Masih Adakah Surga Untukku Episode 7
#Laila
#Episode_7
Pulang dari belanja, Laila, mak Eti dan mba Sri sibuk di dapur. Mereka akan membuat rendang untuk kedatangan tamu dari Padang. Kata mak Eti yang akan datang adalah mamaknya Tama (adek/abang laki-laki dari ibu). Kalau urusan memasak, Laila sudah memiliki sedikit bekal.
Dulu Laila sering membantu bundonyo memasak di dapur. Apalagi rendang merupakan masakan andalan bagi orang Minang. Daging yang dimasak dengan santan, cabe dan bumbu giling ini, dipanaskan di atas api kompor sampai menjadi kering dan berwarna coklat kehitaman. Sehingga rendang tahan dimakan sampai beberapa hari. Bahkan pada zaman dahulu, orang tua-tua yang memasak rendang di atas tungku kayu, bisa membuat rendang yang tahan hingga berminggu-minggu.
Setelah asyar, mereka selesai memasak beberapa menu. Laila pun kembali ke kamarnya untuk mandi dan beristirahat. Laila membaringkan tubuhnya di atas ranjang seraya memainkan ponselnya. Ada beberapa pesan masuk ke whatsappnya. Dari teman-teman kuliah serta dari uni Feni, uni Lili, uni Rini yang menanyakan kabarnya. Laila membalas satu persatu pesan dari kakak-kakaknya.
Setelah membalas pesan-pesan di whatsappnya, Laila akhirnya tertidur. Entah berapa lama Laila tertidur ketika ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Laila bangun dan membuka pintu kamarnya. Mba Susi berdiri di depan kamarnya dengan keranjang pakaiana yang telah tersususn rapi.
"Ada apa, Mba?" Laila menyanggul rambutnya secara asal.
"Ini, Uni. Bisa Uni bantu menyusun pakaian Pak Tama di lemari kamarnya?"
"Saya, Mba?" tanya Laila.
"Iya, Uni. BIasanya Mba Susi yang susun dan rapikan kamar Pak Tama. Tapi kan sekarang udah ada Uni Laila, istrinya. Lebih pantas Uni yang melakukannya," mba Susi pun menyerahkan keranjang pakaian itu pada Laila. Laila menerimanya dengan ragu.
"Tapi, ga ada siapa-siapa di tumah kan, Mba? Pak Udin udah pulang kan? Dan Pak Tama belum di rumah kan?" tanya Laila beruntun. Mba Susi tertawa mendengar pertanyaan Laila.
"Ga ada laki-laki di rumah, Uni. Ga usah pakai kerudung. Begitu aja cantik. Seksi," mba Susi mengedipkan matanya menggoda Laila. Laila tersipu malu. Ya, biasanya Tama memang pulang sehabis isya. Ini magrib juga belum.
Akhirnya Laila membawa keranjang berisi pakaian Tama yang telah disetrika ke lantai dua, ke kamar Tama. Untuk kedua kalinya Laila memasuki kamar laki-laki itu. Beberapa pakaian kotor masih berserakan di atas tempat tidur. Ternyata mba Susi memang ga membersihkan dan merapikan lagi kamar Tama. Laila yakin mba Susi dan mak Eti berkomplot untuk memasukkan Laila ke kamar ini.
Setelah merapikan pakaian yang berserakan dan merapikan alas kasur dan melipat selimut, Laila mulai menyusun pakaian ke dalam lemari. Laila mengeluarkan sebagian isi lemari sebelum menyusunnya dengan rapi. Laila meletakkan kemeja dengan kemeja, kaos dengan kaos, celana pendek dengan celana pendek dan celana panjang dengan celana panjang. Hingga lemari pakaian itu terlihat sangat rapi.
Tiba-tiba terdengar pintu kamar dibuka dari luar. Laila menoleh ke arah daun pintu yang terbuka. Mata Laila membulat, sosok Tama telah berdiri di ambang pintu. Tama pun terkesiap. Dilihatnya Laila sedang jongkok di depan lemari pakaiannya. Baju tidur selutut yang dipakai Laila sedikit tertarik ke atas lututnya. Memperlihatkan kakinya yang putih mulus. Sementara rambut Laila yang disanggul asal ke atas puncak kepalanya, menyisakan anak-anak rambut ke batang lehernya yang jenjang. Tama menelan salivanya dengan susah payah.
"Sudah pulang, Da" Laila bingung, mau berdiri atau bagaimana. Ingin sekali Laila menyambar apapun yang ada di dekatnya untuk menutup kaki dan tubuhnya yang hanya berbalut baju rumahan selutut dengan lengan yang cukup pendek. Laila merasa amat risih berada di depan laki-laki ini dengan pakaian yang minim seperti ini.
"Oh, iya. Tadi langsung pulang, nggak mampir ke toko," Tama pun menjadi salah tingkah. Tama masuk dan hanya berdiri di samping tempat tidur. Ia tidak ingin melihat Laila yang juga terlihat salah tingkah. Tapi mata laki-laki itu tak bisa diajak kompromi. Ada makhluk ciptaan Allah yang begitu cantik dan mempesona yang sedang berada di hadapannya. Di dalam kamarnya. Mereka hanya berdua, tiba-tiba Tama merasa panas dingin.
"Maaf, Da. Laila tadi memasukkan pakaian Uda yang telah selesai disterika Mba Susi. Laila ga tahu kalau Uda akan pulang cepat hari ini," Laila berdiri dan memilin kedua jemari tangannya dengan resah.
"Iya, ga pa pa. Makasih ya," ujar Tama tulus. Laila mengangguk canggung.
"Laila pamit dulu, Da. Sebentar lagi magrib," Laila pun menyeret langkahnya menuju pintu.
Tama mengikuti kepergian Laila dengan tatapan matanya. Tubuh yang indah, bisik Tama dalam hati. Tapi sedetik kemudian Tama memukul dahinya. Duh .... pikiran .... pikiran ... rutuknya pada diri sendiri.
Sementara Laila yang telah ke luar dari pintu kamar Tama memegangi dadanya yang berdetak tak normal. Ya Tuhan. Menegangkan sekali, bisik Laila seraya memejamkan mata. Lebih mendebarkan daripada melihat bayangan hantu. Kenapa juga ia tadi berani ke kamar Tama dengan pakaian seperti ini. Laila merutuk dirinya sendiri. Ini udah untuk kedua kalinya Tama melihat tubuhnya yang polos tanpa hijab. Tapi kali ini lebih parah lagi dari yang sebelumnya.
Setelah sedikit tenang, Laila pun menuruni anak tangga dengan tergesa. Laila lalu masuk ke kamarnya dan bersiap-siap untuk menunaikan sholat magrib.
*****
Laila baru saja selesai melaksanakan sholat magrib. Ia berdiri untuk melaksanakan sholat sunnah ba'diyyah magrib. Tiba-tiba Tama memasuki ruang sholat. Tama mengenakan baju koko dan kopiah haji. Laki-laki itu mengambil tempat paling depan, lalu mulai takbir dan melaksanakan sholat magribnya.
Laila merasa sedikit heran. Sudah lebih dua minggu Laila berada di rumah ini, baru kali ini Laila melihat laki-laki ini sholat di ruang sholat. Tapi akhirnya Laila mengusir rasa herannya dan mulai melaksakan sholat sunnah rawatib. Setelah selseai dengan sholat sunnah dua rakaatnya, Laila buru-buru berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Sementara Tama masih terlihat khusuk berdoa dan berzikir.
Tak berapa lama Laila telah kembali ke ruang sholat masih memakai mukenanya. Laila kembali duduk di belakang Tama. Sepertinya Tama pun telah selsesai dengan doa dan zikirnya. Ia baru saja akan bangkit ketika didengarnya suara perempuan di belakangnya memanggil namanya.
"Da," Laila merangkak mendekati tempat duduk Tama.
"Ya." Tama berpaling dan menatap perempuan dengan mukena warna putih yang berada tak jauh darinya. Ternyata berbalut mukena pun wanita ini masih tetap cantik, batin Tama.
"Ini ATM Uda. Struk belanjanya juga di sini," Laila mengangsurkan kartu berlogo angka 45 dengan latar orange itu pada Tama. Tama terlihat mengernyitkan keningnya.
"Kenapa? Kamu udah punya penghasilan sendiri?" suara Tama terdengar dingin. Laila tertegun mendengar ucapan tama. Kenapa sepertinya laki-laki ini marah Laila mengembalikan ATM-nya.
"Jangankan penghasilan Da, duit aja Laila ga punya Da." ups, Laila menutup mulutnya. Duh kenapa ia jadi keceplosan ngomong seperti itu. Wajah Laila seketika memerah karena merasa malu. Tama terlihat menahan senyumnya melihat kepolosan wanita di depannya ini.
"Udah tahu ga punya uang, pakai sok mengembalikan segala." suara laki-laki itu terdengar sinis. Tama pun bangkit dan meninggalkan Laila yang termangu sendiri. Hati Laila terasa sakit mendengarnya. Karena itulah dari dulu perempuan cantik ini ingin bekerja, agar tak ada orang yang meremehkannya. Tidak juga suami sendiri. Uh ....
Tapi tiba-tiba Laila bangkit dengan tergesa dan mengejar Tama yang berniat duduk di ruang keluarga.
"Jadi Da, ini bagaimana?" Laila masih bingung dengan kartu yang di tangannya. Alis Tama terangkat, ya ampun, wanita ini benar-benar membuat kesal hatinya.
"Itu milikmu. Hak kamu. Silakan gunakan untuk keperluan harian dan bulanan rumah tangga. Sekalian untuk kebutuhan pribadimu," suara Tama terdengar tegas. Mata Laila membulat. Ya Tuhan, laki-laki di depannya ini baik juga. Hati Laila menghangat.
"Boleh untuk beli laptop juga ga, Da?" mata indah Laila mengerjap menahan rasa malu dan dag dig dug di hatinya.
"Laptop?" Tama kembali dibuat heran oleh istrinya ini. Istri .... duh ternyata hatinya telah mengakui wanita dengan sikap menarik ini sebagai istrinya?
Laila menunduk. Tapi suara lirihnya masih bisa didengar oleh Tama.
"Laila suntuk, Da. Biasanya Laila menerima upah terjemahan dari orang-orang yang sudah pernah memakai jasa Laila. Tapi kemarin sebelum berangkat ke sini, laptop Laila rusak. Jadi banyak terjemahan orang yang belum Laila selesaikan."
Tama terdiam mendengar penjelasan Laila.
Sebenarnya jujur, Laila tak berani mengatakan semua ini. Hubungan mereka masih tidak jelas. Apa ia pantas merasa sebagai istri dari laki-laki di hadapannya ini? Apa ia pantas meminta sesuatu pada laki-laki ini. Apalagi sebuah laptop yang harganya tentu tak murah. Tapi, Laila benar-benar terdesak. Laila merasa suntuk hanya berdiam diri di rumah. Pekerjaanya hanya membantu mak Eti. Bersih-bersih rumah, mencuci, setrika, ngepel, sudah ada yang mengerjakannya. Laila pun bukan perempuan yang hobby menonton televisi atau bermain di dunia maya.
"Besok Uda bawakan laptopnya," ujar Tama singkat dan berbalik dari hadapan Laila.
Uda? Ya ampun, Laila meraba dadanya. Kok seperti ada gelenyar yang tak biasa di sana? Laila tak mengerti kenapa dadanya seperti ini mendengar laki-laki itu menyebut dirinya dengan uda. Lalu Laila pun berbalik dan bergegas masuk ke kamarnya dengan senyum manis yang tak mau ungkai dari bibir indahnya.
bersambung ....
Rancak bana....
ReplyDelete