu puluhan tahun lamanya.

Maura dan Gardin pun berjalan ke luar rumah menuju kolam renang, ada sofa tidak jauh di sana, dulu tempat ini merupakan tempat favorit mereka menikmati sore dan weekend bersama. Maura dan Gardin pun duduk di sofa itu, Maura duduk sambil mengamati wilayah sekitar. Nggak ada yang berubah, semua masih sama, nyaman, bersih dan hijau.

“Selamat datang di rumah kamu sayang, aku nebeng ya.” Gardin tersenyum sambil membelai pipi Maura.

“Apaan sih.” Maura menyenderkan kepalanya ke bahu Gardin dengan manja.

“Baru lima belas menit kita ada di sini, rasanya nyaman banget kamu dan Hiro pulang.”

Maura tersenyum mendengar itu, dia masih bergelayut manja pada Gardin.

Lima menit mereka duduk di pinggir kolam renang, Rini salah satu asisten rumah tangga di bawah asuhan Bu Siti menghidangkan dua cangkir teh hangat untuk Gardin dan Maura beserta kue coklat. Maura tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Maura pun mengambil teh yang telah tersedia, dia meminumnya sedikit, berfikir sejenak seperti mengingat sesuatu. “Kayaknya aku kenal deh dengan aroma teh ini.”

Gardin tersenyum. “Kenal bagaimana?”

Begitu teringat dia langsung kaget. “Jangan bilang teh yang tergeletak di meja makan itu dari kamu?”

Gardin pun tersenyum simpul.

“Serius, kamu suruh siapa? Jangan bilang Mia kamu suruh ke Brisbane cuma untuk ngasih aku teh ini?”

Masih nggak mau jawab, masih saja tersenyum.

Maura tertawa sendiri, sambil menggeleng-geleng nggak habis fikir. “Ya ampun itu Arkan sama Angga hal kecil aja sampai ngadu ke kamu ya.”

“Angga dan Arkan nggak ngomong apa-apa kok.”

“Lho kok bisa tahu?”

“Suami itu punya telepati Ra, jadi pasti tahu kalau istrinya yang lagi hamil ngidam sesuatu.” Gardin nggak berani ngomong kalau ada CCTV di rumah itu. Bisa-bisa malah nanti Maura menduga hal-hal yang lain. 

Sebenarnya Maura penasaran. Tapi ya sudahlah nggak penting juga. Lagi pengen menikmati suasana romantis dengan suami tersayang ajalah. Dia pun kembali menyenderkan kepalanya ke bahu Gardin. Gardin menerimanya dengan senang hati.

“Sejak kapan sih kamu menginginkan aku kembali, apa sejak kamu tahu aku hamil?” Sebenarnya Maura sudah lama penasaran. Dia pun sekarang menatap sang suami. 

Gardin menggeleng. “Aku malah nggak tahu kamu hamil pada saat itu.”

“Oh ya? Kapan tuh. Karena seingatku dulu kamu mantap banget menceraikan aku. Kok tiba-tiba berubah fikiran?”

Gardin tersenyum mencoba mengingat kejadian yang sebenarnya tidak ingin ia ingat. “Kamu ingat saat kita bertemu lagi pertama kalinya sejak kamu meninggalkan rumah ini? Ketika kita membuat kesepakatan kita akan bercerai?”

“Di kantor kamu?” Tanya Maura

Gardin mengangguk. “Saat kamu memeluk aku, dan justru mengucapkan terima kasih telah bersedia hidup bersama kamu. Saat itulah aku merasa aku melakukan kesalahan besar melepas kamu. Nuraniku terusik menyadari mungkin hanya kamu perempuan di dunia ini yang mampu mengucapkan terima kasih demikian tulus ketika dalam keadaan tersakiti.” 

Maura terkejut. “Aku sama sekali nggak niat membuat kamu berubah fikiran lho. Aku memang merasa wajib berterima kasih pada kamu.”

“You know what? Itu yang namanya ketulusan Ra, kamu melakukannya tanpa punya indikasi lain. Itu pulalah yang membuat kamu memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain.” Gardin pun mencium kening Maura, dan kemudian mendekapnya dalam pelukan terbaiknya.

“Terima kasih bersedia kembali bersama aku sayang. Aku bahagia bersama kamu.” Maura menikmati pelukan hangat Gardin.

“Aku yang terima kasih sayang, terima kasih mau memaafkan aku, terima kasih untuk mau pulang lagi.”

Keduanya menikmati kehangatan yang saling mereka berikan. Bersantai di sore yang indah, di hari pertama mereka resmi bersatu lagi, kembali dari awal lagi menjalani hidup bersama. Ketika logika berjalan, hati bicara, dan naluri berkata bahwa kamulah belahan jiwa yang Tuhan kirimkan untuk aku menjalani hidup bersama hingga maut memisahkan, apapun kedepannya pasti akan dilalui dengan penuh keikhlasan.

**
end.

Artikel keren lainnya:

Ini Dia Tanda-tanda Kalau Kamu Sudah Baligh

Dewasa dalam Islam | Tanda Baligh 

Assalamu ‘Alaykum

Hai teman-teman!

Apa itu baligh? Baligh secara bahasa artinya dewasa. Dalam Islam, baligh berarti sudah berlakunya kewajiban-kewajiban seperti halnya shalat, puasa, dll. Selain itu, pahala dan dosa akan dicatat atas nama orang yang sudah baligh.

Peralihan

Lalu, tanda kalau seseorang sudah baligh apa saja? Nah, berikut adalah tanda-tanda baligh (dewasa) dalam Islam:

1. Mimpi Basah

Biasanya yang mengalami mimpi basah adalah cowok dan hanya sedikit cewek yang mengalaminya. Mimpi basah dalam bahasa disebut dengan ihtilam. Yang dimaksud dengan mimpi basah bukan berarti kamu mimpi pipis terus ngompol atau kamu mimpi berenang sehingga menjadi basah. Mimpi basah adalah kamu mimpi berhubungan suami istri atau mimpi berhubungan seks. Kalau kamu pernah mengalami mimpi basah, artinya kamu dinyatakan sudah baligh.

Sandaran pendapat tentang ihtilam sebagai tanda baligh dinataranya firman Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ * وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

Artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum mencapai ”hulm” (ihtilaam) di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai ”hulm” (ihtilaam/usia baligh), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin” [QS. An-Nuur : 59].

Begitu juga dari keterangan hadits dari Ali (bin Abi Thaalib) dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ

Artinya:

”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” (HR. Abu Dawud)

2. Haid

Haid atau disebut juga menstruasi, datang bulan, datang tamu, atau halangan adalah keluarnya cairah darah pekat dari vagina. Jika remaja perempuan mengalami haid artinya dia sudah menghasilkan sel ovum. Ovum yang tidak dibuahi akan meluruh dan keluar. Darah yang keluar akibat peluruahn tersebut disebut haid. Tentunya yang namanya haidh hanya dialami oleh perempuan saja. Biasanya haid pertama dialami perempuan yang berusia antara 9-15 tahun.

3. Berusia minimal 15 tahun (dalam hijriyyah)

Walaupun belum pernah mimpi basah atau haid, bila menginjak usia 15 tahun, kamu sudah dikatakan baligh. Hal ini berdasarkan hadits yang dibawakan dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, ia berkata:

عرضني رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم أحد في القتال. وأنا ابن أربع عشرة سنة. فلم يجزني. وعرضني يوم الخندق، وأنا ابن خمس عشرة سنة. فأجازني.

Artinya:

”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun.  Beliau pun memperbolehkanku”.

Adapun secara biologis dan psikologis, seseorang yang baru menginjak baligh mengalami hal-hal berikut:

Anak laki-laki mengalami mimpi basah, tumbuh rambut kemaluan, muncul jakun dan suara membesar.

Anak perempuan mengalami haid, membesarnya buah dada dan pinggul (potensi membesar kesamping).

Malu dan takut.

Anak perempuan menjadi lebih sensitif, anak laki-laki lebih cenderung ke perasaan seksual.

Gejolak kuat pada diri (terasa semangat meletup-letup), sehingga penasaran dan selalu ingin mencoba hal baru.

Bagi anak perempuan, merasa butuh menjadi “pusat perhatian”. Bagi anak laki-laki, penting merasa “puas”.

Emosi atau gampang tersinggung/marah.

Tertarik pada lawan jenis.

Tidak suka digurui, tapi butuh sahabat.

============

Pesan untuk para remaja

Teman-teman sekalian! Dalam Islam, manusia dikategorikan ke dalam dua macam, yaitu anak-anak dan dewasa. Artinya tidak ada istilah remaja yang menjadi transisi antara anak-anak dan dewasa. Ketika seseorang memasuki masa dewasa, maka berlakulah hukum syariat baginya. Jadi titip jaga ibadahnya dan jauhi segala bentuk keburukan.

Memang yang namanya remaja selalu penasaran dan ingin mencoba sesuatu yang baru. Tetapi, jangan pernah mencoba sesuatu yang bisa menghancurkan hidupmu. Mintalah nasihat kepada orang dewasa yang telah banyak makan asam garam dalam menjalani kehidupan.

Wassalamu 'Alaykum

Artikel keren lainnya:

Cerbung Janda CEO 18 (Lamar Aku Lagi Dong)

JANDA CEO......Part 18
*Lamar Aku Lagi Dong

Satu masalah selesai. Sepertinya Lusy menepati janjinya untuk tidak mengganggu Gardin dan Maura lagi. Memang ada kompensasi untuk itu semua sih, Gardin memang memberikan uang setelah Lusy meminta maaf pada Maura secara terbuka, tulus atau nggaknya yah nggak usah dipusingin deh. Jumlah uangnya terbilang lumayan aja, dibandingkan dulu dengan yang ia dapatkan setelah bercerai dengan Gardin, ya kali ini mah terbilang kecil banget. Sepertinya Lusy cukup belajarlah dari pengalaman kemarin, dia tidak lagi berfoya-foya, sudah mikir hiduplah, mesin ATMnya kini udah nggak berfungsi sama sekali untuk dirinya.
Masalah baru buat Arkan dan Angga adalah minta maaf pada Maura bahwa selama ini mereka telah membohongi Maura. Kenapa mereka yang harus minta maaf ya? Kan mereka juga orang suruhan? Tapi ya… ini masalah etika berteman aja sih. Dibalik semua itu, sebenarnya mereka tulus kok mau berteman dengan Maura. Maura kan personalitinya baik dan menyenangkan. Apalagi ada Hiro, anak bayi yang lucu, menggemaskan dan sama sekali nggak ada rewelnya.
Angga dan Arkan pun kembali dorong-dorongan memasuki restoran Maura di sabtu siang. Angga membawa Dagna juga sih, dan Dagna sampai bingung dengan sang suami dan Arkan kenapa sebegitu gugupnya sih. Mereka naik ke lantai dua masih dalam keadaan gugup. Tadi salah satu pramusaji mengatakan bahwa ibu Maura menanti mereka di lantai 2. Setelah berada di lantai dua, mereka pun memilih duduk di sofa yang nyaman untuk menanti Maura. Ketiganya pun duduk manis.
Maura keluar dari kantornya di lantai yang sama, dan dia pun tersenyum pada ketiganya. “Apa kabar nih?”
Ketiganya berdiri dan tersenyum menyambut Maura.
Maura pun duduk bersama mereka, tapi kebingungan. “Kok pada kaku begini sih? Kayak sama orang lain aja?”
“Iya nih Mbak, gue juga heran. Dari tadi mereka grogi banget.” Dagna yang menjawab.
Maura pun tertawa ramah. “Grogi kenapa, mau pengakuan dosa ya?”
Arkan dan Angga hanya cengengesan.
“Biasanya mereka nggak pernah begini nih Na, sama gue.” Maura bicara dengan Dagna.
“Mau minta maaf Mbak, selama ini bohongin Mbak Maura.” Arkan memulai pembicaraan.
“Iya Mbak, tapi kan kami disuruh Bang Gardin dan Bang Jason kalau nggak boleh ngomong sama Mbak Maura.”
Maura tersenyum lebar. Dia pun mengangguk maklum. “Iya gue sangat mengerti kok posisi kalian, siapa sih yang bisa ngelawan big bos, ye kan?”
Angga dan Arkan tersenyum tulus. “Tapi sebenarnya kami sama sekali nggak keberatan kok Mbak untuk jagain Mbak Maura dan Hiro, secara Mbak Maura nyenengin, Hiro juga gemesin.”
“Serius nggak keberatan, bukannya dulu elo udah gerah banget mau pulang biar cepet nikah?” Goda Maura ke Angga, “Gue juga sering lihat elo agak BT karena pengen ngajak Indah kencan tapi nggak bisa karena lagi giliran jaga Hiro.” Kali ini Arkan yang digoda.
Keempatnya tertawa mengingat banyak peristiwa yang kurang lebih bikin gregetan, di mana mereka dalam dilemma itu.
“Itukan kadang-kadang aja mbak, tapi selebihnya suatu kehormatan jagain anak dan istri big bos mbak.” Jawab Arkan.
“Setuju.” Angga menimpali
Maura tersenyum. “Makasih banyak lho ya, terus terang gue bahagia bahwa kalian yang diutus jaga gue. Coba kalau orang lain, yang lebih dewasa, lebih ganteng, wah… bisa-bisa gue nggak jadi rujuk sama Gardin tuh.” Maura sedikit menghayal.
Arkan dan Angga langsung berhenti tertawa, dan agak tersinggung. “Maksudnya kita kurang dewasa dan kurang ganteng gitu mbak?”
Maura tertawa renyah. “Bercanda kali Kan, nggak usah diambil hati gitu deh. Kalau gue bilang kalian nggak ganteng, Dagna tersinggung dong.”
Dagna malah ikut tertawa. “To be honest memang gantengan Bang Gardin sih Mbak.”
“Apa?” Angga kaget dan tersinggung.
Dua perempuan itu tertawa makin renyah. “Bercanda Ngga, ya kali Dagna suka sama om om.” Maura menengahi.
Angga masih ngambek.
Dagna pun mencium pipi suaminya. “Becanda sayang, kalau kamu nggak ganteng masa aku bela-belain nunggu kamu sampai tiga tahun sih.” Mereka memang sudah tunangan setahun sebelum Angga berangkat ke Brisbane.
Angga pun kembali tersenyum.
Maura pun melirik Arkan. “Cepetan si Indah dilamar biar nggak ngiri ngeliat Angga sama Dagna!”
Arkan tersenyum sebagai jawaban.
“Jadi beasiswa kalian dari kantor karena sekalian dapat tugas jagain gue?”
Arkan dan Angga pun mengangguk.
“Fasilitasnya pastinya lebih lengkap dari beasiswa biasa dong?” Maura mulai intrograsi.
Keduanya mengangguk lagi. “Bulanannya gede banget mbak, lumayan buat tabungan modal nikah.  Terus ya unit tempat tinggal, mobil, tagihan apapun sama sekali kita nggak bayar, ditambah lagi terbang ke sananya naik business class.” Jawab Angga.
“Bonusnya?”
“Hm… Dagna dan orang tua gue dapet tiket saat wisuda itu mbak.”
“Gue juga, dapet tiket buat nyokap and adek gue pas wisuda.”
“And?”
Angga malu-malu gitu, “Begitu kita berhasil membawa Mbak Maura dan Hiro ke Indonesia, kita dapet rumah.”
“Wow.” Maura takjub. Gardin bisa seroyal itu ya dengan dua anak ini. “Jadi kado nikahan kalian ya?”
Dagna dan Angga mengangguk.
“Kalau gue ya ditinggalin bareng nyokap dan adek gue mbak. Karena selama ini kan kami masih kontraktor.”
Maura bahagia mendengarnya, Hadiah dari Gardin untuk keduanya begitu bermakna ternyata. “Syukurlah kalau memang berguna buat kalian ya.”
“Mbak.” Angga menatap Maura tajam. “Bukan berarti kita nggak tulus lho berteman sama elo, dan kita sangat ingin Mbak Maura dan Bang Gardin rujuk lagi.”
Maura tersenyum dan mengangguk. “Gue merasakan ketulusan kalian berteman dengan gue kok. Apapun dibelakang itu, gue tetep berterima kasih dengan kalian yang bersedia menjaga gue dan membantu gue menjaga Hiro.”
Keempatnya tersenyum lega. Lega buat semua, lega juga karena semua uneg-uneg sudah keluar. Sudah bisa jujur satu sama lain.
“Mbak, ngomong-ngomong kok elo bisa tahu sih kalau kita suruhan Bang Gardin?” Arkan penasaran.
“Lha, kan elo yang keceplosan.” Jawab Maura.
“Ha?” Angga dan Arkan kaget. “Kapan?”
“Waktu gue mau melahirkan, Angga kan saat bawa mobil hampir nabrak possum, terus dia ngerem mendadak. Terus elo keplak kepalanya sambil bilang hati-hati tolol bawa bini big bos nih, mati bareng nanti kita kalau kenapa-kenapa. Kan elo ngomong gitu.”
“Ha? Jadi elo denger?” Arkan dan Angga kaget banget.
“Hei gue memang kesakitan mau melahirkan saat itu, tapi bukan berarti mendadak tuli.”
Keempatnya pun tertawa bersama menertawakan kebodohan keduanya.
**
Jumat malam, Gardin, Maura dan Hiro sedang bersantai di ruang tengah sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing. Gardin dan Hiro sedang asik menyusun lego, sedangkan Maura membaca majalah ketika Pak Karim datang dengan membawa baju yang tercover rapih dengan gantungannya.
“Bu, ini diletakan di mana?” Tanya Pak Karim.
Maura mendongak memperhatikan apa yang dibawa Pak Karim. “Oh, tolong digantung di tiang gantungan baju dekat kulkas itu pak!” Pinta Maura. Cover baju itu tertulis nama desiner terkenal Indonesia.
Pak Karim pun melaksanakan apa yang diminta Maura. Dan Maura pun berterima kasih.
Gardin pun penasaran. “Apa tuh Ra?”
“Oh itu, kebaya buat nikahan kita nanti.” Jawab Maura acuh.
Gardin kaget, “Ha serius? Kamu sudah bikin kebaya?” Gardin bahagia banget mendengarnya. Rasanya sudah di depan mata pernikahannya akan segera terwujud. Bukan pernikahan sih, pengulangan prosesi ijab qobul sebenarnya. Mereka kan sudah menikah hampir empat belas tahun yang lalu.
Maura bingung, kenapa Gardin kaget, kan memang sudah direncanakan toh? “Ya kan sudah hampir enam bulan. Sudah waktunya kita rujukkan?”
Gardin menghampiri Maura, dan langsung mencim pipi Maura, setelahnya memeluknya. “Aku seneng banget sayang.”
Maura tersenyum. Nggak cuma Gardin kok yang senang.
“Aku nanti pakai apa Ra? Aku kan juga pengen ganteng buat kamu.” Gardin begitu bersemangat.
Maura tersenyum. “Itu sudah sekalian kok, kebaya aku, baju koko kamu dan Hiro juga.”
“Oh…”
“Warna apa Ra?”
“Biru, kesukaan kamu.”
Gardin meluk lagi. Senangnya bertubi-tubi rasanya.
“Din, aku boleh ngajuin syarat lagi nggak?” Maura tersenyum, tapi kali ini sebenarnya dia iseng aja sih. Bukan satu hal yang penting.
Raut wajah Gardin langsung nggak enak gitu, dia mendesah pelan. “Masih ada syarat lagi Ra?”
Maura tersenyum, mengalungkan tangannya di leher Gardin. “Aku pengen dong dilamar romantis gitu.” Pintanya manja-manja ngegemesin gitu deh.
“Ha, ngelamar lagi? Serius ini?” Gardin bingung, males mendengarnya.
“Ya, tapi nggak penting sih… kalau kamu nggak mau juga kita tetep bakal rujuk kok.” Jawab Maura. Tapi dengan expresi agak-agak kecewa sedih gimana gitu.
Kan Gardin jadi nggak tega ya, masa sih dia ngecewain perempuan yang dicintai itu, permintaannya juga nggak macem-macem kok sebenarnya. “Ya udah deh, kasih aku waktu seminggu ya.”
“Seminggu?” Maura heran, kira-kira apa ya yang akan dipersiapkan Gardin?
Gardin pun mengangguk misterius.
**
Selama satu minggu Maura uring-uringan karena begitu penasaran. Kira-kira apa yang yang akan dilakukan Gardin untuknya. Benar-benar nggak ada clue sama sekali. Gardin kalau di rumah terlihat biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang sedang ia persiapkan. Maura kan jadi makin penasaran ya? Hadeuh kalau tahu sebegini penasarannya jadi pengen ngebatalin permintaannya itu deh, dari pada mati penasaran gini. Pernah sekali Maura menyinggung itu ke Gardin, eh tapi Gardin malah senyum-senyum sambil bilang “mau tahu aja.” Ih… ngeselinkan?
Hari ini hari jumat, persis seminggu dari Maura mengucapkan keinginannya. Seharusnya hari inikan ya Gardin akan merayunya, atau melamarnya, atau apalah. Sesuatu yang seharusnya membuat hatinya berbunga-bunga, dan kemudian dia akan bilang “I do…” gitu lho, kayak acara-acara romantis di TV. Kalau dipikir-pikir itu norak. Tapi kok ya pengen sekali-kali punya cerita norak. hehehe… semakin penasaran, sejak pagi hari Maura mulai menduga, hm… mungkin kejutannya ada di restoran, semua karyawannya disuruh Gardin mendekorasi ruangan, terus Gardin bawa bunga sama cincin gitu? Maura membayangkan seperti itu yang akan terjadi. Eh begitu masuk restoran nggak terjadi apa-apa lho, biasa-biasa aja gitu. Semua berjalan normal. Maura mulai masuk ke ruangan kantornya di lantai dua, begitu di depan pintu dia nggak langsung masuk. Maura membayangkan di dalam kantornya sudah ada Gardin dengan segala kejutannya. Maka, dia pun membuka pintu dengan hati-hati… sebelumnya mempersiapkan diri bergaya kaget. Begitu buka pintu… ya udah pintunya terbuka, dia masuk, duduk di meja kerjanya, dan Santi asistennya menyediakan teh hangat untuk dirinya. Serius nggak ada Gardin. Hm… rasanya kecewa-kecewa gimana gitu. Apa jangan-jangan Gardin sibuk banget ya, jadinya dia lupa kalau hari ini tepat seminggu waktu yang dia minta untuk memperiapkan diri melamar Maura? Ah… tahu ah… membayangkan hal itu, Maura jadi kecewa. Dia jadi cemberut nggak jelas. Kayaknya memang Gardin nggak akan melakukannya deh, paling nggak bukan hari ini. Yang artinya Gardin nggak menepati janjinya. Tapi, hm.. tenang dong Maura! Hari ini kan baru saja di mulai, hari masih panjang. Ini baru pukul Sembilan pagi lho… Baiklah, Maura mencoba untuk sabar.
Dan yang ditunggu akhirnya datang lho. Gardin datang setelah sholat Jumat. Tapi Maura agak kecewa, Gardin datang dengan berlenggang tanpa membawa apapun, mbok ya bunga kek, atau penampilannya lebih ganteng gitu. Ini nggak lho, Gardin datang dengan menggunakan kemeja kerja yang tangannya digulung hingga siku. Kelihatan pulang sholat Jumat banget deh. Kemejanya warna biru muda, celana hitam, ya biasa aja. Datang ke hadapan Maura dengan gaya santainya sambil nyengir.
“Aku sudah siap melamar kamu nih.”
Maura langsung bersungut-sungut. “Lamaran macam apa ini.”
“Lho, jangan lihat luarannya dong, lihat kedalaman makna proses melamar kamu.” Gardin pun menarik Maura untuk bangun dari kursi kerjanya. Diajaknya Maura untuk duduk di meja meeting, yang saling berhadapan lebih dekat dari pada harus duduk di meja kerja Maura.


Sejauh ini Maura masih nurut, karena dia penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Gardin.  Mereka pun duduk berhadapan, sangat berdekatan. Gardin pun mengambil tangan Maura dan menempelkan tangan itu di pipinya, sesekali diciumnya tangan itu. Dia pun tersenyum.
“Kalau ada yang salah jangan diketawain ya, kalau kamu bisa bantu aku betulin.” Pinta Gardin.
Maura pun makin bingung, “betulin apa?”
Gardin nggak menjawab dia hanya tersenyum penuh misterius.
Dia pun menarik nafas, dan dia pun memulai. “Audzubillah Himinas Syaiton Nirojim…. Bismilah hirrahman nirohim….” menarik nafas perlahan… “Alif Laam Miim…. gulibatir-rụm…. fī adnal-arḍi wa hum mim ba’di galabihim sayaglibụn….”
Maura terpana… Subhanallah, Gardin melantunkan surah Ar-Rum… Maura benar-benar terpukau.
Gardin terus berusaha mengingat hafalannya. “binaṣrillāh, yanṣuru may yasyā`, wa huwal-‘azīzur-raḥīm…”
Maura begitu terpukau…
Gardin terus melantunkan ayat demi ayat dengan masih menggenggam tangan Maura dan meletakkan di pipinya, masih terus sesekali ia pun mencium tangan itu.
“wa’dallāh, lā yukhlifullāhu wa’dahụ wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya’lamụn..”
Maura mulai meneteskan airmata harunya. Ini serius suaminya begitu niat menghafal dan melafalkan ayat demi ayat. Walaupun terbata-bata dan nggak seindah qori yang ada di pengajian, di Youtube, atau di TV, tapi keinginan keras Gardin tetap membuat Maura begitu terharu.
“Faṣbir inna wa’dallāhi ḥaqquw wa lā yastakhiffannakallażīna lā yụqinụn.”
Gardin berhasil lho, 60 ayat surah Ar-Rum berhasil ia hafalkan.
“Sadaqallahul azim.” Gardin menyelesaikan lafalannya. Setelahnya dia pun membuka matanya dan menatap Maura tersipu-sipu. “Maap ya, masih banyak salah pengucapan.”
Maura mengambil tangannya yang masih digenggam Gardin untuk menghapus airmata harunya. “Kenapa harus surah Ar-Rum?” agak penasaran sih.
“Terinspirasi dari undangan-undangan kawinan.” Gardin pun nyengir. “Tapi kalau cuma ngapalin ayat itu aja, kok kurang menantang. Saat aku baca keseluruhan surah nya, dan membaca artinya ternyata maknanya dalem banget. Aku mengartikannya sebagai kondisi aku saat ini, aku yang yang pernah khilaf, yang pernah begitu sombong, aku yang kehilangan arah, dan aku yang akhirnya menemukan jalanku kembali kepada kamu karena Allah selalu meminta aku untuk menjadi manusia yang berfikir. Itu sih yang aku bisa maknai tentang surah ini.” Gardin menjelaskannya dengan Malu-malu.
Huuuuu Kok rasanya pengen meluk Gardin ya, sambil bilang I do… eh belom diminta ya? Maura sudah nggak sabar.
Gardin pun mengambil kembali tangan Maura yang dipakai untuk menghapus airmatanya tadi. Dia pun mengeluarkan cincin yang ada di jari kelingkingnya, dan kemudian menyematkan ke jari manis kiri Maura. “Aku pernah khilaf, mengkhianati kamu, pernah meminta kamu pergi dari hidupku, pernah nggak perduli apa yang kamu rasa, Membiarkan kamu menjalani kehamilanmu seorang diri. Aku pun tahu bahwa semua itu berat untuk kamu.” Gardin tersenyum, tapi dia bersungguh-sungguh dalam bicaranya. “Sekarang aku menyesal dan berusaha keras memperbaiki kesalahanku. Maura Amelia Andrakarma mau ya jadi istriku lagi?”
“Ya kalau sudah begini mana bisa nolak.” Maura pun memeluk Gardin.
Semoga ya, kali ini pernikahan ini bisa berkah untuk semua ya, hingga maut memisahkan dan bertemu lagi dalam Jannah yang di janjikan Allah,SWT.
Ternyata membuat perempuan luluh tuh nggak selalu mesti bunga, dan dekorasi cantik, dan berlutut ya. Kesungguhan dan keseriusan pun menjadi sangat penting dan romantis banget. Sekian liputan sore ini.
**
Disepakat pernikahan mereka berlangsung dua minggu kemudian. Walaupun sebenarnya secara administrasi tidak ada yang perlu mereka urus, karena memang secara hukum mereka tidak pernah bercerai. Maura tetap menginginkan prosesi pernikahan ini dilakukan oleh petugas KUA. Karena memang mereka membutuhkan wali hakim. Mengingat ayah Maura telah meninggal dunia, dan dia tidak mengenal saudara dari sang ayah yang bisa menjadi wali.
Maura pun masih mengajukan satu syarat lagi ke Gardin. Ha, syarat lagi? Iya, tapi sebenarnya nggak berat kok. Maura minta maharnya seperangkat perhiasan yang dipilih Gardin. Bukan siapa-siapa, bukan juga Mia atau orang suruhan Gardin lainnya. Tapi ternyata syarat itu cukup membuat Gardin pusing lho. Serius ini membuat Gardin pusing banget.
“Apa Din?” Ini sudah kesepuluh kalinya Gardin menelepon Maura dalam satu jam terakhir. Maura sedang ditemani Mia meeting dengan wedding organizer di kantor Gardin. Mereka akan menikah besok, dan WO baru dihubungi lima hari yang lalu, makanya WO nya pusing bukan kepalang.
“Ra, seperangkat itu artinya cincin, kalung dan anting ya?” Seberang telepon bertanya pada Maura.
“Iya sayang.” sambungan pun tertutup.
Baru mau bicara dengan pihak WO, telepon berbunyi lagi.
“Kenapa lagi sayang?”
“Kamu maunya berlian kan aku belinya di sensi aja ya?”
“Terserah kamu aja. Kamu mau beli emas di Melawai juga nggak papa.” Maura memutuskan hubungan teleponnya.
“Oh kamu mau aku beli di Melawai?”
“Nggak harus sayang, di pasar uler sekalipun juga nggak papa.” Maura sudah mulai gemes.
Terdengar Gardin kebingungan dan bertanya dengan orang yang ada di sana, “Pasar uler di mana?”
Maura tertawa dan menutup sambungan teleponnya.
Mereka pun melanjutkan meetingnya.
Kali ini telepon Mia yang berbunyi. “Ya pak?” Mia bicara begitu pelan takut Maura mendengar.
“Mi, ukuran cincin istri saya nomer berapa?” Gardin jadi ikut berbisik.
“Sepuluh pak.”
“Oh, ok.”
Maura mulai melirik Mia.
Pihak WO mulai menjelaskan lagi, sentuhan akhir dari dekorasinya. Ketika telepon Maura berbunyi lagi.
“Kenapa lagi?” Maura sudah mulai kesal nih.
“Ra, mau emas putih atau kuning?”
“Terserah Gardin, kalau kamu kasih emas hitam juga aku terima.” Maura langsung menutup teleponnya. Mulai emosi.
Berselang satu menit, telepon Mia yang berbunyi.
“Jangan dibantu ya Mi.” Pinta Maura
“Baik bu.” Mia pun mengangkat teleponnya. “Iya pak?”
“Mi, istri saya biasanya suka berlian yang kecil-kecil kayak pasir, atau yang besar sekalian?”
“Pak saya nggak boleh bantuin bapak, kata ibu.”
“Mia, bos kamu saya atau istri saya sih?”
“Pak, yang namanya istri bos itu, kedudukannya lebih tinggi dari bos.” Mia pun langsung menutup teleponnya melihat Maura mulai melotot.
Mia pun langsung berusaha fokus dengan pembicaraan dari pihak WO yang bawel banget itu. Tapi bagaimana pun dia nggak tega dengan bosnya, akhirnya dia pun mengambil satu majalah wedding, yang memperlihatkan iklan toko berlian yang mengiklankan seperangkat perhiasan berlian. Ini selera bu Maura banget modelnya. Mia pun langsung memphoto lembaran itu dan mengirimnya ke Arkan. Dia tahu kalau Arkan dan Angga sedang menemani Gardin membelikan Mas kawin untuk Maura.
“Mia, jangan dibantu!” Pinta Maura sekali lagi.
“Nggak bu, ini Arkan nanya meeting bapak kapan.”
Setelah meeting selesai, dan pihak WO sudah pamit pulang, Maura pun mendekati Mia. “Kamu kirim gambar yang mana?”
Eh ketahuan… Mia cengengesan. “Yang ini bu.” Dia pun menunjukan gambar yang dimaksud.
Maura pun mengamati. “Hm… bagus juga.” Cuma itu responnya.
**
Di Senayan city.
Gardin mengangkat telepon dari Jason. “Kenapa bang?”
“Woy, anak buah gue kenapa elo angkut?”
“Lha, elo nggak mau bantuin gue.”
“Kalau gue juga ikut ngurusin elo beli mahar, kantor elo siapa yang ngurus.” Jason mulai sewot.
“Ya ela bang, nggak akan bangkrut kantor gue kalau elo bantuin gue sehari aja sih.” Jawab Gardin enteng.
Nih orang, kalau deket udah dijitak deh. “Itu si Arkan ama Angga cepet suruh balik ke kantor! Kasihan Fendi ini bikin MOU sendirian, stafnya elo angkut semua.”
“Sabar bang, bentar lagi juga selesai nih.”
“Lagi juga Maura tuh nyuruh elo yang milih sendiri, kenapa harus bawa orang sih.”
“Gue pusing bang, bantuin kek. Paling nggak jangan bawel ah.” Gardin pun menutup teleponnya.
Meninggalkan Jason yang sewot. “Ini Kantor punya siapa sih? Kok Jadi gue sendirian yang pusing gini?” Jason kebingungan sendiri.
“Bang, Mbak Mia ngasih gambar nih Bang, sekalian nama tokonya.” Arkan memberi tahu Gardin.
“Oh ya? Ya udah kita beli ini aja.”
Mereka bertiga pun langsung ngacir mencari toko yang dimaksud. Sumpah ini tiga orang cowok sibuk belanja di mall di jam kerja udah kayak tiga anak SMA yang lagi bolos sekolah demi beli game PS yang mereka inginkan. Ribut dan ribet banget.
**

_*...Bersambung....*_

Artikel keren lainnya:

Janda CEO Part 17 (Pengganggu)

JANDA CEO.....Bag 17
*Pengganggu

Tahu nggak apa yang dilakukan Gardin setelah tinggal di tempat Maura? Gardin membeli sebuah rumah persis di sebelah rumah Maura. Cukup beruntung karena cluster perumahan tempat Maura tinggal itu masih relatif baru sehingga masih banyak rumah yang belum berpenghuni. Rumah yang dibeli Gardin fungsinya untuk menanpung dua asisten rumah tangga, dua baby sitter dan dua supir. Enam karyawan itu didatangkan dari rumahnya yang di Pondok Indah. Mereka bertugas untuk membersihkan rumah Maura, menjaga Hiro dan seorang supir untuk mengantar jemput Hiro dan Maura, sedangkan satu supir yang lainnya tentu untuk mengantarkan Gardin ke kantor. Sedangkan untuk para bodyguard mereka sifatnya bekerja 8 jam kerja yang artinya hanya akan datang pagi hari, dan pulang malam hari. Ada dua shift sih untuk pekerjaan bodyguard. Hadeuh ribet ya.

Secara fisik, restorant Maura memang sudah hampir siap. Maura menamakan restorantnya dengan sebutan “Semua ada”. Konsep restorant keluarga dua lantai. Lantai pertama di khususkan untuk makan berat, ada tiga konsep di lantai 1: pertama, konsep touch screen: maksudnya kayak warteg gitu loh, semua lauk pauk tersaji, pembeli tinggal menunjuk lauk dan sayur apa yang diinginkan. Kedua, warung bakso, jadi tersedia bakso abang-abang, mie ayam dan nasi goreng dan segala jenis mie goreng, rebus, kwetiaw dan lain-lain. Dan yang ketiga; a coffe to go, konsepnya seperti warung kopi untuk dibawa pergi. Semisal ada orang yang ingin membeli kopi untuk di bawa ke kantor maka di pojok kanan depan merupakan corner yang tepat, seorang barista akan membuatkan kopi secepat kilat, demi memenuhi kebutuhan kopi pagi hari, tapi harus buru-buru ke kantor. Makanya lantai satu di desain lebih casual. Bahkan kalau pramusaji membukakan pintu pertanyaannya pada custumer adalah “Mau makan ganteng atau ngopi cantik?”

Nah untuk lantai dua sifatnya lebih nyaman, konsep café yang membuat orang betah berlama-lama di sini. Berfungsi untuk tempat ngumpul. Semisal para macam arisan, atau sekedar hang out nungguin anak pulang sekolah. Meeting kecil juga ada tersedia ruangan kok, atau sekedar ngobrol, bisa. Terdapat wifi juga kok. Makanya yang tersedia di lantai ini kopi, chocolate, tea, dan makanan western seperti spaghetti, steak, chips, dan sebagainya.

Setelah sibuk merekruit karyawan selama sebulan penuh dengan menggunakan jasa perekruit professional, akhirnya restorant Maura mulai running di bulan febuari.

Gardin melepas kaca mata bacanya setelah selesai membaca laporan keuangan Maura yang memang telah di print dan dibawa pulang oleh Maura. Tadi pagi Gardin meminta Maura melakukan itu. Gardin hendak mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh Maura.

“Ra, aku pengen kamu jujur sama aku. “ Gardin menatap Maura dengan sangat serius.

Maura menyimak dia agak grogi, Gardin kok serius banget, adakah kesalahan keuangan yang telah dia buat hingga berakibat fatal?

“Uang tabungan kamu tinggal berapa?”

Maura tersenyum dengan wajah sedikit merasa bersalah. “Kok tanya begitu?”

“Aku bisa memprediksi berapa uang kamu sekarang, dengan sebegini banyaknya pengeluaran kamu. Beli rumah, dua ruko, re-design restorant kamu, jasa design, kelengkapan restoran dan dapur, kalau aku lihat dari semua laporan keuangan ini, kamu membayar semuanya dengan lunas, tidak ada yang mencicil. Tabungan kamu tinggal berapa?”

Maura garuk-garuk kepalanya yang sama sekali nggak gatal. “Masih ada sih…” dia menjawab dengan nada yang sangat meragukan.

“Untuk belanja operasional dan bayar karyawan tiga bulan ke depan masih ada?” Tanya Gardin tajam.

“Tapi setelah itu tabungan kamu kosong?” Gardin menebak.

“Kan nanti ada pemasukan dari restorant.” Jawab Maura ragu.

Gardin tersenyum. “Gini deh Ra, kebutuhan pribadi kamu dan Hiro serta keluarga ini pastinya tanggung jawab aku. Yang ingin aku tekankan adalah, kamu boleh saja ingin keluar dari bayang-bayang aku untuk usaha kamu. Tapi aku sama sekali tidak mengijinkan kamu punya hutang, atau pinjaman pada pihak manapun. Kalau kamu sampai kurang modal aku adalah orang pertama yang harus tahu tentang itu. aku juga tidak mengijinkan kamu menjalin kerja sama dengan pihak manapun. Kamu mengerti?”

Maura hanya bisa mengangguk.

“Kalau sampai bulan depan pemasukan kamu dari restorant masih belum memadai, ijinkan aku memberikan suntikan dana ya. Karena aku nggak ingin kamu punya masalah. Kamu boleh punya usaha.”

Maura pun mengangguk pasrah. “Tapi kalau pemasukanku bisa memenuhi kebutuhan usaha, kamu jangan ikutan dulu ya.”

Gardin mengangguk. “Iya, aku janji membiarkan kamu mandiri sesuai obsesimu. Tapi kamu nggak ingin kamu salah langkah. Intinya awal usaha jangan buru-buru berharap punya untung besar ya, yang penting biaya operasional tertutupi dulu aja deh.”

Maura mengangguk mengerti.

“Janji ya Ra, apapun yang kamu lakukan bilang sama aku ya. Jangan ada yang kamu tutupi.” Pinta Gardin.

Maura menganggup mantap. “Aku sedang belajar mandiri sayang, bukan belajar menjadi pembohong. Kalau kamu dukung aku dan mengarahkan aku. Aku nggak akan tutupi apapun kok dari kamu.”

Gardin tersenyum puas. “Makasih ya Ra, Aku sayang kamu banget.”

**

Restorant Maura berjalan pelan tapi pasti. Alhamdulilah, penggemarnya mulai banyak. Kalau hari kerja dan jam kerja memang lantai satu yang penuh. Pengunjungnya para karyawan sekitar yang memang wilayah ini merupakan daerah perkantoran. Setiap hari jumat pukul sebelas hingga 3 sore, khusus lantai satu corner touch screen digratiskan untuk semua pengunjung. Bahkan para karyawan Maura pun diminta aktif untuk mengajak tukang parkir, pedagang asongan, dan orang-orang yang membutuhkan makan siang untuk makan siang di tempat itu. ya ini sebagai bentuk Maura melakukan CSR lah. Kalau memang nggak mau disebut sebagai amalnya. Diutamakan memang untuk orang-orang yang berkekurangan secara ekonomi, tapi bukan berarti yang mau makan nggak boleh. Intinya corner itu tiap jumat siang gratis untuk semua kalanganlah.

Lain lagi dengan lantai duanya. Karena sifatnya untuk santai, justru malah penuhnya di weekend, atau sore ke malam hari. Selain itu juga agak ramai di jam-jam 10 pagi hingga 12 siang. Waktunya para macan nunggu anaknya pulang sekolahlah. Jadinya, restorant Maura memang penuh setiap waktu.

“Maksudnya apa nih saya dikasih tagihan begini, kamu nggak tahu siapa saya?” Seorang perempuan menghardik salah satu karyawan restorant ketika ia memberikan tagihan pada sang perempuan ketika perempuan itu dan teman-temannya hendak pergi dari restorant itu.  

Perempuan itu dan teman-temannya kira-kira lima orang baru saja selesai menikmati steak dan kopi di lantai dua.

Afan sang karyawan agak kebingungan, bukannya wajar ya custumer dikasih tagihan ketika hendak pulang? Afan jadi bigung, kok ini perempuan nggak mau bayar ya?

“Kamu nggak tahu siapa saya? Saya yang punya restorant ini tahu!” Perempuan itu masih menghardik Afan.

“Maaf bu, apakah ada yang salah dengan staf kami?” Pak Handi supervisor yang berjaga siang itu mencoba menengahi.

“Kenapa saya dikasih tagihan?” Perempuan itu masih marah.

“Maaf bu, bukannya setiap pengunjung restorant setelah menikmati makanan memang diberikan tagihan?”

“Kamu juga nggak tahu saya? Saya ini yang punya restoran ini tahu kamu!”

“Maaf bu saya sangat kenal pemilik restorant ini, dan itu bukan ibu.”

“Ngajak berantem nih orang. Denger ya, Pak Gardin itu suami saya juga, jadi saya berhak bilang kalau ini restoran saya juga.”

“Maaf bu, pemilik restoran ini bukan Pak Gardin.”

“Kamu kurang ajar ya! Saya tahu ini punya Maura, dari mana modalnya kalau bukan dari Pak Gardin.” Lusy pun kemudian menampar Handi, masih belum puas dia pun melepas heelsnya dan menggunakan heels itu sebagai senjata untuk melukai Handi.

Para tamu restoran banyak yang berteriak ketakutan melihat kejadian itu, bagaimana dengan membabi butanya Lusy melukai Handi. Handi sama sekali tidak membalas, dia hanya menjadikan tangannya sebagai tameng. Akibatnya pelipisnya pun robek karena runcingnya heels Lusy. Lima karyawan dan beberapa tamu akhirnya berusaha melepas serangan Lusy terhadap Handi.

“Jangan kurang ngajar ya kamu!” Lusy pun menghentikan serangannya akibat keempat temannya berusaha menghentikannya. Kemudian kelima perempuan itu pun pergi begitu saja. “Bilang ya sama itu pelakor, jangan main-main sama Lusy!”

Pada saat peristiwa itu terjadi, Maura kebetulan sekali tidak ada di restoran, ia sedang mengantarkan Hiro untuk imunisasi. Ada beberapa immunisasi yang tidak wajib saat di Australia, tapi wajib untuk anak yang tinggal di Indonesia, sehingga Hiro sedang mengejar ketertinggalan itu. tentu saja Maura begitu kaget dengan laporan para karyawannya bahwa Handi supervisornya harus ke rumah sakit untuk menjahit pelipisnya yang robek. Dan ternyata salah satu karyawannya pun ada yang melaporkan hal itu ke Gardin. Mendengar itu Gardin marah besar, dia pun terpaksa membatalkan pertemuannya dan langsung meminta Subhan mengantarkannya ke restoran Maura.

Maura sedang memperhatikan rekaman CCTV tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Dia duduk termenung di meja kerjanya. Ah… peristiwa konyol ini sangat mengganggu. Sebenarnya inilah yang membuatnya dulu berat untuk kembali ke pelukan Gardin. Takut kalau-kalau masa lalu yang menyakitkan ini harus terungkit lagi. Ternyata perempuan ini masih saja mengganggunya. Padahal dia tidak pernah sekali pun mengusik perempuan itu. Perasaan Maura campur aduk. Ya kesal, sedih, mau marah. Semuanya deh.

“Sayang, kamu nggak papa?” Gardin memasuki ruangan Maura dengan terburu-buru.

“Bukan aku yang celaka, tapi Handi pelipisnya sampai robek begitu.” Maura begitu kesal.

“Gimana kondisinya?”

“Dibawa Pak Karim ke Mitra depan.”

Gardin memeluk Maura. “Maaf sayang, aku pastikan ini nggak akan terjadi lagi.”

Maura menghela nafas begitu dalam. “Yang seperti ini mengganggu Din. Apakah dia akan selalu menjadi duri dalam rumah tangga kita? Aku nggak sanggup deh kalau harus begini.”

“Aku janji sayang, aku selesaikan masalah ini sampai tuntas. Aku pastikan dia nggak akan berani ganggu kamu lagi.”

“Tolong ya Din. Aku hanya ingin hidup tenang. Aku nggak pernah mau mengganggu orang kok.”

“Iya sayang. Aku janji.”

_*....Bersambung....*_

Artikel keren lainnya:

Janda CEO Part 16 (Waktunya Pulang)

Cerbung JANDA CEO.....Part 16
Waktunya Pulang

Desember ini merupakan waktu yang riweh buat Gardin. Bayangin aja, dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dia harus melaksanakan banyak kegiatan. Yang pertama, Maura wisuda. Walaupun Maura sangat maklum kalau Gardin nggak bisa hadir, tapi Gardin kekeuh mau hadir. Setiap tahap hidup Maura dia harus ada di dalamnya. Ini sudah menjadi komitmen Gardin pada dirinya sendiri, bahwa dia harus selalu hadir untuk Maura. Baginya kini keluarga yang utama. Ibaratnya nih, kalau Maura minta Gardin untuk pensiun dia juga siap kok, pokoknya dia akan memprioritaskan Maura selalu. Ini merupakan wujud dirinya memperbaiki diri. Nah yang kedua, ini urusan kerjaan. Gardin diharuskan datang ke Texas, berhubungan dengan kerja sama yang dilakukan perusahaannya dengan satu perusahaan energy yang ada di sana. Sudah tiga tahun perusahaannya melakukan kerja sama, dan rencananya kerja sama ini akan berlangsung lima tahun untuk tahap pertama. Apabila kedua belah pihak merasa cukup diuntungkan maka tidak menutup kemungkinan akan ada tahap ke dua. Sebagai konsekwensinya, setiap akhir tahun, Gardin diminta mempresentasikan hasil kerja sama mereka dalam satu tahun terakhir, di depan para direktur, CEO, dan pemegang saham yang ada di sana. Harus Gardin, nggak boleh diwakilkan.

Padahal ya, Gardin tuh pengen banget jemput Maura dan Hiro pulang, membawa mereka kembali ke rumah di Pondok Indah. Kebayang dong repotnya Maura pindahan dari Brisbane ke Jakarta. Tapi apa mau dikata, Gardin harus terbang ke Texas bersamaan dengan Maura yang pulang ke Indonesia. Mau nggak mau nih, Gardin harus mengandalkan dua anak buahnya lagi.

“Atau gimana kalau kamu sama Hiro ikut aku aja ke Texas sayang?” Gardin menawarkan Maura.

“Ribet Gardin, lagi pun visa US ku sudah lama habis Hiro juga belum apply visa. Aku juga masih banyak yang harus diurus. Sudah kamu berangkat sajalah. Aku dan Hiro nggak papa kok.” Maura berusaha menenangkan.

Gardin sedang membantu Maura untuk packing. Kemarin Maura baru saja wisuda. Rencananya, besok siang Gardin akan dijemput Jason dan Denny menggunakan pesawat jet pribadi Gardin untuk terbang ke Texas. Sedangkan Maura, Hiro, Arkan dan Angga akan menggunakan pesawat komersil menuju Jakarta dalam tiga hari ini.

Lucu deh, dari awal perjalanan Jakarta-Brisbane dalam rangka menjemput Gardin, Jason wanti-wanti banget sama Denny, bahwa dia harus pura-pura baru mengenal Arkan dan Angga. Awalnya Denny kebingungan, lha Angga dan Arkan kan sebelum mereka sekolah ke UQ merupakan teman makan siang Denny, kok jadi harus pura-pura baru kenal? Tanpa bertanya lebih jauh alasannya, Denny nurut aja deh, pada saat bertemu Angga dan Arkan juga sepertinya sudah tahu bahwa mereka harus berakting sama.

Denny memang lebih dulu bekerja di Kantor Gardin. Sedangkan Arkan dan Angga memang relative baru, ya kira-kira baru tiga tahunlah sebelum mereka sekolah. Kalau Denny memang sudah hampir lima tahun menjadi asisten pribadi Gardin. In total tujuh tahunan sudah Denny bekerja di Kantor Gardin. Kalau selama ini Maura nggak pernah mengenal Arkan dan Angga ya karena memang mereka dulu ruangan kantornya beda lantai sama Gardin. Mereka kan orang legal, anak buah Jason. Wajar-wajar aja sih Maura dulu nggak pernah bertemu mereka. Maura juga nggak sering-sering amat ke kantor Gardin, dan pegawai kantornya Gardin di Jakarta ada sekitar 800 orang. Masa iya Maura hapal semua. Itu kantor pusat ya, kalau cabang seluruh Indonesia mah totalnya bisa ribuan. 

Udah ah, sepertinya too much information. Back to story, Gardin berangkat ke Texas via Gold coast, karena di airport Brisbane pesawatnya nggak dapet tempat untuk parkir. Ya maklumlah, Brisbanekan airport yang sibuk. Karena Maura masih ribet sama urusan pemindah hak usaha kecilnya ke seorang PR Indonesia di waktu yang bersamaan jadi nggak ikut nganter Gardin ke Gold coast deh.


“Sampai ketemu di Jakarta ya?” Gardin memeluk erat Maura. Setelahnya mencium Hiro.

Maura mengangguk mesra. “Hati-hati pak bos. I love you.”

“Kalau cinta jangan lama-lama bikin aku nunggu dong!” Jawab Gardin.

“Ye… sabar pak bos.” Maura masih menggoda.

Arkan, Denny dan Angga sudah bersiap di dalam mobil. Angga dan Arkan akan mengantar ketiganya ke Goldcoast.

“Jalan dulu ya Ra.” Jason pamit.

“Ati-ati ya bang, tolong titip Gardin biar nggak nakal lagi.” Maura tersenyum menggoda.

“Udah kapok kok dia.” Jason menimpali.

Maka berangkatlah kelima lelaki itu meninggalkan Maura dan Hiro. Rencananya Gardin dan team akan menghabiskan total satu minggu dalam perjalanan bisnis mereka kali ini.

Tiga hari berselang giliran Maura, Hiro, Arkan dan Angga yang terbang ke Jakarta. Karena mereka bertugas menjaga dan menemani Hiro dan Maura, maka, Angga dan Arkan kembali mendapatkan pernerbangan bisnis class, sama dengan Maura dan Hiro. Ah benar-benar menyenangkan tugas mereka ini, sekaligus mereka lega karena tugas mereka yang mereka jalani lebih dari dua tahun ini hampir selesai. Terlebih buat Angga karena rencananya tiga bulan lagi ia akan nikah… horeeee…

“Kalian dijemput?” Tanya Maura ketika mereka sudah landing di Soekarno-Hatta.

Arkan dan Angga mengangguk serempak. “Mbak Maura gimana, mau kita anter?”

“Tuh pasukannya Gardin udah nunggu.” Maura menunjuk sekelompok orang yang telah menantinya. Ada Mia, sang sekertaris Gardin, Pak Karim supir keluarga mereka, Ahmad dan Rian dua bodyguard yang sudah cukup Maura kenal. Kalau melihat pemandangan ini, Ya Gardin bangetlah, Maura sangat terbiasa dengan cara Gardin melindungi dirinya seperti sebelum Gardin berpaling ke Lusy. Apalagi sekarang sudah ada Hiro, Gardin pasti makin over protective deh, Maura sudah mempersiapkan mentalnya untuk itu. Hadeuh belum resmi rujuk aja udah kayak begini, gimana kalau udah rujuk?

Angga dan Arkan takjub dengan pemandangan di hadapan mereka.

“Ya udah mbak, kita tetep saling kontak ya.” Pinta Angga. Berniat untuk pamit.

Arkan pun berniat melakukan hal yang sama.

Maura menatap mereka dalam. “Aku kok jadi mellow ya, kita harus tetap saling kontak ya!” pinta Maura. Maura pun tanpa ragu memeluk mereka satu-satu. Mereka sudah seperti adik bagi Maura, bukan lagi sekedar sahabat. Hiro pun sepertinya ikut merasakan kegalauan, dia pun ikut sibuk memeluk dua unclenya itu.

“Pastilah mbak, kitakan udah bikin grup WA dengan nomer Indonesia kita.” 

“Undang aku lho ya, nikahan kamu!” PInta Maura pada Angga.

“Ya pastilah!”

“Kamu juga lho Kan, kalau jodoh sama si Indah itu, juga undang aku!”

“Doain ya mbak!” Pinta Arkan. “Mbak Maura juga undang kita makan-makan ya pas rujuk sama bang Gardin!”

Maura tertawa. “Doain aja ya.”

Mereka pun berpisah, nggak enak juga lama-lama prosesi peluk-pelukannya diliatin sama bodyguard dua orang, tampangnya galak-galak. Angga dan Arkan jadi ketakutan. Hehehe.

“Pak Karim, ini alamat rumah saya, saya juga belum pernah ke rumah itu, jadi kita pake google map ya!” Ketika memasuki Alpard milik Gardin, Maura memberikan instruksi pada sang supir.

Kesemuanya terkejut mendengar instruksi itu.

“Lho, kita nggak ke Pondok Indah bu?” Mia kebingungan.

“Lho, sayakan belum rujuk sama Gardin Mi. InshaAllah setelah saya rujuk saya baru kembali tinggal di sana.” Maura menjawab dengan santai. Dia sudah sangat tahu bahwa itu akan menjadi pertanyaan mereka.

“Nanti kalau bapak tanya kami bilang apa bu?” Pak Karim sepertinya ketakutan.

“Ya jawab yang seperti tadi saya sampaikan. Tapi kalau pak Karim bingung, suruh bapak ngomong ke saya langsung ya! Makanya Pak Karim inget-inget jalan ke rumah sayanya, biar kalau bapak nanya Pak Karim bisa anter!”

Dengan negosiasi yang panjang, akhirnya tim sepakat mengantarkan Hiro dan Maura ke perumahan yang terletak di Sumarecon Bekasi. Lokasi yang sama sekali tidak mereka bayangkan sebelumnya. Dari Pondok Indah ke Bekasi man, beda galaksi, bisa dibayangkan dong berapa banyak hutan, danau dan lembah yang harus mereka lalui hingga menuju ke sana. Ini apa sih? Maap banget ya warga Bekasi, aku padamu lho!!

Begitu mereka sampai rumah yang dimaksud, ternyata Pak Mochtar sudah menunggu Maura untuk menyerahkan kunci rumah dan dokumen penting lainnya. Nggak lama bertamu di sana, hanya memperlihatkan kondisi rumah secara keseluruhan, Pak Mochtar pun undur diri. Tanpa diketahui Gardin, Maura memang sudah membeli rumah ini enam bulan sebelum kepulangnnya ke Indonesia. Atas bantuan Pak Mochtar, Maura membeli rumah, dan mengisinya dengan perabotan sesuai cita rasanya. Maura pun juga menyewa designer interior dalam rangka membuat rumahnya menjadi nyaman. Hubungan dengan designer itu melalui email. Semua begitu terencana sehingga begitu dia dan Hiro sampai, semuanya telah siap. Nggak cuma rumah sih, tempat usahanya nanti berupa restorant juga sudah dia beli, bangun, design, dan reasilasikan dengan matang. Semua dilakukan dengan bantuan Pak Mochtar beserta relasinya, dan mereka berhubungan melalui email. Sehingga apa yang dilakukannya sama sekali tidak tercium oleh Gardin. Maura tersenyum puas, sekarang saatnya memnati respon Gardin. Tahu banget Gardin akan merasa kebakaran jenggot karena nggak bisa mengendalikan Maura sesuai yang dia mau. Tanpa mengurangi rasa hormatnya pada sang suami, Maura cuma sekedar memberi tahu Gardin aja kok, bahwa dia yang suah bukan lagi Maura yang lugu. Sekali-kali ngerjain suami, boleh dong.

Empat hari berselang, Gardin datang menghampiri Maura. Maura sudah menantinya dengan senyum yang paling manis. Sudah bisa menduga sih bagaimana reaksi Gardin.

“Kamu apa-apaan sih Ra?” Gardin begitu frustasi. Dia nggak mungkin keras sama Maura, bisa-bisa nanti malah nggak jadi rujuk.

“Aku kenapa?” Maura pura-pura bingung dengan pertanyaan Gardin.

“Kok nggak pulang ke rumah kita?”

“Kan kita belum rujuk sayang. Masa sih aku tinggal di sana.”

Gardin memeluk Maura, dalam posisi berlutut, Mauranya duduk manis soalnya. “Pulang dong sayang, aku ingin kita benar-benar jadi keluarga. Aku kangen kamu, kangen Hiro.” Gardin begitu memohon.

Maura pun membalas pelukan itu, diciumnya kening Gardin. “Aku pasti pulang sayang, seperti yang aku minta ya, kasih aku waktu untuk bikin usaha aku dulu, baru kita rujuk, yang artinya setelah itu ya aku pasti taat padamu.”

“Kenapa harus tinggal sejauh ini Ra?”

“Karena usaha restorantku akan dibuat di sini.”

“Dimana?”

“Nggak jauh dari sini, di jalan Juanda. Lokasinya sangat strategis sayang. Aku sudah membeli dua ruko di wilayah itu.”

“Kapan sih kamu beli rumah ini dan ruko itu?” Gardin heran aja.

“Enam bulan yang lalu. Dibantu sama Pak Mochtar. Tapi aku juga sudah cukup tahu lokasi ini.”

Kok dia bisa nggak tahu ya? Gardin bertanya dalam hati.

“Kenapa, dua anak buah kamu nggak ngasih laporan ke kamu mengenai ini, ya karena memang mereka nggak tahu?”

“Dua anak buah?” Gardin heran.

“Angga dan Arkan lah, kamu fikir aku nggak tahu mereka orang-orang suruhan kamu untuk jaga aku?”

“Ha?” Gardin kaget, terlihat hendak berdalih.

“Ayo, janji nggak mau bohong lagi sama aku.”

Gardin tersenyum malu, modusnya terbaca. “Kok bisa tahu Ra?”

“I know you well baby.”

“Sejak kapan kamu tahu?”

“Sejak awal pastinya. Makanya aku iseng ngerjain kamu sekarang, diam-diam beli rumah ini kamu nggak tahu. Gantian dong, memangnya cuma kamu yang bisa drama.” Maura pun mendelik jahil.

Gardin pun akhirnya bangkit. Bener-bener merasa dipermainkan Maura. Tapi bukan sesuatu yang menyakitkan kok. “Jadi bener nih belum mau pulang ke rumah kita?”

Maura mengangguk mantap.

“Ya udah aku ngalah. Aku ke pak RT dulu ya.” Gardin pun hendak keluar rumah.

“Ha, ngapain?”

“Ngasih photo copy surat nikah kita. Well legally we are marriage. Kalau kamu nggak mau pulang, ya udah, aku yang tinggal di sini.”  

“What?” Maura yang kaget sekarang.

“Kamu nggak bisa ngelarang aku, karena secara hukum kamu masih istri aku. Dan aku berhak tinggal sama kamu.” Gardin merasa menang sekarang.

“Religiously we are not marriage anymore.”

Gardin tersenyum. “Jangan khawatir Ra, aku nggak akan lancang, kok. Aku hanya ingin mengingatkan kamu kalau kita ini satu keluarga. Aku akan sabar menanti sampai kita benar-benar rujuk, sementara ini aku akan tidur sama Hiro.” Gardin pun keluar rumah itu menuju rumah pak RT.

“Kamu tahu rumahnya Pak RT dimana?”

“Ntar aku tanya satpam.” Jawab Gardin berlalu.

Maura kebingungan. Lha mau ngerjain Gardin, kok malah dia yang sekarang dikerjain?

Malam harinya kehidupan mulai seperti keluarga seutuhnya. Hiro asik nonton TV, Maura dan Gardin menemaninya di ruangan yang sama.

“Ra, tahu nggak?” Mencoba membuka pembicaraan.

Maura hanya menoleh ke Gardin, menunjukan bahwa ia mempersilahkan Gardin melanjutkan pembicaraannya.

“Aku tuh sudah konsultasi ke banyak ulama tentang status kita. Ternyata menurut mereka talak yang aku berikan ke kamu itu nggak sah lho, karena pada saat itu aku nggak tahu kalau kamu sedang hamil.”

Maura tersenyum, terbaca sih modusnya Gardin. “Jadi?”

“Ya artinya sebenarnya secara agama pun kita nggak pernah bercerai lho.” Gardin bicara agak hati-hati. Sangat mengerti bahwa Maura pun paham maksudnya.

“Coba langsung pada pointnya Pak Gardin?”  

Gardin pun malu-malu bicara, “Ya, terserah kamu sih, mengartikannya gimana.”

Maura tersenyum. “Mungkin kamu benar. Kita bisa jadi masih halal satu sama lain. Tapi perkataan dan perbuatan kamu dulu begitu menyakitkan.” Dia tidak lagi bercanda dengan perkataannya.

Gardin sangat tahu dengan hal itu.

“Jadi yang aku maksud dengan rujuk bagi kita adalah kemampuan aku untuk memaafkan atas kejadian yang lalu, dan ikhlas menerima kamu kembali. Dan aku akan merasa kamu bersungguh-sungguh mencintai, menyayangi aku beserta hak dan kewajiban kamu sebagai suami, ketika kamu mengucapkan kembali Ijab Qabul itu.”

Gardin mengerti dengan semua permintaan Maura. “Aku siap kapan pun kalau kamu menginginkan aku mengulang itu semua. Tapi kapan Ra, aku sangat membutuhkan kamu sebagai istri.”

Maura menghela nafas. “Enam bulan dari sekarang ya, bahkan kalau memang usahaku tidak berjalan baik, aku akan menyerah dengan segala ambisiku. Aku akan menepai janjiku untuk bersedia lagi menjadi istri kamu seutuhnya.”

“Bener ya 6 bulan?”

Maura mengangguk. “Tapi kamu doain usahaku sukses ya, jadi aku menjalani janjiku dengan bahagia.”

“Pastilah aku juga pengen kok kamu sukses, aku selalu ingin kamu bahagia bersama aku.”

“Janji ya, walaupun aku sudah jadi istri kamu seutuhnya kamu nggak akan melarang aku menjalani usahaku.”

Gardin mengangguk mantap. “Iya, aku nggak akan melarang kamu sejauh kamu nggak melupakan keluargamu.” Gardin pun berjalan ke kalender yang tergantung di salah satu dinding ruangan itu. dia siap dengan sebuah spidol di tangannya. Menuliskan kata ‘rujuk’ yang begitu besar di bulan Juni.

Melihat itu, Maura hanya tersenyum

Sub section: The cutest Hiro

“Hiro, let’s go to bed. Tonight you sleep with ayah, ok.” Gardin mengajak Hiro tidur.

Hiro pun mengangguk, dengan menggenggam susu botolnya, dia pun memeluk sang bunda yang ada di sampingnya. “Good night bunda, See you tomorrow.” Setelahnya dia pun berjalan menuju sang ayah yang menunggunya di depan pintu kamar.

Gardin dan Hiro pun meninggalkan Maura yang masih di ruang tengah menonton acara malam.

Hari kedua:

“Hari ini Hiro tidur sama bunda ya, bunda kan kangen.” Maura meminta sambil menunjukan wajah manjanya pada sang anak.

Hiro pun mengangguk.

“Lho ayah sama siapa dong?” Gardin nggak mau kalah.

Anak dua tahun itu kebingungan harus memilih. “Ayah jangan sedih ya, besok aku temenin ayah kok.” Bujuknya.

Gardin pun tersenyum. Iseng ah, ngerjain anaknya. “Kita tidur bertiga aja yuk!”

Hiro agak bingung, berdasarkan pengalaman masa lalunya itu tidak pernah terjadi. “Nggak bisa ayah?”

“Why?”

“Tempat tidurnya nggak muat.” Hanya itu yang terlintas dalam fikiran bocah lucu itu.

Hiro pun bangkit dan duduk di pangkuan sang ayah, dia pun mencium kening sang ayah. “Don’t you worry ayah, I will sleep with you tomorrow, ok?” Terlihat sekali anak ini berusaha adil dengan kedua orang tuanya.

So cute, Gardin pun terharu melihat usaha sang anak untuk memperlihatkan keinginannya bahwa ia menyayangi kedua orang tuanya. Gardin pun mengangguk setuju, nggak ingin sang anak terkukung dalam dilemma yang terlalu drama. Kasihan Hiro juga sih.

Maura pun menggandeng Hiro menuju kamarnya.

“Cute.” Maura mengucapkan kata itu penuh haru pada Gardin tanpa suara.

_*....Bersambung.....*_

Artikel keren lainnya:

Cerbung Janda CEO Part 15 (Kencan Yuk)

JANDA CEO Bagian 15
Kencan Yuk

Gardin sedang duduk menjadi kasir di kantin Maura, ada dua orang perempuan Mbak Hanny dan Mbak Risa asisten Maura yang sedang sibuk melayani pelanggan.
“Mbak Mauranya mana Pak?” Tanya seorang pelanggan. Dia seorang laki-laki muda, mahasiswa UQ. Sepertinya hendak makan bareng teman-temannya.
“Oh lagi bimbingan. Sebentar lagi balik kok.” Jawab Gardin, sepintas dia agak kesel nih anak muda ngapain sih nanya-nanya istrinya. Udahlah manggil Maura dengan sebutan Mbak, sedangkan dirinya dipanggil pak. Memangnya dia setua itu ya?
“Mbak Maura sudah mau lulus ya pak?” Tanya perempuan yang di samping laki-laki muda itu.
Gardin sedang mencoba menebak. Dua anak muda ini masih belia, sepertinya mereka anak-anak mahasiswa S1 deh bukan Master. Wajahnya masih kinyis-kinyis banget. “Iya, rencananya besok dia submit report projectnya makanya hari ini bimbingan terakhir.”
“Setelah itu, masih buka kantinkan?” Tanya mereka penuh harap.
“Ya nggaklah, pulang ke Indonesia dong. Kantin inikan cuma project masternya aja.” Jawab Gardin santai.
“Apa?” Keduanya kaget hingga berteriak.
Eh busyet, nih bocah pada drama banget sih. Gardin kaget.
“Terus kita gimana?” Anak perempuan itu begitu ketakutan. “Kita makan apa nanti? Siapa yang ngurus kita? Kitakan nggak bisa masak, makanan di kantin ini nggak ada yang Indonesia, kalau harus makan di restorant terus kita mana punya uang?” Dia bicara begitu bertubi-tubi.
Pemuda di sebelahnya juga nggak kalah menunjukan wajah paniknya. “Waduh masa gue harus makan Indomie tiap hari.”
Lha bodo amat, Gardin bingung. Masa Maura harus ngurusin elo, emang elo siapa? Tanya Gardin dalam hati.
Tiba-tiba sekelompok anak muda datang kepada dua anak muda di hadapan Gardin itu. “Ada apa?” Tanya salah satu anak yang baru datang. Kesemuanya melirik Gardin. Gardin bingung, waduh jangan-jangan mereka menganggap Gardin ngapa-ngapain nih dua anak yang di hadapannya.
“Mbak Maura sebentar lagi lulus, setelah lulus dia balik ke Indonesia, kantinnya bakal ditutup.”
“Ha? Nggak bisa gitu dong. Kita gimana kalau Mbak Maura tutup.”
“Wah, nggak beres nih. Ayo kita bikin petisi, kita sampein ke UQ union.” Salah satu anak laki-laki yang ada di kelompok itu berinisiatif.
Waduh Gardin panik. Bisa-bisa bini gue nggak pulang ke Jakarta gini caranya.
“Setuju! Siapa aja yang mau tanda tangan?”
“Gue.”
“Aku!”
Ada mungkin sepuluh orang anak-anak muda itu bersemangat.
“Kita cari temen-temen yang lain ya.”
“Siap.”
“Bukan begitu, visa istri saya itu cuma visa student. Begitu studynya selesai ya harus pulanglah.” Gardin berusaha memberikan penjelasan pada anak-anak muda itu.
Mereka langsung menatap tajam pada Gardin.
“Oh bapak suaminya? Kalau gitu apply jadi PR (permanent resident) aja dong pak, usaha mbak Maura kan bagus banget di sini.”
Gardin menatap mereka dengan perasaan begitu takjub, PR nenek lu, perusahaan gue dengan omset triliunan mau diapain? Bela-belain apply PR demi jadi ibu kantin, yang bener aja. Tapi semua hanya dalam hati. Di luarnya, Gardin memberikan senyum penuh kepalsuannya pada anak-anak muda itu. “Belum kepikiran.” Hanya itu jawabannya dengan senyum sopan yang begitu tertata rapih. Come on children, I need my wife to come home. Pintanya dalam hati, wajahnya begitu memelas.
Ketika Maura sampai di stall nya, dia kebingungan kenapa Gardin dikerubutin anak-anak muda. Suaminya buat salah apa ya? Kok mereka seperti minta pertanggung jawaban. Maura langsung menatap Gardin dengan wajah menuduh, ketika ia hadir ke tengah-tengah mereka. Gardin nggak mau kalah, expresi wajahnya menunjukan kalau dia tidak melakukan kesalahan apapun.  Akhirnya sekumpulan anak muda itu pun akhirnya menyampaikan keberatan mereka dengan berbagai cara, termasuk merajuk manja pada Maura. Gardinkan jadi Gemes ya, rasanya cemburu sama bocah-bocah ini. Masa sih dia harus berebutan Maura dengan anak-anak ini.
Akhirnya Maura berhasil menenangkan mereka dengan menjelaskan, bahwa akan ada yang menggantikan dirinya untuk membuka stall makanan Indonesia di kantin ini ketika ia pulang nanti. Saat ini sedang menjalani negosiasi mengingat calon penggantinya, berniat untuk membeli hak usaha dengan membeli perusahaan kecil Maura beserta ijin usaha, pengalihan sewa stall di kantin dan sebagainya. Walau begitu, Maura pun berjanji untuk membuka warungnya sampai semester ini benar-benar berakhir. Akhirnya setelah ditenangkan Maura puluhan anak-anak muda itu bisa bernafas lega. Mereka pun bubar dengan perasaan tenang.
Maura pun menatap Gardin tajam. “Makanya hati-hati ngasih informasi, jadi hebohkan?”
“Lha, mereka tanya aku jawab. Aku salah apa?”Gardin kebingungan.
**
Sabtu siang, Maura sedang santai nonton TV di ruang tengah sambil mengawasi Hiro yang sedang menikmati susu botolnya di boxnya. Arkan dan Angga sedang main badminton bersama dengan teman-teman UQISA di kampus. Biarpun nggak lagi jadi mahasiswa masih boleh kok main badminton di kampus dengan teman-teman Indonesia lainnya.
“Ra, cape nggak?” Tiba-tiba Gardin menghampiri Maura dengan sedikit merayu dengan cara memijit pundak Maura.
Kalau begini sih pasti ada maunya.
“Biasa aja sih, kenapa?”
“Ra, besok kan aku balik.” Gardin duduk di samping Maura masih terus memijit bahu Maura. “Kesininya lagi saat kamu wisuda nanti.”
“Terus?”
“Dinner yuk nanti malem, kita keluar berdua. Mau nggak?”
“Hiro gimana?”
“Tadi aku udah minta tolong sama Arkan dan Angga, mereka mau kok jaga Hiro malam ini. Ntar lagi mereka pulang kok.”
“Aku terlalu sering ngerepotin mereka ah.” Maura agak ragu.
“Nggak papa lah, mereka sayang kok sama Hiro. Mau ya, besok kan aku balik ke Jakarta Ra.” Gardin begitu memohon.
Maura pun tersenyum tulus dan mengangguk, nggak ada salahnya menyenangkan sang suami yang sudah begitu sabar ini. Toh dia pun juga akan bahagia kok malam ini.  Maura sangat yakin dengan itu.
Gardin pun tersenyum bahagia.
**
Malam harinya, Maura sudah bersiap, dia berdandan dengan baik. Cantik banget dengan make up tipis, gaun sederhana bunga-bunga hitam merah dipadu dengan cardigan winter wol merah teduh merk channel, dengan Gucci heels leather pump warna coklat, dan handbag Bottega Veneta seri arco 33 berwarna hitam, sentuhan terakhir tak lupa Maura mengenakan seuntai kalung berlian yang dihadiahi Gardin ketika ia melahirkan Hiro.  Melihat itu semua Gardin bahagia banget, terlihat bahwa Maura menghargai undangan kencannya. Gardin nggak kalah ganteng kok dengan semi formal Jacket hitam Armani dipadukan dengan Levis jeans dan kemeja biru langitnya Gucci man, Gantengnya Gardin maksimal deh.
“Kunci mobil mana Ngga?” Gardin dan Maura siap berangkat. Mereka hendak menggunakan mobil untuk kencan mereka malam itu, makanya minta kunci sama Angga.
Angga yang sedang nonton TV sambil makan Indomie dengan santai menyerahkan kunci mobil ke Gardin.
“Din, yang sopan dong kalau mau pinjem mobil!” Pinta Maura.
Gardin bingung ditegur Maura.
“Itukan mobil omnya Angga. Lupa ya kalau kamu mau minjem?”
Gardin dan Angga pun tersadar bahwa mereka masih bersandiwara mengatakan bahwa mobil itu milik omnya Angga.
“Eh iya. Pinjem mobil ya Ngga.” Gardin pun agak kebingungan ngomong yang sopan untuk minjem mobil miliknya sendiri.
“Iya Bang. Nggak papa kok.” Angga pun nyengir. Yang punya mobil pamit pinjem lho? Hehehe
Maura pun tersenyum puas mendengar Gardin mampu bersikap sopan. “Kan, Ngga, titip Hiro bentar ya.” Pintanya lagi.
Hiro memang sudah tidur, mereka baru keluar pukul delapan malam kok. Tapi kamar Maura memang sengaja dibuka, kalau-kalau Hiro terbangun dan bisa terpantau oleh Arkan dan Angga.
“Ok Mbak jangan khawatir. Have fun ya.”
Maura dan Gardin pun pergi menuju restoran seafood and steak yang ada di Southbank.
Maura itu pencinta seafood terutama udang. Kalau sudah ada udang di depan mata, mau diapain aja pasti habis deh. Kayaknya dia akan lupa tuh yang namanya diet atau kolesterol kalau sedang menikmati udang. Sedangkan Gardin dia pencinta steak, makanya dinner malam ini ke tempat yang menyediakan dua makanan favorit mereka. Malam itu Maura memesan udang bakar berlapis keju mozzarella sedangkan Gardin memesan wagyu steak dengan saus jamur. Tadi pelayannya menawarkan mereka bir atau wine sebagai teman makan sih, tapi Maura menolak. Maura memang anti alcohol sedangkan Gardin masih sih sesekali minum kala ada jamuan makan malam dengan koleganya yang berasal dari overseas. Jadi sifatnya hanya untuk menyambut tamu aja, selebihnya dia pun menghindari alcohol. Berbeda dengan di Eropa, di Australia agak jarang restoran menyediakan non-alcohol wine or champagne.
Suasana dinner mereka sangat tenang dan nyaman. Menyenangkan juga berada dalam situasi seperti ini buat Maura. Rasanya sudah berabad-abad lamanya Maura tidak merasakan suasana se-rileks sekarang. Makan malam bersama dengan seorang tersayang, berpakaian baik untuk tanpa harus berlebihan, sedikit merasa cantik dan narsis, dan bonusnya bisa menyenangkan seseorang yang kita cintai luar biasa rasanya. Gardin pun sangat terlihat bahagia, terpancar dari senyumnya yang selalu ada di wajah charmingnya. Mareka bahagia dengan cara mereka, tanpa harus mempertontonkan kebahagian mereka dalam social media atau bahkan mereka lupa mengabadikannya dalam sebuah photo. Maura dan Gardin sangat menikmati malam yang mereka habiskan bersama, sangat fokus pada pasangan, sehingga merasa tidak perlu ada hal kecil yang mengganggu kebahagiaan mereka.
Setelah dinner mereka pun memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir sungai Brisbane, manikmati suasana kota di waktu malam. Mereka berjalan pelan dengan bergandengan tangan, sesekalipun Maura menyandarkan kepalanya di bahu Gardin. Tentu saja Gardin bahagia banget, Maura bersedia bermanja-manja dengan dirinya. Apakah ini artinya Maura telah memaafkannya? Sumpah rasanya Gardin nggak mau malam ini cepat berlalu. Ingin berjalan yang jauh kala Maura ada di sampingnya begini. Jalan dari southbank ke unit mereka pun dijabanin deh kalau mesranya sebegininya. Ah nggak kok, Gardin nggak setega itu dengan perempuan yang dicintainya, Southbank ke unit mereka kira-kira 6 Km man.
Mereka pun memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman. Sambil merangkul Maura, “Dingin nggak?”
Maura menggeleng dan tersenyum. “Hari ini bersahabat ya, nggak sedingin kemarin-kemarin.”
Gardin mengangguk setuju, kalau lihat suhu hari ini dari informasi forecast sih, 17 derajat. Suhu yang nyamanlah untuk malam yang indah.
“Aku boleh banyak tanya nggak Ra?”
Maura tersenyum, sepertinya memang waktu yang tepat untuk mereka mengobrol. “Mau tanya apa?”
“Kamu sudah sangat tahu apa mauku, kenapa kita nggak bisa rujuk sekarang Ra? Kalau Masalahnya kuliah kamu dan LDR sementara waktu, aku bisa menerima kok.”
“Jawabannya akan panjang, dan aku berharap bahwa kamu nggak menganggap ini sebagai balas dendamku pada kamu ya.”
Gardin tersenyum. “Kita punya waktu yang panjang malam ini sayang, dan aku dengan senang hati mendengarkan apapun yang akan kamu sampaikan, bahkan umpatan kemarahanmu sekalipun.”
Maura menghela nafas, memang nggak pernah mudah untuk mengungkit kembali luka lamanya. “Pertama kalinya waktu kamu minta aku pergi, aku benar-benar kebingungan mau ke mana. Yang ada dalam fikiranku saat itu, aku berusaha pergi dan menghapus jejakmu dalam hidupku. Saat itu aku benar-benar nggak mau minta tolong dengan siapapun yang ada hubungannya dengan kamu. Tapi pada saat itulah aku makin menyadari bahwa aku nggak punya siapa-siapa dalam hidupku selain kamu. Kedua orang tuaku sudah nggak ada di dunia ini, dan mereka anak tunggal sama seperti aku. Praktis aku nggak punya siapa-siapa lagi. Dan akupun menyadari bahwa selama sepuluh tahun aku bersamamu, aku kehilangan teman-teman lamaku. Satu-satunya pergaulan yang aku punya adalah jejaringmu. Sesuatu yang aku hindari saat itu. aku benar-benar kebingungan. Sampai akhirnya bu Siti kepala rumah tangga kita yang membantu aku mencarikan tempat tinggal. Apartemen yang kamu datangi di Kelapa Gading itu.”
“Oh, kok Bu Siti nggak ngomong apa-apa sama aku, padahal dia tahu aku sibuk mencari tahu tempat tinggal kamu saat itu.”
“Aku yang minta.” Maura menghela nafas. “Sampai akhirnya Pak Mochtar menghubungi aku, dan dia kekeuh mau menjadi pengacaraku karena amanah dari papa kamu. Sebenarnya aku menolak saat itu, walaupun akhirnya aku menyerah. Karena aku melihat ketulusannya membantu aku, bagaimanapun aku memang membutuhkan bantuan dia.”
Maura terlihat begitu emosional mengingat itu semua. Gardin semakin mendekatkan dirinya pada Maura, berusaha menunjukan betapa menyesalnya dan berusaha memberikan sandaran bagi ungkapan rasa Maura.
“Kondisi itu menyakitkan buat aku, aku benar-benar putus asa karena nggak tahu aku harus bagaimana. Sampai dulu aku pernah bertanya, kenapa Tuhan nggak cabut nyawaku aja, kalau memang dia tidak memberikanku anugrah untuk tahu aku harus bagaimana? Sampai aku menyadari ada Hiro di perut aku. Aku jadi begitu bergairah untuk hidup. Saat itu seakan Allah memberi tahu aku bahwa aku harus hidup untuk anak ini. Tapi di sisi lain, menjalani kehamilan sendirian itu berat banget. Yang paling menyedihkan ketika datang ke dokter, banyak ibu-ibu hamil ditemani suami mereka, mereka bahagia bersama, dan sang istri bisa bermanja-manja. Akupun membayangkan bahagianya Lucy kamu damping saat kehamilannya, tapi aku kamu buang. Pedih banget Din kalau inget itu.”
“Aku kan nggak tahu kalau saat itu kamu hamil juga Ra. Kalau tahu akan lain ceritanya.” Rasa bersalahnya terungkit lagi.
Dari situ akupun berjanji pada diriku sendiri, aku harus mandiri apapun yang terjadi. Tapi aku nggak boleh bertindak gegabah, karena kalau salah jalan, bukan hanya aku yang sengsara, tapi juga anak yang ada di perutku saat itu. Aku menjadi terobsesi untuk membuat rencana yang matang untuk hidupku dan Hiro, agar aku bisa menjalaninya dengan baik. Saat itu aku merasa harus menjauh dari Jakarta agar aku bisa berfikir jernih. Yang terfikir adalah sekolah, setelah itu punya usaha kecil agar aku dan Hiro bisa hidup, dan aku harus bisa keluar dari nama besar kamu. Karena hidup dalam bayang-bayang kamu, tapi aku sudah dibuang rasanya begitu melelahkan.”
“Segitu marahnya kamu sama aku Ra?”
“Dulu mungkin iya, sekarang sama sekali nggak aku nggak marah ataupun dendam sama kamu. Terlebih melihat bagaimana kerasnya kamu minta maaf padaku. Karena pada dasarnya kamu baik kok, dan aku paham kalau kamu dulu puber kedua. Tapi obsesiku untuk mampu hidup di luar bayang-bayang kamu masih ada. Aku harus bisa membuktikan aku bisa mandiri. Karena aku masih punya rasa khawatir kamu akan membuangku lagi.”
“Nggak akan mungkin terjadi lagi Maura, aku sudah tahu merananya hidup tanpa kamu. Nggak akan mungkin aku mengulang kesalahan yang sama.”
“Nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi nanti Gardin.”
“Apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya padaku?”
“Berdamai dengan obsesiku Gardin. Ambisi ini lahir karena masa lalu yang menyakitkan.”
Gardin menghela nafas begitu panjang. “Apa yang kamu ingin aku lakukan.”
“Kasih aku kesempatan untuk aku membuat usaha sendiri, tanpa ada iming-iming nama kamu dalam usahaku itu. Kamu boleh membantu aku dalam ide, atau mengarahkan apa yang harus aku lakukan. Tapi kamu sama sekali tidak boleh terlibat dalam dana, atau bantuan apapun. Ijinkan aku mandiri.”
“Itu bisa kamu lakukan di saat kita sudah rujuk. Aku janji tidak akan menghalangi kamu apabila mau buka usaha, bahkan kalau perlu kamu silahkan mengelola satu dari anak perusahaan kita.”
Maura menggeleng tegas. “Biarkan aku mandiri, ijinkan aku bangga pada diriku sendiri karena mampu berdiri di kakiku sendiri, setelah itu kita bisa rujuk.”
Gardin menghela nafas panjang sekali lagi. “Aku harus menunggu kamu berapa lama lagi Ra?”
“Aku nggak tahu. Tapi kalau kamu nggak sanggup menanti aku. InshaAllah Aku ikhlas kok, silahkan kamu cari istri lain.
“Apa kamu nggak lagi mencintai aku lagi Ra?”
Maura menggenggam tangan Gardin. “Aku cinta kamu, cinta ini terlanjur aku titipkan ke kamu tanpa berniat mengambilnya lagi walau aku pernah merasa begitu sakit. Tapi saat ini obsesiku jauh lebih besar dari cinta itu. Semua ini lahir dari ketakutan aku menghadapi hidup di saat aku pernah benar-benar merasa sendiri. Tolong pahami aku.” Maura menangis saat memohon pengertian Gardin.
Gardin hanya bisa memeluk Maura, mencoba memberikan kehangatan dalam penyesalannya yang luar biasa. Tidak perlu marah-marah ataupun menangis meraung-raung untuk menjelaskan pedih batin yang di rasa Maura. Pembicaraan dari hati ke hati ini saja telah mampu membuat hati Gardin tercabik-cabik mengetahui dia begitu menyakiti perempuan yang begitu ia cintai. Nggak ada yang bisa ia lakukan selain sekali lagi menyetujui apa yang jadi rencana hidup Maura.

_*.....Bersambung.....*_

Artikel keren lainnya:

Janda CEO Bag 14 (I am on Your side Babe!)

JANDA CEO Part 14
I am on Your side Babe!

Pukul enam pagi, Gardin sedang menanti Maura keluar kamar. Gardin udah sholat subuh, udah mandi, udah ganteng deh. Sudah bantu Arkan juga tadi bikin nasi goreng buat rame-rame sarapan. Dulu-dulu kalau Gardin ada di Brisbane dia selalu tidur di sofa, niatnya sih biar agak drama. Siapa tahu… siapa tahu lho, Maura jadi nggak tega terus ngajak dia tidur di kamarnya. Well, sejauh ini sih itu semua hanya khayalan Gardin #ngarep. Akhirnya dia nyerah, apalagi saat winter gini, dia tidur di kamar Arkan. Arkan pun selama Gardin di Brisbane sekamar dengan Angga, karena kamar Angga memang sedikit lebih luas, dan terdapat tempat tidur bertingkat ke bawah.


Ketika Maura keluar kamar, wajahnya nggak lagi setegang semalam. Dia keluar sendirian, sepertinya Hiro masih tidur. Biar begitu, Maura membuka pintu kamarnya, kalau-kalau sang bayi terbangun. Yah, nggak bayi-bayi banget sih sudah satu tahun tujuh bulan juga.
Gardin memberikan senyum terbaiknya untuk Maura ketika Maura keluar kamar. Maura tidak membalas dengan senyuman juga, lempeng aja gitu wajahnya. Sepertinya masih sedikit kesal, walaupun nggak emosi lagi. Dia pun langsung berjalan ke dapur untuk membuat teh hangat untuk dirinya sendiri.
Gardin langsung menghampiri Maura, memeluknya dari belakang, terlihat Maura agak jengah dengan perlakuan Gardin. Hei ini ada Arkan dan Angga lho, mereka hendak sarapan juga. Sepertinya Gardin nggak perduli. “Maaf dong!” Pintanya lembut.
Maura hanya menjawab dengan senyuman.
“Aku nyerah Ra, aku akan mendukung apapun mau kamu. Tapi kembali jadi istriku ya Ra!” Pintanya lembut.
Masih dengan senyuman yang terkulum, Maura masih saja terdiam.
“Aku Mohon maaf sayang, jangan marah lagi ya. Aku bantuin deh start upkamu. Nggak lupa kan kalau suami ini kamu bergelar MBA dari Columbia?”
Halah siapa yang lupa kalau Laki-laki cerdas ini punya dua gelar master, dari NTNU, Trondheim, Norway dan Columbia University, New York, USA.
“Beneran?” Sepertinya sudah mulai menjinak nih.
“Serius sayang. Aku nggak akan mungkin bohong lagi sama kamu.” Gardin melepas pelukan belakangnya. Sekarang dia benar-benar berada di samping Maura sedikit bersender di meja kokoh di dapur itu. Terus menatap sang istri dengan tatapan yang begitu teduh.
Maura jadi salah tingkah. “Mau kopi?”
Gardin mengangguk. “Ra?” Panggilnya mesra.
“Hmm?” Masih dengan judes dan galak.
Gardin menunjuk pipi Maura dengan telunjuk tangannya. “Boleh nggak?”
Semua juga ngerti dia minta cium.
“Tapi janji bantuin start up ya!”
Lampu hijau nih, Gardin pun langsung mencium pipi Maura, memeluknya dengan begitu hangat. “Iya sayang, pasti!” Janjinya berucap sekali lagi.
Hadeuh… baekan sama istri itu enak banget ya… cium pipi aja sudah indah banget, Gardin belum berani minta lebih.
**
Gardin menepati janjinya, dan mengikuti saran Angga. Memang lebih baik terjun dan terlibat dari pada menentang. Sekarang, setelah sepenuhnya Gardin mendukung, hubungannya dengan Maura menjadi lebih baik. Walaupun Gardin sudah kembali ke Jakarta, sekarang hari-harinya dipenuhi dengan video call. Topiknya seputar usaha Maura dan perkembangan Hiro. Semua menjadi jauh lebih menyenangkan.
Ternyata membuat usaha kecil di Australia tidak sesulit yang Maura kira. Memang semua prosedur harus dijalani. Nggak ada tuh yang namanya kegiatan pengurusan administrasi bawah tangan atau main belakang. Semuanya sangat jelas dan jernih. Tapi ya memang semuanya harus dikerjakan dengan detail. Kalau semua memenuhi syarat, ijin pun mudah keluar.
Dari usaha itu dimulai, dan usaha itu berjalan. Maura pun harus mencatat segala kegiatannya dengan detail. Karena bagaimanapun ini bukan sekedar usaha, tapi juga projek penentu untuk dia bisa lulus dari masternya. Setiap bulan dia bertemu dengan supervisornya, melaporkan dan menganalisa apa yang telah terjadi. Bagi Maura projek ini begitu menyenangkan. Memang nggak mudah, tapi semuanya bisa diatasi.
Arkan dan Angga pun sangat membantu. Kegiatan mereka sejak Maura jadi ibu kantin ya, pertama, mengantar Hiro ke daycare, setelahnya Angga dan Arkan membantu Maura mensuplay kebutuhan bahan-bahan makanan yang akan diolah Maura, setelahnya mereka meninggalkan Maura di Kantin, mereka pun pergi magang di kantor pengacara. Setelahnya Maura mulai memasak di dapur kantin, pukul 11 siang dia mulai membuka stallnya, melayani pembelinya sampai pukul tiga sore, setelahnya stallnya tutup, membersihkan dapur dan semua bagian warungnya, dan tutup pukul empat sore. Dan weekend pagi dipenuhi dengan kegiatan berbelanja bahan pangan. Memang ada sih beberapa bahan yang di suplay, seperti tempe dan tahu, ada PR dari Indonesia yang memang usahanya membuat tempe dan tahu, mereka bersedia langsung mensuplay ke warung makan Maura di kantin kampus.
Gardin juga cukup banyak membantu, baik ketika dia jauh atau pun sedang di Brisbane. Gardin membantu Maura dalam me-review, membuat laporan dan analisa keuangan. Itu penting banget untuk laporan projectnya. Selain itu Gardin membantu Maura lebih pada ke teori strategic, dan analisa pasar. Semua itu sangat membantu Maura mencerna segala ilmu yang didapat dibangku sekolah dan bisa langsung ia praktekan kedalam projectnya itu.
Yang membuat warung Maura beda adalah: pertama tentunya menunya makanan Indonesia, kedua dia hanya menyajikan satu tema makanan perharinya. Contohnya nih hari senin temanya Nasi padang, artinya ada rendang, telur dadar ala padang, gulai nangka, rebusan daun singkong, dan pergedel dan sambel ala minang. Hari selasa temanya gudeg: opor ayam, opor telur, gudeg nangka, sambel krecek, tahu dan tempe bacem. Hari rabu temanya saung sunda: ayam, empal, ati-empela goreng, sayur asem, samble, lalapan dan tak lupa tempe dan tahu goreng. Begitu seterusnya. Makanya di setiap awal bulan warung Maura menyebar selebaran yang isinya menu bulan itu. Jadi ketika custumer datang mereka sudah tahu apa yang akan di hadapan mereka. Ternyata strategi penjualan seperti ini animonya sangat baik. Setiap harinya Maura menyiapkan dua ratus porsi dan selalu habis di pukul tiga sore. Alhamdulilah ya…
Selain menjadi mudah karena memasak dengan perencanaan yang baik, cara ini juga mempermudah Maura menganalisa menu apa yang menjadi favorite custumersnya. Sejauh ini menu yang menjadi favorite itu adalah tema aneka sop: sop ayam, sop iga, dan mie bakso, dan tema Nasi Padang. Akibatnya dua menu itu harus ada setiap minggunya. Tema Nasi Padang di setiap senin dan tema aneka sop di setiap hari jumat. Pelanggan Maura nggak hanya student dan staffs dari Indonesia dan Malaysia aja lho, para bule yang sering main ke Bali dan international students lainnya juga suka kok dengan makanan Indonesia. Tapi memang kalau students Indonesia itu memang hampir tiap hari mereka makan di kantinnya Maura. Sering kali pada pembeli juga memberikan saran menu apa yang sebaiknya disediakan oleh Maura, lumayan bulan depan jadi lebih beragam.
Maura pun pada akhirnya mempekerjakan beberapa student’s wifeIndonesia karena mulai kewalahan. Selain itu ia pun membutuhkan orang untuk menjaga stallnya kala ia harus bimbingan, walaupun sebulan sekali tapi tetap merupakan kegiatan rutin. Usaha kecil Maura ini benar-benar menyenangkan dan cukup menghasilkan buat Maura.
**
“Kan, Photo Kan! Jarang-jarang kan elo liat CEO ngangkut karung beras!” Angga memerintah Arkan untuk memphoto Gardin saat mengangkut sekarung yang berisi lima belas kilo beras ke stall Maura di Kampus.
Gardin kaget. “Setan lo ye, bukan bantuin gue.”
Keduanya tertawa menggoda.
“Kirim ke Bang Jason ya bang,” pinta Arkan masih dalam tawanya.
“Kasih caption gini Kan, ‘CEO yang berjuang mendapatkan cinta istrinya lagi.’” Angga menimpali.
Gardin jadi ikut tertawa dengan candaan dua anak konyol itu. “Tai…”
Angga sebenarnya juga lagi ribet, dia pun sedang mengangkut lima kilogram wortel. Sedangkan Arkan berjalan melenggang karena baru saja meletakan seledri dan daun bawang ke dapur kantin.
Arkan memperlihatkan photo yang tadi dia ambil. “Kirim ke Bang Jason ya Bang.” Dia minta persetujuan.
“Lho kalian kenal Bang Jason?” Tiba-tiba Maura ada di samping mereka.
Ketiganya agak gelagapan.
“Bang Jason pernah jadi dosen tamu di kampus S1 kita mbak.” Arkan mendadak punya ide menjawab.
“Eh iya mbak, lagi juga pengacara mana sih yang nggak kenal Jason Alam. Lawyer lulusan Columbia university gitu lho.” Angga menambahkan.
Maura tersenyum. “Bang Jason mah udah kayak prangko sama amplop tuh sama Gardin.”
“Basi dong?”
“Basi?”
“Sekarang jamannya email mbak.”
Semua tertawa mendengar candaan garing Arkan.
Maura masih tertawa “Apa dong ya kalau sekarang, Batre sama hp deh.” Sambil meninggalkan mereka menuju stallnya.
Setelah Maura menjauh Gardin pun menatap mereka tajam. “Lain kali lebih hati-hati ya! Untung tadi bisa jawab.” Gardin agak ketakutan.
“Siap bang!”
“Bang, jadi nggak kirim ke bang Jason.” Arkan masih kekeuh.
“Keren nggak photonya, kalau jelek mah jangan!” Pinta Gardin. Saat itu Gardin sedang mengenakan kaos berwarna biru dan jeans. Dia memang menggunakan pakaian seadanya karena memang niat banget kedatangannya kali ini ingin terlibat langsung di kantin Maura. Tapi pesonanya memang nggak bisa dibohongi. Dengan casual kayak begitu aja dia tetap ganteng luar biasa. Sedangkan anak buahnya kali ini malah berbalik darinya, mereka menggunakan pakaian kerja ya keren banget, karena mereka setelah ini langsung magang di kantor pengacara di City.
Angga melirik ke telepon pintar Arkan, “Keren kok bang, hot daddylah, tetep bikin semua macan (mamah cantik) Mahmud (mamah muda) mabuk kepayang.”
“Gue cuma butuh satu macan yang mengakui itu.” Gardin pun bicara sambil menatap Maura dengan penuh harap. Jaraknya cukup jauh, dua puluh meter kira-kira Maura sedang sibuk menata belanjaannya dan mempersiapkan untuk mulai memasak.
“Cie cie…yang mencoba untuk setia...”
“Cie cie… kapok ni ye…”
“Ngomong lagi… gue hajar ya!” Gardin semakin sewot dengan dua anak buahnya itu dan mencoba mengejar mereka yang sedang berlari sambil tertawa puas berlari menuju stall Maura. Hadeuh ribet banget nih ngejar-ngejar anak-anak muda itu sambil bawa karung beras. Gardin ngos-ngosan ketika sampai di dapur kantin. Setelah meletakan sekarung beras itu, dia langsung berpegangan meja sambil mengatur nafas. Sialan nih dua bocah itu.
“Sampun sepuh ya pak?” Tanya Arkan.
Hm… ada yang minta dipecat kayaknya.

_*.....Bersambung.....*_

Artikel keren lainnya: