#Masih Adakah Surga Untukku
#Laila
#Episode_10
Laila terbangun sebelum azan subuh berkumandang. Laila bangkit dan sedikit kaget melihat gaya berpakaiannya. Handuk yang semalam melilit pinggangnya terlepas, tinggallah kemeja putih Tama yang hanya menutupi tubuhnya sampai paha. Untung ia masih berada di dalam selimut tebal Tama.
Laila berjingkat agar tak menimbulkan suara. Dibukanya lemari pakaian Tama pelan-pelan. Lalu dicarinya sarung Tama yang kemarin malam dilihatnya di antara lipatan handuk dan baju tidur. Alhamdulillah, Laila mengucap syukur dalam hati begitu menemukan sarung motif kotak-kotak Tama yang berwarna maroon.
Bergegas Laila mengenakannya. Lalu Laila pun masuk kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus berwudhu. Badannya terasa segar ketika air wudhu membasuh sebagian anggota tubuhnya. Tak butuh waktu lama, Laila pun ke luar dari kamar mandi. Ia menuju ruangan sebelah, dan dilihatnya Tama masih bergelung di atas sofa bed dwi fungsi itu.
Laila mensejajarkan tubuhnya dengan Tama. Seperti pesan Tama kemarin pagi, agar membangunkan laki-laki ini ketika subuh. Laila pun bermaksud untuk membangunkan Tama. Tapi tiba-tiba Laila menjadi ragu. Tangannya yang sudah terangkat untuk menepuk pundak Tama, menggantung di udara.
Mata Laila malah asyik memperhatikan wajah laki-laki di hadapannya ini. Tidurnya terlihat begitu damai. Wajahnya bersih dengan alis tebal dan hidung mancung. Tampan. Satu kata itu yang mampu dikatakan Laila pada suaminya ini. Tiba-tiba Laila ingin menyentuh wajah di hadapannya ini. Tangan Laila kembali terangkat.
"Laila?" mata Tama terbuka lalu mengerjap memandang wajah cantik di hadapannya, yang berjarak begitu dekat dengannya.
"Eh, iya Da. Uda sudah bangun? Sebentar lagi azan subuh Da." Laila tergagap. Wajah cantiknya bersemu merah. Tama tergoda melihatnya. Tapi Laila telah buru-buru berdiri.
"Laila." langkah Laila terhenti ketika tangan Tama meraih jemari tangannya. Dada Laila berdegub kencang. Laila ingin berbalik, tapi ia takut melihat Tama. Takut hatinya tak dapat menahan diri untuk tidak tergoda dan terpesona.
"Makasih, ya." ucap Tama seraya bangkit. Laila mengangguk. Duh, Tuhan kenapa bisa jadi kelu begini ya? Laila merutuki dirinya sendiri.
"Kamu lucu kayak gini", ujar Tama seraya melirik Laila dengan senyum tertahan. Berkemeja dan berkain sarung.
"Kayak orang mau sunatan," Tama pun akhirnya tak dapat menahan tawanya melihat gaya berpakaian Laila. Laila mengempaskan pegangan tangan Tama. Hatinya kesal sekali melihat Tama menertawakan penderitaannya.
Tama masuk ke kamar mandi masih dengan tawa menggodanya. Laila memilih duduk di pinggir tempat tidur. Sesaat kemudian terdengarlah suara azan berkumandang. Laila bingung mau turun ke bawah. Mukenanya ada di ruang sholat. Tadi sewaktu sholat tahajud, ia lupa membawa mukenanya sekalian. Kalau tadi belum ada penghuni rumah yang bangun. Tapi sekarang, tentu mak eteknya Tama juga udah bangun.
"Ayo, turun. Sholat di bawah." ajak Tama begitu ke luar dari kamar mandi.
"Da, Laila bisa minta tolong ga?" Laila menatap Tama ragu.
"Apa?"
"Bisa tolong ambilkan mukena Laila di ruang sholat? Laila lupa bawanya ke atas."
"Oh, itu di bagian bawah pakaian yang di hanger ada mukena baru. Kamu ambil aja." Tama lalu merapikan rambutnya di depan kaca besar di samping tempat tidurnya.
Laila buru-buru mencari mukena yang dimaksud Tama. Alhamdulillah, hatinya senang begitu menemukan mukena tersebut. Laila membukanya dan membentangkan mukena berwarna biru lembut itu di depan tubuhnya. Motif bordirannya terlihat begitu manis.
"Ini mukena siapa, Da?" tanya Laila yang tiba-tiba merasa heran. Kok tiba-tiba ada mukena di lemari Tama.
"Oh, itu mukena yang dikirim dari Bukit Tinggi kemarin. Yang lainnya sudah dibagikan ke mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla sama Pak Udin. Sengaja Uda sisakan satu untuk kamu."
"Aduh, makasih ya, Da. Mukenanya cantik." Laila terlihat meremas kain mukena yang dipegangnya dan menciumnya dengan sepenuh hati.
"Lebay." ujar Tama seraya berlalu dan ke luar dari kamarnya.
Ih, itu laki-laki kok ga bisa liat orang senang ya. Bukannya menjawab ucapan terima kasih orang, malah bilang lebay. Ck, menyebalkan. Mulut Laila mengerucut kesal. Akhirnya Laila pun turun ke ruang sholat.
****
Tama telah selesai berpakaian dan siap untuk berangkat. Laila terlihat masih malas-malasan di ruang teater Tama.
"Hei, ayo. Mau ambil baju ga ke toko?" Tama berdiri di pintu penghubung kedua ruangan tersebut. Memakai kemeja berwarna biru pupus dan celana jeans biru tua, Tama terlihat begitu tampan. Laila mengalihkan tatapannya dari Tama. Jangan ... jangan sampai tergoda, bisik hati Laila. Laki-laki itu belum tentu juga akan menyukainya.
"Malas ah, Da. Ga ada baju buat pergi."
"Kamu mau, aku berangkat berdua aja sama Rani?"
"Kalau Uda memang mau begitu, ya silakan aja." Laila menjawab acuh. Ih, Tama gregetan lihat perempuan di sampingnya ini. Kok ga ada ngerti-ngertinya dikasih tahu.
"Ya, udah. Tapi jangan nyesal ya, ntar kami jalan-jalan ke monas, ke mesjid Istiqlal, istana presiden, keliling Jakarta." Tama pun bangkit dan berniat untuk pergi.
"Uda, Laila ikut. Tapi Laila pake baju apa?" Laila bangkit dan menatap Tama dengan bingung.
"Coba Uda tanyain ama mba Susi ya, siapa tau ada baju kamu di ruang setrika." Tama pun ke luar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan tergesa. Segera Tama mencari mba Susi yang ternyata memang sedang berada di ruang setrika.
"Ada baju Laila sama jilbabnya di sini, Mba?" Tama setengah berbisik pada mba Susi.
"Ada, Pak. Bentar ya." mba Susi pun jongkok dan mengambilkannya di pakaian yang tersusun di keranjang.
"Ini, Pak."
"Makasih, ya." Tama menerima pakaian Laila yang telah selesai disetrika mba Susi.
"Ternyata Bapak romantis juga, ya." suara mba Susi terdengar pelan tapi Tama masih bisa mendengarnya dengan jelas. Tama hanya tersenyum dan segera berlalu meninggalkan ruang setrika.
Di ruang keluarga, terlihat Rani dan ayahnya telah duduk menunggu Tama. Tama tergesa menaiki anak tangga. sampai di dalam kamar, Tama menyerahkan pakaian yang dibawanya itu pada Laila. Laila menerimanya dengan tatapan tak percaya. Baik sekali laki-laki ini, mau melakukan hal seperti ini untuknya, bisik hati Laila.
"Makasih, ya Da."
"Ya, jangan dandan lama-lama." Tama beranjak ke ruang sebelah, memberikan kesempatan pada Laila untuk berganti pakaian.
"Gimana mau dandan juga, kosmetik orang di kasih semua ama si Rani," Laila bersungut-sungut. Tama berbalik lagi.
"Ga pake kosmetik juga udah cantik kok." ucap Tama dengan senyum menggoda. Uh, Laila tak ingin merona. Laki-laki kan begitu, suka gombal rutuk hatinya.
Tak berapa lama, Laila pun selesai berpakaian. Laila hanya memakai bedak tabur bayi yang dilihatnya di meja kerja Tama. Lalu Laila pun ke ruang sebelah, ke tempat tama duduk menunggunya.
"Udah selesai."
"Udah."
"Ayo." ajak Tama seraya bangkit. Laila mengikuti dari belakang. Mereka menuruni anak tangga berdua.
"Berangkat sekarang, Da?" tanya Rani begitu melihat Tama turun dengan Laila.
"Ya." jawab Tama pendek.
Laila menuju dapur mencari Mak Eti. Terlihat mak Eti sedang sibuk menggiling bumbu gulai.
"Mak, maaf ya. Laila ga bantu masak hari ini." Mak Eti menoleh dan tersenyum pada Laila.
"Ga pa pa. Bersenang-senanglah," ujar mak Eti tulus.
"Makasih, Mak. Laila berangkat dulu, ya." pamit Laila.
"Ya, hati-hati di jalan."
"Makasih, Mak." Laila pun berjalan menuju ruang tamu. Terlihat Tama, Rani, dan mak etek Eri telah menunggu di depan pintu masuk.
"Ga ikut sekalian, Mak?"
"Ga usah, kalian aja. Bawain aja kemeja satu untuk Mamak nanti."
"Ya, Mak. Kami berangkat dulu." pamit Tama.
"Berangkat ya, Mak." pamit Laila. Mak etek Eri mengangguk dan mengantar mereka sampai ke dekat mobil.
Tama yang telah menggenggam tangan Laila, membukakan pintu mobil untuk Laila.
"Masuklah," ujar Tama lembut. Laila menurut. Perempuan dengan jilbab warna milo itu masuk dan duduk di depan. Rani membuka pintu belakang dan segera duduk di belakang Laila.
Tama telah duduk di belakang stir. Laki-laki itu menoleh pada Laila.
"Bisa pasang sabuknya?" tanya Tama pada Laila.
"Bisa, Da." jawab Laila lalu memasang sabuknya. Mobil pun mundur dan ke luar dari halaman. terlihat pak Udin berdiri di samping gerbang pagar.
"Berangkat, Pak." pamit Tama pada pak Udin. Pak Udin tersenyum dan mengangguk. Lalu mobil Tama pun ke luar dari perumahan elit itu. Tak berapa lama, kota Jakarta pun terlihat di hadapan mereka. Gedung-gedung tinggi pencakar langit, mall-mall besar dan megah, Laila berdecak kagum dalam hati. Ini untuk pertama kali ia melihat Jakarta. Ternyata benar-benar luar bisa. Mata Laila tak berkedip menyaksikan semua kemegahan di kiri kanan jalan.
"Gini, ya kalau bawa orang kampung ke Jakarta. Sampai ga bisa ngomong lihat gedung-gedung pencakar langit," goda Tama pada Laila. Laila mendelik kesal.
"Nah, ini bundaran HI. Mau berhenti ga? Mau foto di depan air mancurnya?" goda Tama lagi.
"Iihh ..." Laila dengan kesal mencubit pinggang Tama. Kesal sekali rasanya diolok-olok Tama seperti itu, di depan Rani lagi.
"Aduh, sakit, Laila." Tama mengaduh dan langsung menangkap tangan Laila lalu mendekapnya ke dada. Laila tertegun. Dadanya berdebar tak karuan. Dicobanya menarik tangannya kuat-kuat, tapi Tama menahannya lebih kuat lagi. Laila mendelik kesal pada Tama. Tapi Tama terlihat acuh dan tetap menyetir tenang dengan sebelah tangannya.
"Jadi, Uni Laila baru kali ini juga jalan ke luar melihat Jakarta?" tanya Rani yang merasa risih melihat kemesraan dua orang di depannya ini. Ada yang terasa perih di hati Rani. Dari SMP dulu ia telah menyukai anak bakonya ini. Sampai saat ini, rasa itu tak pernah hilang. Impiannya hanya satu, bersanding dengan laki-laki di depannya ini.
"Uni Laila mana suka ke luar, Ran. Dia wanita rumahan. Wanita idamanlah untuk jadi seorang istri," ujar Tama seraya menoleh pada Laila dengan mesra. Laila menunduk, serius ataupun gombal kata-kata Tama barusan, yang jelas kata-kata iitu telah menghangatkan hati Laila. Tuhan, bolehkah aku meminta, Tama tidak sedang bersandiwara di hadapan Rani? Laila berbisik dan berdoa dalam hati. Lalu bibir indahnya tak dapat menahan senyum. Boleh kah ia merasa bahagia? Beginikah rasanya debar-debar cinta itu?
Uh, cinta? Rasanya belumlah. Laila pun akan menjaga hatinya untuk tidak mencintai laki-laki disampingnya ini, sampai ia yakin jika laki-laki ini juga mencintainya.
"Kenapa sih, senyum-senyum sendiri?" Laila tersadar dan menoleh pada Tama. Tatapan mereka bertemu.
"Minta dicium, ya?" ujar Tama dengan tatapan menggoda.
"Iiihhh, mulai lagi." Laila kembali menyubit pinggang Tama dengan kesal.
"Kok suka banget ya, nyubit suami." ujar Tama seraya balik mecubit pipi Laila gemes. Wajah Laila makin merona. Sementara wajah Rani yang menyaksikan kedekatan Tama dan Laila pun menjadi merah. Tapi merah karena sakit hati.
Tama kemudian menyetel lagu. Terdengar lagu Naaf mengalun indah.
Akhirnya ku menemukanmu
Saat hati ini mulai meragu
Ku berharap engkaulah
Jawaban segala risau hatiku
Dan biarkan diriku
Mencintaimu hingga ujung usiaku
Jika nanti kusanding dirimu
Miliki aku dengan segala kelemahanku
Dan bila nanti engkau di sampingku
Jangan pernah letih untuk mencintaiku
"Lagu untukmu." ucap Tama seraya menoleh pada Laila.
Mata Laila membulat. Ya ampun, kenapa laki-laki ini makin membuat ia sesak nafas? Laila menghirup udara sebanya-banyaknya agar paru-parunya penuh oleh oksigen.
Akhirnya mereka sampai di Mangga Dua. Tama mencari tempat parkir. Setelah memarkirkan mobilnya, Tama pun ke luar dan membukakan pintu untuk Laila. Masih menggandeng tangan Laila, Tama pun memasuki Mangga Dua Mall. Tama membawa Laila dan Rani ke lantai empat, ke toko pakaian wanita miliknya.
Sesampai di depan toko miliknya, karyawan toko Tama langsung menyambut kedatangan Tama dan Laila. Mereka semua telah mengenali Laila istri Tama lewat foto di profil WA Tama.
"Wah, Uda Tama bawa siapa ni." ujar salah seorang pegawainya.
"Ayo, kenalkan. Ini Uni Laila." Tama memperkenalkan Laila.
Para pegawai yang wanita berebutan menyalami Laila.
"Ternyata Uni Laila lebih cantik aslinya daripada di foto." celetuk salah seorang pegawai Tama lagi. Laila menyambut uluran tangan gadis-gadis berseragam di depannya dengan tersenyum ramah. Lalu dua orang karyawan laki-laki Tama juga mendekat ingin bersalaman dengan Laila. Laila hanya menangkupkan tangannya ke dada seraya tersenyum dan mengangguk. Mereka pun membalas dengan sikap yang sama.
"Dan ini Rani, anak Mamak Uda." Tama pun memperkenalkan Rani pada pegawai-pegawainya. Pegawai Tama pun bergantian menyalami Rani.
"Pilihlah mana yang kamu suka Rani." ucap Tama pada Rani. Mata Rani berbinar menatap ke sekeliling toko. Baju-baju hijaber yang modis amat memanjakan matanya.
"Temani Rani memilih baju yang disukainya ya, Tia, Nia." erintah Tama pada dua orang karyawan wanitanya.
"Baik, Da." jawab mereka serantak.
"Kamu ada yang suka?" tanya Tama pada Laila. Laila memperhatikan baju-baju yang berjejer cantik di seluruh toko. Dia merasa bingung, mau yang mana.
"Aku yang pilihin?" tanya Tama. Laila mengangguk.
"M kan?" tanya Tama lagi. Laila kembali mengangguk.
Tama lalu bicara dengan salah seorang pegawai wanitanya. Pegawainya terlihat mengangguk dan segera masuk ke dalam. Tama mengikuti dari belakang. Tapi sesaat kemudian Tama kembali ke arah Laila, ia membawa sebuah kursi untuk Laila.
"Duduklah, nanti capek," Tama melatakkan kursi itu di samping Laila. Laila pun mendudukkan pantatnya dengan suka cita.
"Tunggu bentar ya, aku ambilkan beberapa baju untukmu. Yang di sini bisa untuk hari-hari kamu. Kalau mau yang bagus, nanti kita ke butiq yang di senayan ya." ujar Tama sebelum meninggalkan Laila menuju stok pakaian mereka di belakang meja kasir. Laila kembali mengangguk.
Laila memang tak terlalu hobbi belanja. Selama ini, yang membelikan pakaian dan perlengkapannya adalah kakak-kakaknya. Tak berapa lama, Tama pun kembali dengan dua kantong besar di tangannya. Tama menyerahkan pada karyawan laki-lakinya untuk diletakkan di mobil. Berikutnya Rani juga datang dengan dua kantong besar di kiri dan kanan tangannya. Lebih besar dari kantong yang dibawa Tama tadi. Mata Laila membulat melihatnya. Apa perempuan ini mau merampok, bisik hati Laila.
"Uda, segini boleh ya?" Rani mengangkat kedua kantong di di kiri dan kanan tangannya. Tama menoleh pada Rani.
"Ya, boleh." jawab Tama santai.
"Makasih, Da." ujar Rani dengan mata berbinar bahagia.
Tama lalu memanggil pegawai-pegawainya. Mereka pun pamit. Laila menyalami kembali satu persatu pegawai-pegawai Tama.
"Nanti, main-main ke sini lagi ya, Uni Laila." ujar Tia dengan riang.
"Iya, insyaAllah. Makasih ya semuanya. Uni pamit dulu." ucap Laila ramah.
"Ya, Uni." jawab mereka serentak.
Tama membawa Laila dan Rani ke lantai tiga. Ke toko pakaian tidur. Tapi itu bukan toko Tama. Di Mangga Dua, Tama hanya memiliki toko pakaian khusus muslimah, toko pakaian laki-laki, dan toko perlengkapan haji dan umrah.
"Wah, ada pengantin baru." pemilik toko yang merupakan teman Tama menyambut kedatangan mereka.
"Kenalin, ini istri gua, Laila," ujar Tama pada temannya. Teman Tama mengulurkan tangannya pada Laila, Laila kembali menangkupkan tangannya ke dada seraya tersenyum dan mengangguk pada laki-laki di depannya. Teman Tama akhirnya melakukan hal yang sama.
"Ayo, silakan Uni, pilih mana yang Uni suka," teman Tama yang bernama Rio mempersilakan Laila.
"Oh iya, ini Rani, anak om gua." ujar Tama yang lupa memperkenalkan Rani. Rio dan Rani pun bersalaman.
"Rani boleh pilih juga kan, Da?" tanya Rani dengan mata penuh harap.
"Ya, pilih aja," ujar Tama. Pegawai Rio pun datang dan menemani Rani memilih baju tidur.
Laila hanya diam melihat-lihat baju di hadapannya. Tama heran melihat perempuan satu ini. Kok ga seperti perempuan-perempuan lainnya ya, yang bersemangat jika diajak belanja.
"Mau aku pilihin lagi," ujar Tama pada Laila.
"Ya, boleh." jawab Laila seraya mengangguk.
"Tapi jangan salahin aku ya, kalau yang aku pilih yang seksi semua," bisik Tama di telinga Laila.
What? Laila hampir terlonjak karena kaget. Ya ampun, kok laki-laki ini makin berani ya. Ga ... Laila ga mau jika Tama akan memilihkan baju tidur seperti yang dikatakannya itu. Lebih baik Laila memilih sendiri. Akhirnya Laila mengambil tiga buah baju tidur berbahan satin dengan stelan celana panjang dan blous bertangan panjang juga. Ada maroon, dongker dan broken white.
"Udah, Da." ucap Laila seraya menunjukkan pilihannya yang telah terlipat di meja kasir.
"Cuma segitu?" tanya Tama heran.
"Cukuplah Da, udah bisa tuk ganti-ganti seminggu," jawab Laila santai. Ck, Tama berdecak heran. Benar-benar perempuan aneh. Disuruh milih banyak-banyak malah cuma ngambil tiga.
Akhirnya Tama menghampiri pegawai toko Rio. Terlihat Tama dan pegawai itu ke belakang meja kasir. Laila memilih duduk di kursi yang disediakan oleh Rio. Sementara Rani terlihat masih asyik memilih-milih baju tidur untuknya. Tak berapa lama, Tama ke luar dan menenteng dua kantong besar lagi di tangannya. Tama menyerahkan kantong-kantong itu pada Laila.
"Banyak amat, Da?" Laila menatap kantong-kantong itu dengan heran.
"Ga pa pa, biar ga beli baju tidur satu tahun," jawab Tama santai. Tama baru akan menjuju meja kasir untuk membayar baju-baju tidur yang telah dipilihnya untuk Laila. Tiba-tiba Rani datang dan menunjukkan dua kantong besar di tangannya.
"Boleh segini, Da?" tanya Rani seperti tadi pada Tama. Tama kembali mengangguk.
"Ya, boleh, tarok di kasir biar dihitung sekalian," ucap Tama seraya berjalan ke meja kasir.
Di meja kasir, Rio tersenyum menggoda pada Tama.
"Sebenarnya yang istri kamu yang mana, sih?" tanya Rio dengan tawa jahat pada Tama. Tama meninju bahu Rio dengan kesal.
"Hati-hati bicaramu. Nanti istri aku dengar." ucap Tama kesal. Rio malah tertawa makin keras.
"Suami takut istri, ya." ledek Rio makin menjadi.
"Ga gua bayar baru tahu rasa lo ya." ancam Tama sadis.
"Tinggal gua pindahin aja yang di lantai atas ke sini." ujar Rio dengan santai.
Setelah selesai bertransaksi, Tama pun pamit pada Rio.
"Makasih ya, Bro. Udah borong dagangan gua." teriak Rio dengan riang begitu Tama ke luar dari tokonya. Tama hanya mengangkat jempol tangan kanannya. Sebelum turun dengan eskalator, Tama berbisik pada Laila.
"Nanti malam pakai baju tidur yang Uda pilihkan tadi ya," Laila menoleh pada Tama dan menatap Tama dengan heran. Apa maksud laki-laki di sampingnya ini? Tapi Laila merinding juga mendengar kata-kata Tama itu. Baju tidur seperti apa yang telah dimasukkan laki-laki itu ke kantong belanjaannya tadi, Laila bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tama yang menerima tatapan bingung dari Laila malah tersenyum dan mengedipkan matanya menggoda Laila. Wajah Laila pun bersemu merah.
bersambung ....
Belum ada tanggapan untuk "Masih Adakah Surga Untukku Bagian 10"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.