MENIKAH DENGAN SETAN (Part 3)
Tiga malam berlalu, Halimah berdiri didepan rumah, ia memandangi bulan.
Rasanya ia ingin sekali berteriak pada bulan untuk menyampaikan rindunya yang teramat dalam pada laki-laki pujaan hatinya, kadang ia diam, kadang ia berpuisi, kadang ia tersenyum, kadang ia menangis.
Halimah Gadis desa itu sedang dimabuk cinta, ia sangat begitu mengharapkan kehadiran Haikal dihadapannya.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam Ayu!” Sahabat dekatnya itu datang mengunjunginya, Ayu adalah putri dari Kepala Desa, ia sahabat dekatnya sejak SMP.
“ya Allah, kamu tau saja sahabatmu ini lagi pusing.”
“Hmm..”Jawabnya dengan bibir menyungging satu keatas.
“Kamu kenapa yu? Malam-malam begini.”
“Halimah, aku sudah tahu kedekatanmu dengan Haikal. Baiknya kamu tinggalkan Haikal.”
“Loh kenapa yu? Mas Haikal sudah melamarku yu, insyaAllah bulan depan kami menikah!” tegasnya.
“Aku hanya khawatir terjadi sesuatu denganmu mah.”
“Kenapa?”
“Baiknya kamu tinggalkan saja dia.”
“Ngga yu, ngga akan.”
“Kalau begitu kamu hati-hati ya.” Jawabnya memperingati seraya meninggalkan Halimah didalam keheningan malam.
Halimah sedikit khawatir dengan ucapan Ayu barusan, hanya saja ia meyakini barang kali Ayu hanya ingin menyampaikan pesan, bahwa keluarganya dengan keluarga Haikal tak semapan, atau mungkin Ayu cemburu.
"Bismillah.” Gusar Halimah dalam hati.
Halimah tak bisa tidur memikirkan sikap Ayu padanya semalam, kenapa wanita itu menyuruh untuk berhati-hati, apa yang akan terjadi jika ia tetap menikah dengan Haikal.
Halimah bangun dari tidurnya ia berdoa di sepertiga malam memohon keselamatan baginya juga laki-laki yang hendak akan menikahinya.
Pagi hari, aktivitasnya berjalan seperti biasa ia membuat sarapan, membereskan rumah, sholat subuh, lalu berangkat kerja, saat matahari sudah menunjukkan keperkasaannya, ia kembali mengayuh sepeda.
Hari itu sinar matahari tidak begitu terang, cahayanya tertutupi oleh gumpalan awan Yang terbentui sangat Indah.
Mendung , namun tak Ada tanda-tanda lain Akan turunnya hujan, Halimah terus mengayuh sepeda Tak lupa ia melemparkan senyum pada setiap warga Yang melintas dihadapannya, dan kemudian seperti biasa ia akan berjumpa dengan beberapa anak yang bermain di Gedong tua sambil berteriak-teriak
“Setaan..metuu, Setan metuu”(setan keluar, setan keluar).
Seperti biasa ia pun mengusir kerusuhan mereka, ia memandang keatas, melihat gedong tua yang nampak memang tak berpenghuni, rumah itu sangat besar pantas disebut gedong warna putih pada cat dindingnya sudah berubah gelap kecoklatan, pepohonan disekitar rimbun bagaikan hutan yang tak terjamah, dedaunan kering dan sudah dua musim berlalu menumpuk membuat rumah itu semakin angker dan menakutkan, jika senja tiba kabut akan berkumpul menyelimuti rumah itu dan tak ada satupun yang berani melewati rumahnya, hanya mereka yang menggunakan kendaraan beroda empat saja yang berani melintas didepannya.
Halimah terperangah, ada tirai yang bergerak disalah satu jendela atas lantai dua, ia sangat kaget dan takut, ia kayuh kembali sepedanya dan lanjutkan perjalanannya.
Tak jauh dari sana rantai sepeda ontel miliknya terlepas, ia tak bisa melanjutkan perjalanan.
“Innalillahi.. ada ada saja.”
Tak ada siapa-siapa di jalan perbukitan itu hanya Halimah dan suara-suara burung yang sibuk menyambut pagi.
Ia sibuk membenarkan rantai sepedanya, pelan bulu kuduknya berdiri, keringatnya mengucur suara langkah kaki itu berada persis dibelakangnya.
Halimah pun berdiri dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil menggandeng sepedanya disisi kanan, ia berjalan cepat dan semakin cepat, ia merasa ada yang mengikuti dari belakang.
Tak lama sebuah jeep terlihat dari jauh, mobil jeep yang ia ketahui sering dikendarai oleh calon suaminya Haikal.
“Halimah,,, hai Halimah..”
“Alhamdulillah..” ia bernafas lega.
“Sepeda kamu kenapa mah?” tanya Faisal yang baru saja turun dari mobil, ia mengenakan celana jeans, jake jeans juga kaca mata hitam.
Tiga hari ini Faisal menunjukkan sikap aneh padanya, sejujurnya Halimah merasa sangat terusik dengannya.
“Ayo saya antar..”
“Ngga terimakasih, saya jalan saja.”
“Jauh loh mah, 8 km lagi.. kasian murid-murid kamu nanti.”
Halimah berfikir ada benarnya, lagian tidak ada salahnya ia menolak bantuan Faisal sahabat Haikal.
Faisal menaikkan sepedanya keatas jeep, lalu ia membukakan pintu mobil untuknya, Faisal berusaha bersikap mesra padanya.
Tubuhnya sedikit condong kedepan.
“Nanti pulangnya saya jemput lagi saja ya Halimah.”
“Tidak perlu mas, dekat pendopo ada bengkel, nanti saya benarkan disana saja.” Jawab Halimah ketus, Faisal pun berlalu meninggalkannya di Surau.
Matahari berdiri sejajar persis diatasnya hari sudah siang, saatnya ia pulang.
Kemalangan satu lagi menimpanya, bengkel langganan tutup, namun tak jauh dari sana ia melihat mobil jeep yang dikendarai Faisal tadi pagi masih menunggunya, rasa sungkan juga risih menghampiri dirinya, laki-laki itu pasti akan keluar dan menawarkan bantuan, Halimah tidak bisa berbuat apa-apa pelan ia melangkahkan kakinya menuju rumah.
“Halimah.!” teriak Faisal. Benar dugaannya laki-laki itu memanggilnya,
“Ayoo saya antar pulang.” .
Halimah menarik nafas dan dengan segala kertepaksaan yang ada ia pun menerima tawarannya.
Dijalan arah pulang, Halimah terus berdoa. Mulut laki-laki itu terus mengoceh mengajaknya berbicara, ia hanya diam dan mengangguk menjawab pertanyaannya.
Sore hari selepas Ashar, Dasinun pergi mengantarkan jahitan dan dua adik laki-lakinya belum kembali dari aktivitasnya di sekolah, Halimah sendiri ia sibukkan diri dengan membereskan rumah juga mencuci pakaian di belakang.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dari arah depan, Halimah sedikit terperangah, ia bangun dari tempat ia mencuci. “Bue…Sur….Dwi.” tak ada suara yang menyaut, ia berjalan perlahan pintu depannya tertutup, padahal baru saja ia merasakan ada orang yang masuk kedalam rumahnya.
“Halimah..” suara laki-laki datang dari arah yang tak diduga-duga. Halimah terkejut ia sangat kaget,
“FAISAL!””” Ucap dia geram, ia menarik tirai yang memisahkan dua ruang itu untuk menutupi pakaiannya yang melekat karena basah, kepala masih tertutup rapi dengan hijabnya.
“TIDAK SOPAN KAMU FAISAL, KELUAR KAMU!!” jawab Halimah Murka.
“Relax..Halimah, tidak ada yang tau aku disini, tidak ada yang melihat kita, jadi kita bebas sayang..”
Faisal membuka kancing bajunya satu persatu, dan perlahan mendekat ke arahnya, wajahnya menunjukkan haus yang begitu mendalam.
“BIADAB KAMU..,!” Ia melemparkan beberapa barang ke arahnya, dan berlari kearah keluar untuk meminta pertolongan, ia lihat pintunya tak terkunci ia bisa bebas dari mangsa Setan berwujud manusia itu, Halimah berlari, Faisal menarik tubuhnya yang mungil itu ketubuhnya spontan tangisannya pecah karena takut “TOLONG!!”
Tak lama terdengar suara puluhan warga desa yang menghampiri rumahnya, mereka datang dengan kebencian diwajah mereka.
“HALIMAH…KELUAR KAMU!”, mendengarnya spontan Halimah berlari keluar “TOLONG!!” teriaknya, puluhan warga sudah menunggu didepan rumah, beberapa diantaranya ada yang memegang obor, wanita, laki-laki semua berkumpul disana.
“TOLONG., LAKI-LAKI ITU BERUSAHA INGIN MENODAI SAYA PAK.!” teriak Halimah menjerit ketakutan dan menangis.
Faisal keluar dengan keadaan pakaian yang terbuka, dengan santainya ia berbicara
“BOHONG!!, kami melakukannya karena kami saling menyukai, Halimah terus menggoda saya, hingga saya khilaf”
“BOHONG! KEJI KAMU FAISAL!” teriaknya memperjelas.
Warga terdiam mempertanyakan kebenaran apa yang baru saja mereka lihat, sebelumnya warga desa digegerkan dengan berita, bahwa Halimah sedang melakukan perzinahan dengan Laki-laki kota dirumahnya, entah dari mana kabar angin tersebut, namun kabarnya sangat membuat murka warga, mereka berduyun-duyun datang kerumahnya untuk memberikan sanksi akan perbuatannya. Seperti yang mereka lakukan sebelum sebelumnya, setiap orang yang ketauan melakukan perzinahan, mereka akan menghukum secara adat warga.
“Jelaskan pada kami Halimah!” teriak suara kepala desa yang baru saja datang bersama ibu.
Halimah berlari ketakutan kearahnya
“Tolong saya pak, saya berbicara jujur laki-laki itu berusaha ingin menodai saya!” ucap Halimah, matanya berkaca-kaca ia memohon.
“Ayu… kamu sahabatku kan.. katakan pada mereka, kalau aku tidak berbohong, yu..”
Ayu yang berdiri sejajar dengan Ayahnya itu memalingkan wajah, ia merogoh tas dan mengeluarkan setumpuk foto lalu memberikannya pada Kepala Desa.
Halimah memperhatikan Ayu, wajahnya membiru Pak Kades bersama warga yang berdiri persis dibelakangnya melihat dengan sungguh-sungguh foto yang diberikan Ayu.
“Pembohong kamu Halimah..!”
“Tidaaak saya tidak berbohong..!” Teriaknya menjerit.
“Lalu ini apa Halimah?” Jawab Pak Kades memberikan setumpuk foto-foto antara dia dengan Faisal.
“Ini Fitnah..Ini Fitnah,… ini tidak benar..!”
Warga yang melihat foto-foto itu naik pitam foto itu adalah foto Halimah bersama Faisal, entah siapa yang mengambil gambar mereka namun yang jelas ini seperti jebakan.
Warga murka, wajah mereka terlihat sangar tidak ada kedamaian diwajah mereka hanya kebencian juga kekerasan,
Mereka menarik tirai yang ia pakai untuk menutupi bajunya yang basah, menampar wajahnya, menjambak hijabnya dan mempermalukan Halimah dihadapan warga, dan Faisal sekejap menghilang, ia tak lagi berada dikerumunan warga.
“Tidaak..tidaak.. saya mohon..!” teriaknya menjerit pedih ia menangis terisak-isak berharap ada satu diatara warganya yang iba padanya, Halimah kacau ia payah hanya Allah saat itu yang sanggup menolongnya.
Warga murka mereka menarik tangannya dan menyeretnya ke jalan, Halimah menjerit-jerit kesakitan.
“Halimaaaah…!” teriak Dasinun yang baru saja kembali mengantarkan jahitan dari desa sebelah.
“Ada apa ini bapak-bapak?” jawab Dasinun melindungi putrinya yang lemah tak berdaya.
“Buee..eeee!” tangisan Halimah pecah dipelukannya, ia sulit bernafas.
“HEI DASINUN!! PUTRIMU TELAH MENCORENG NAMA BAIK KAMPUNG KAMI, IA PANTAS DIHUKUM!!”
“Tenang bapak-bapak apa yang telah Halimah lakukan hingga ia harus diperlakukan seperti ini?”
“PUTRIMU ITU PENZINAH, DASINUN!””
“Nggak..itu nggak benar, putri saya putri baik-baik ia tak mungkin melakukan hal serendah itu.!”
“Kami menyaksikan sendiri Dasinun ia ada didalam bersama laki-laki berselimutkan tirai!”
Dasinun menatap wajah anaknya “Katakan itu tidak benar, nak…katakan pada mereka.”
Halimah menggelengkan kepala, ia menangis sejadi-jadinya, darah di dahinya akibat hantaman keras dari warga mengucur menjadi air mata.
“SAYA SANGAT YAKIN PUTRI SAYA TIDAK MELANGGAR NORMA TUHAN!””
“BAKAR SAJA MEREKA!!””
“BAKAR!”
“TIDAK TOLONG SAYA MOHON..!” Wajah Dasinun memelas ia memohon pengampunan untuk putrinya.
“AHH..!” Bongkahan batu terbang ke arahnya, ia melindungi putrinya, “TIDAAK SAYA MOHON JANGAN..!”” Halimah berteriak, semangatnya mendadak bangkit ia melihat wajah ibunya yang sudah dilumuri darah, ia menangis terisak-isak, semua warga yang mengepungnya melempari mereka dengan batu.
“BERHENTII!!!”” Dua laki-laki itu datang, Dwi juga Sur mereka masih sangat muda, namun dengan sekuat tenaga mereka melawan warga yang berusaha menyakiti ibu dan kakak perempuannya, “HENTIKAN!” teriak mereka, warga melakukan perlawanan begitupun mereka, suasana menjadi semakin mengerikan saat seseorang berteriak
“BAKAR RUMAH MEREKA, BAKAR TEMPAT YANG SUDAH DIJADIKAN SARANG DOSA!” BAKAAAAR!” teriak mereka, dan beberapa dari mereka melemparkan obor ke arah rumah Halimah,
“TIDAAAK..” Halimah menjerit.. Mereka tak berdaya, mereka terdiam saat melihat rumahnya habis dilahap api, kenangan akan Ayahnya dilahap abis oleh api entah kemalangan apa ini, Halimah menangis sesegukan, Dasinun memeluk ketiga anaknya seraya menangis menguatkan mereka, warga meninggalkan mereka dalam kondisi yang mengenaskan.
Senjapun datang, perlahan Matahari meninggalkan sarangnya, kegelapan mulai menyelimuti mereka, mereka berteduh direruntuhan rumah yang separuhnya sudah habis terbakar.
Halimah masih menangis meratapi nasibnya, tak lama Dasinun ambruk, pandangannya gelap, ia tak bisa melihat apapun ia pingsan, ada pembengkakkan di perut Dasinun akibat benturan batu yang menghujam mereka.
“Kakak Buee!” teriak kedua adiknya. Halimah menghampiri wanita yang tak berdaya itu, “Buee bangun bue.. Bueee..!”
Halimah dan Sur berlari keluar mereka meminta pertolongan pada setiap warga mereka pergi kedua arah yang berbeda, mereka mengetuk setiap pintu untuk meminta bantuan, “Tolong bantu saya..ibu saya sekarat.. Tolong..!” tak satupun diantara mereka yang membukakan pintu untuknya, tolong bantu saya..
“TOLOONG..!” Ia menjerit di heningnya malam.
Seketika kemurkaan menyelimuti Desa tempat mereka tinggal, tiada pertolongan yang ia dapatkan setelah segala upaya ia cari.
Dari jauh Sur kembali kearah rumahnya, dengan keadaan lesu tak berdaya adiknya itu tak mendapatkan satu bantuan sedikitpun.
Halimah tak patah arang, ia teringat cerita warga desa tentang Gedong tua, rumah angker yang setiap pagi ia lewati, menurut mereka penghuni gedong tua hanya keluar saat malam tiba.
Hari itu sudah malam, kekhawatiran akan Bue nya memberikan semangat pada setiap langkahnya, Halimah terus berjalan memupuk keberanian sedikit demi sedikit menuju ke Gedong tua, ia berharap instingnya benar bahwa penghuni Gedong tua adalah seorang manusia, bukan jin/setan atau jelmaan jin seperti apa yang dikatakan warga desa.
Halimah tiba didepan gerbang rumah yang ia sebut Gedong tua, penampakannya sungguh angker persis 8 meter dibelakangnya adalah jurang kecil perbukitan yang akan membawanya ke desanya jika ia terjun kebawah, Lorong jalan itu tak bercahaya, hanya cahaya rembulan yang tertutup awan malam, jantung Halimah berdetak semakin cepat,biasanya disiang hari gerbang ini tertutup rapat dan terkunci, ia mencoba
“Bismillah.La Haula walaa quwwata Illa Billah"” ucap Halimah, dan benar gerbang itu tak terkunci dan bisa ia buka dengan mudah.
“Ngeeek..!” Suara gerbang sangat nyaring besi pada setiap sudutnya sudah sangat tua dan berkarat, pantas saja warga desa tau kapan Penghuni tempat ini keluar.
Ia masuk dengan perlahan, sekujur tubuhnya berkeringat, air matanya terus mengalir bibirnya terus mengucap Asma Allah dan berdzikir, setiap langkahnya menimbulkan suara dedaunan kering yang ia injak, tak ada cahaya lampu disekitar, tiba-tiba sekelebat cahaya melintas dihadapannya, ia memberanikan diri menatap ruangan di lantai dua itu awalnya menyala, tiba-tiba saja redup, ia yakin cahaya itu bersumber dari sana.
Ia terus melangkahkan kakinya, jarak pintu gerbang dengan muka rumah sekitar 20 meter jauhnya, Lafaz dzikir terus ia bacakan di bibirnya, raja istighfar, shalawat nabi, dan lainnya ia membaca semampu yang ia bisa.
Tiba-tiba “Non..!” Suara laki-laki tua terdengar dari arah belakang, terdengar jelas ditelinga kanan.
Halimah berhenti ia memejamkan mata saking takutnya, tubuhnya mengigil ketakutan.
“Mau kemana Non?” suara itu makin jelas, dan tak lama ia memegang pundak Halimah. Halimah menjerit ketakutan .
“Haaaaaaa, Astagfirullah..Alhamdulillah.” Ia adalah seorang Bapak berusia kurang lebih 50 tahunan,
“Non mau apa ketempat ini? Tempat ini ngga berpenghuni non.” Jelasnya pada Halimah.
“Saya mau minta tolong pak, ibu saya sedang sekarat dibawah saya mau minta tolong selamatkan ibu saya.”
“Huh” Bapak ini menarik nafas, tidak ada siapa-siapa disini non, non lebih baik pulang saja" kecewa Halimah kembali, bapak itu mengantarnya hingga gerbang dan tak lama.
“Min...Darmin!” Suara wanita yang sebaya dengannya memanggilnya dari jauh, ia berlari ke arah Halimah dan Bapak tua yang baru ia tahu namanya dengan Darmin. Wanita itu membisikkan sesuatu ditelinga Darmin.
“Oh yo wis” Ucap Darmin.
“Non ayo ikut saya.” Ajak wanita itu. Seketika hati Halimah merasa lega, ia merasa seperti mendapat secercah harapan.
“Monggo masuk Non.”
“Nggih mbok.”
“Non tunggu disini saja, maaf ya Non tak ada lampu dirumah ini.”
Wanita yang ia sapa mbok itu pergi, lalu ia kembali lagi dengan membawa dua buah lilin kemudian ia pasangkan didekat Halimah.
Halimah duduk diatas lantai yang terbuat dari kayu, beberapa lukisan juga pajangan keramik bisa ia lihat setelah lilin itu dinyalakan, sejenak hatinya merasa lega, namun setelah si mbok pergi meninggalkannya sendiri, Jantungnya kembali berderu, berdetak cepat seperti ingin keluar dari tempatnya.
“Ada perlu apa kamu kesini?” Tanya seorang laki-laki yang ia tak tau dari mana arahnya.
Halimah terperangah ia bingung menjawab, ia tak tahu dengan siapa ia bicara saat ini, tak ada wajah yang bisa ia lihat hanya suara, suara yang begitu tebal dan jelas.
“KAMU TULI!” Lanjutnya kesal, Halimah belum menjawab pertanyaannya.
“Maafkan saya..saya mohon maaf jika kedatangan saya menganggu, saya membutuhkan bantuan anda saat ini, ibu saya sedang sekarat tidak ada satupun yang mau membantu saya, saya mohon, mohon dengan sangat.”
Halimah memohon seraya menangis, tangisannya pecah badannya menunduk memohon.
Laki-laki itu terdiam, “Pak Darmin!” Ia berteriak memanggil bapak tua yang baru saja ia tahu namanya.
“Iya den.” Darmin berlari dan menghampirnya.
“Bantu dia” jawabnya dan tak lama suara itupun menghilang.
“Nggih den.”
“Terimakasih, terimakasih, terimakasih.” Halimah terisak.
Tak lama kemudian Darmin mengeluarkan sebuah mobil jeep dari garasi belakang, benar apa yang ia pikirkan didalam rumah ini ada kehidupan, Halimah dan Darmin pun beranjak pergi, dan melaju menuju Desanya tempat dimana ibunya sekarat dan kedua adiknya gelisah menunggu kedatangannya.
Darmin membawa mobil dengan sangat cepat, tak lama Dasinun juga kedua adiknya berangkat bersama dengannya ke Rumah Sakit.
Dasinun selamat, pertolongan untuknya tidak terlambat Halimah datang sebelum pendarahannya semakin menjadi, Dasinun di rawat di UGD Rumah Sakit Sayidiman, Halimah bersyukur setidaknya malam ini ia dan keluarganya bisa selamat dari amukan massa yang tak mengenal arti fitnah, ia sangat menyayangkan mereka yang rajin bershalawat, mereka yang rajin pergi ke surau, mereka yang memiliki putri, mereka yang memiliki istri bisa menjadi teramat keji hanya karena sebuah tuduhan yang tidak bedasar yang dituduhkan untuknya, hari ini ia diselamatkan Allah, namun ia yakin suatu saat Allah akan membalas perbuatan mereka dengan siksaan yang lebih keji dari apa yang telah ia dapatkan hari ini.
#bersambung
Belum ada tanggapan untuk "Cerpen: Menikah Dengan Syetan Part 3"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.