#Masih Adakah Surga Untukku 17
#Laila
Setelah selesai sarapan, Tama memesankan taksi online untuk Rani. Wajah Rani terlihat cemberut sejak Tama mengatakan kalau Rani naik taksi online aja ke kantor. Tapi seperti biasa, Tama adalah laki-laki yang tak bisa dibantah. Laila senyum-senyum sendiri melihat wajah Rani yang ditekuk sampai berlipat seperti jeruk purut. Laila bahagia, Tama mau menuruti kata-katanya untuk menyuruh Rani naik taksi online.
Setelah Rani berangkat dengan taksi online, Tama juga pamit pada Laila. Laila mengantarkan Tama sampai ke depan pintu. Menyalami dan mencium tangan Tama dengan takzim. Tama mengusap puncak kepala Laila lalu segera masuk ke dalam mobil.
Mobil Tama pun bergerak meninggalkan halaman dan ke luar menuju jalan perumahan. Laila beranjak masuk dan naik lagi ke lantai dua. Laila berniat merapikan kamarnya sebelum membantu mak Eti di dapur.
Sampai di kamar, mata Laila tertuju ke meja kerja Tama. Di atas meja terlihat ponsel Tama tergeletak di samping cangkir teh yang telah kosong. Laila mengambil ponsel itu dan memegangnya dengan ragu. Laila berharap semoga Tama menyadari ponselnya tertinggal dan kembali mengambilnya pulang sebelum terlalu jauh dari rumah.
Laila meletakkan ponsel Tama kembali dan mulai membersihkan dan merapikan kamar. Melipat selimut, merapikan alas kasur, dan meletakkan pakaian kotor Tama ke keranjang pakaian kotor.
Setelah merasa kamar rapi dan bersih, Laila pindah ke ruang sebelah. Kulit kacang bertebaran di atas meja di depan TV. Laila tersenyum ingat tadi malam, pura-pura sudah tertidur ketika Tama berbaring di sebelahnya. Pasilah laki-laki itu kesal sekali dan memilih pindah ke ruang nonton TV. Ternyata inilah yang dilakukannya tadi malam. Makan kacang, makan coklat dan minum soft drink yang tersedia di kulkas kecil di ruangan itu.
Tapi Laila bersikap seperti itu karena masih kesal dan marah pada Tama. Laila harus membuktikan dulu, apa laki-laki itu mau mendengarkan omongannya atau tidak. Dan melihat Tama benar-benar telah melakukan apa yang disuruh Laila, yaitu menyuruh Rani pulang naik taksi online, kekesalan Laila pun menguap. Dalam hati Laila berjanji, malam nanti akan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri.
Laila telah berjanji dalam hati, nanti malam akan memberikan hak Tama. Pipi Laila memerah membayangkan malam semua itu. Sebelumnya, Laila akan luluran, maskeran, dan creambath. Tak perlu ke salon. Laila akan melakukannya sendiri di rumah. Untuk tetap cantik bagi Laila tak perlu harus mengeluarkan uang banyak dengan pergi ke salon. Di rumah juga bisa dilakukan sendiri.
Selesai membersihkan ruang nonton, Laila berniat untuk melakukan ritual perempuannya. Semua bahan yang dibutuhkan telah dibelinya dua hari yang lalu ketika pergi belanja ke swalayan terdekat dengan Tama. Laila membeli barang-barang kebutuhan pribadinya, barang-barang kebutuhan Tama dan barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Tapi sebelum masuk ke kamar mandi, mata Laila kembali tertuju pada ponsel Tama. Ternyata suaminya itu belum juga menyadari kalau ponselnya tertinggal. Entah mengapa tiba-tiba., Laila ingin meliha-lihat isi ponsel Tama. Laila meraihnya. Ponsel Tama tidak dikunci, Laila bersorak dalam hati.
Laila melihat riwayat panggilan. Tak ada yang mencurigakan. Laila membuka aplikasi whatshapp, terlihat beberapa percakapan dari abangnya, Uda Arif dan Uda Zakaria. Isinya hanya masalah keuangan perusahaan konveksi mereka. Ada juga WA dari Rani, Laila membukanya dengan penasaran. Terlihat bebrapa kali Rani melakukan chat ke Tama. Tapi tak ada balasan dari Tama. Laila tersenyum senang. Ternyata Tama memang mengacuhkan Rani.
Lalu beberapa chat dari grup SMA dan kuliah Tama. Isinya juga biasa-biasa saja, Terlihat Tama teramat jarang ikut nimbrung dalam obrolan di grup-grup tersebut. Ya, mana sempatlah laki-laki seperti Tama melakukan hal-hal seperti itu. Laila tersenyum.
Laila sudah akan meletakkan ponsel Tama kembali, ketika matanya menangkap sebaris kalimat yang membuat kening Laila berkerut. Laila membuka percakapan yang belum sempat dibaca Tama itu. Dikirim oleh seorang bernama Andi. Siapakah Andi? Temannya kah?
Mata Laila terpaku pada kalimat-kalimat di dalam layar. Kerongkongan Laila tercekat. Tubuhnya terasa begitu lemas. Dunia tiba-tiba terasa gelap.Laila terduduk di kursi kerja Tama. Dan bulir-bulir bening itu mengalir deras membasahi kedua pipinya.
Tuhan, sakit ... sakit ... sekali. Laila terisak dan memegangi dadanya. Lalu apa arti sikap Tama selama ini? Jika semua itu hanya kepura-puraan, betapa pintarnya laki-laki itu bersandiwara. Laila terisak. Pesan dari laki-laki yang bernama Andi, yang belum sempat dibaca oleh Tama, benar-benar telah mencabik-cabik hati dan perasaan Laila.
Kenapa Tama tega melakukannya? Apakah ini memang hukuman yang pantas untuk kesalahan yang pernah diperbuatnya? Laila meremas dadanya. Tidak ... tidak ... mungkin, Laila menggeleng berulang kali. Sikap laki-laki itu terlalu manis. Terlalu indah. Tak mungkin itu hanya pura-pura. Semuanya seperti benar-benar nyata. Tapi isi WA dari laki-laki bernama Andi itu berkata lain.
Dengan tangan bergetar, Laila meletakkan ponsel Tama kembali. Tubuhnya yang mendadak terasa begitu lemah bangkit dan menuju lemari pakaian. Laila mengeluarkan beberapa pakaiannya dan mengambil kopernya yang terletak di sudut kamar. Dengan tergesa, Laila memasukkan beberapa potong pakaianya ke dalam koper.
Dengan mata yang mengabur karena air mata, Laila mengambil tas selempangnya. Dikeluarkannya ATM pemberian Tama dan diletakkannya di samping ponsel Tama. Lalu Laila mengambil secarik kertas dan pena. Laila menuliskan sesuatu di sana, melipatnya, kemudian meletakkan di bawah ATM.
Masih dengan pikiran yang belum normal, Laila mengambil ponsel lamanya dan menghidupkannya kembali. Laila bersyukur, ponsel itu masih bisa menyala. Laila mencari aplikasi traveloka. Lalu mulai mencari tiket ke Padang. Ia akan pulang. Bukan kabur, tapi hanya membantu Tama untuk mewujudkan rencana dan niatnya pada Laila.
Laila mendapatkan tiket untuk beberapa jam ke depan. Laila memesanya masih dengan isak tangis yang terdengar pilu. Bahunya naik turun menahan sesak di dalam hatinya. Dan Laila bersyukur, beberapa hari yang lalu ada yang mentransfer uang terjemahannya. Uang itu bisa digunakannya untuk membeli tiket.
Setelah mendapatkan tiket, Laila segera memesan taksi online untuk ke bandara. Waktu pembayaran traveloka masih terhitung satu jam dari sekarang. Laila akan minta supir taksi nanti untuk mencari ATM BNI dulu sebelum ke bandara.
Laila berganti pakaian dengan gamis lamanya yang ternyata tidak dibawa semua oleh Rani. Lalu Laila masuk ke kamar mandi mencuci wajahnya yang sudah terlihat tak karuan. Laila ke luar dari kamar mandi dengan tubuh yang terasa sedikit segar. Diraihnya tas selempangnya dan ditariknya kopernya ke luar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan kamar itu, Laila kembali memandang seluruh isi kamar. Dan tangisnya yang tadi telah berhenti kembali terdengar. Laila terisak, dan tubuhnya luruh ke bawah.
Tuhan ... kenapa begini rasanya? Kenapa begitu sakit? Kenapa ia harus mengetahui kenyataan ini di saat ia telah ingin memasuki pernikahan mereka dengan hati terbuka. Di saat hatinya mulai menyayangi suaminya itu. Apakah ini hukuman untuknya? Untuk kesalahan yang pernah dilakukannya.
Kamar ini, meski belum berapa lama ia menghuninya, tapi telah banyak kenangannya di hati Laila. Mengantarkan teh setiap pagi untuk Tama, menyiapkan pakaiannya, merapikan kamar, duduk berdua di ruang nonton TV, memeluk Tama. Laila menutup mulutnya lalu bangkit dengan tertatih.
Dituruninya anak tangga satu persatu. Mak Eti yang mendengar suara tas ditarik, menoleh dan mendekat ke arah tangga. Mak Eti kaget melihat Laila yang bersimbah air mata mengangkat kopernya dan menuruni anak tangga satu persatu.
"Laila?" Mak Eti menatap Laila heran. Laila mempercepat langkahnya dan sampai di depan Mak Eti. Laila memeluk Mak Eti erat.
"Ada, apa, Nak?"
"Dia tidak pernah benar-benar menerima Laila, Mak. Dia hanya ingim membalaskan dendamnya pada Laila." Suara Laila parau di antara isak tangisnya.
"Tidak, Nak. Itu tidak mungkin."
"Laila baca sendiri, Mak. Dan jika itu yang diniatkannya, Tama telah berhasil Mak. Laila telah merasakan rasa sakit itu." Laila lalu melepaskan pelukannya. Diusapnya pipinya yang basah dengan kasar.
"Laila pulang, Mak. Tempat Laila buka di sini." Laila mengambil kopernya dan menuju pintu depan.
"Jangan, Nak. Jangan seperti ini. Laila tidak boleh begini. Tidak boleh meninggalkan rumah tanpa izin dari suaminu, Nak." Mak Eti menahan koper Laila.
"Tapi inilah yang diinginkan Tama, Mak. Tama bersikap baik hanya untuk membalaskan dendamnya pada Laila." Laila mencoba melepaskan tangan Mak Eti. Mendengar suara ribut-ribut, Mba Susi datang menghampiri mereka. Mba Susi terpana melihat apa yang ada di depannya. Meski tak benar-benar mengerti, tapi Mba Susi bisa membaca apa yang sedang terjadi.
"Biarkan Laila pergi, Mak." Laila menatap Mak Eti dengan memohon. Mak Eti melepaskan tangannya dari koper Laila. Laila pun bergegas menuju pintu depan. Mak Eti dan Mba Susi mengikuti dari belakang. Mereka berdua juga tak dapat menahan tangisnya. Mereka tak bisa berbuat apa-apa.
"Ada yang pesan taksi, Mak Eti?" tiba-tiba Pak Udin telah berdiri di ambang pintu.
"Saya, Pak," jawab Laila lemah.
"Nak Laila mau ke mana?" Pak Udin menatap Laila dengan heran.
"Saya mau ke bandara, Pak. Tolong bawain koper saya ke mobil, Pak," pinta Laila. Meski ragu, tapi Pak Udin menuruti juga ucapan Laila.
Laila berbalik dan kembali memeluk Mak Eti.
"Maafkan kesalahan Laila selama di sini, Mak."
"Tidak, Nak. Laila tak pernah punya salah apa-apa pada Mak Eti." Mak Eti memeluk Laila dengan air mata berderai. Lalu Laila berganti memeluk Mba Susi.
"Maafkan salah saya, Mba." Mata Laila kembali mengabur karena air mata. Begitu juga dengan Mba Susi. Perempuan itu terisak.
"Mba yang harus minta maaf sama Uni Laila. Selama Uni Laila di sini, Mba sering seklai mengganggu Uni."
"Tidak apa Mba. Malah Laila senang, merasa punya teman dan saudara di sini." Laila berkata seraya menghapus air matanya.
"Laila pamit, Mak, Mba." Laila pun berjalan ke luar menuju mobil grab yang telah menunggu. Ia naik dan tak memandang lagi pada Mak Eti dan Mba Susi. Tak berapa lama, taksi online itu pun meninggalkan halaman rumah, ke luar dari jalan perumahan, dan membelah keramaian Jakarta.
Di dalam mobil, Laila kembali menangis. Tapi kemudian Laila beristighfar. Jika memang ini adalah hukuman untuknya, ia harus iklas menerimanya. Sementara Mak Eti dan Mba Susi juga masih menangis. Mereka seperti kehilangan gairah untuk bekerja.
"Telpon Nak Tama sekarang!" Tiba-tiba Pak Udin menyadarkan mereka berdua. Mak Eti bergegas ke kamarnya mengambil ponselnya. Lalu dengan tergesa menekan nama Tama. Tapi sekian lama, tak ada jawaban. Mak Eti mengulangnya beberapa kali. Tetap sama, masih tidak diangkat. Akhirnya Mak Eti, Mba Susi dan Pak Udin hanya bisa pasrah.
*****
Sebelum magrib, Tama sampai di rumah. Memasuki rumah dengan hati riang, membayangkan istri tercinta telah menunggu kedatangannya. Tama tersenyum-senyum sendiri. Semoga malam ini ia beruntung, doanya dalam hati.
Tapi sampai di ruang tamu, Tama tak mendapati Laila. Mak Eti dan Anita juga tidak terlihat. Ah mungkin di atas, pikir Tama. Tama bergegas menaiki tangga menuju kamarnya. Sampai di kamar, Tama mengedarkan pandangannya. Tak ditemukannya Laila. Tama menuju ruang sebelah. Kosong. Tama balik ke kamarnya, berniat untuk turun.
Tapi matanya menangkap sesuatu di meja kerjanya. Ponselnya yang tertinggal. Tama tersenyum, sampai tak menyadari ponsel tertinggal karena hati yang sedang berbunga-bunga tadi pagi melihat sikap dan senyum manis istrinya melepas kepergiannya. Udah hampir sampai ke tokonya, Tama baru sadar kalau ponselnya tertinggal.
Dan jalanan Jakarta menjadi alasannya untuk tidak balik pulang mengambil ponselnya kembali. Tapi di samping ponselnya terlihat ATM dan secarik kertas, lalu ponsel Laila juga. Kening Tama berkerut. Kenapa ATM yang telah diberikannya pada istrinya itu berada di sini? Ada apa gerangan?
Tergesa Tama membuka lipatan kertas yang diletakkan di bawah ATM. Tama membacanya dan beberapa detik kemudian, Tama terduduk di kursi kerjanya dengan tubuh gemetar.
Ya Tuhan, ada apalagi ini? Tama berteriak dalam hati. Baru saja ia merasa akan menjalani pernikahan yang bahagia, baru saja hatinya terbuka menerima Laila, baru saja rasa cinta dan sayang itu muncul sedikit demi sedikit memenuhi rongga dadanya, kenapa sekarang direnggut lagi.
Tama meraih ponselnya dan mencari penyebab Laila menulis surat seperti itu untuknya. Dengan mata nyalang, Tama memperhatikan satu persatu pesan yang masuk ke Whatshappnya. Dan dada Tama berdegup kencang begitu melihat pesan dari Andi, teman nongkrongnya.
Dulu Tama memang sering ngumpul di kafe dengan teman-temannya sesama pemilik toko di Mangga Dua dan juga Tanah Abang. Tapi sejak Laila berada di rumah ini, Tama memang sudah tidak pernah lagi kumpul-kumpul dengan Andi dan teman-teman yang lainnya.
Tama meremas rambutnya dengan kasar. Kepalanya terasa berputar-putar. Tama ingat, begitu balik ke Jakarta setelah menikah dan Laila kabur, Tama memang pernah maracau pada Andi, bahwa perempuan yang telah mempermalukannya itu harus menerima hal yang sama suatu hari kelak. Perempuan itu juga harus merasakan sakit hati, kecewa, dan rasa malu sepeti yang telah Tama rasakan.
Tapi Tama mengatakan semua itu dalam keadaan setengah sadar. Malam itu, kali pertama Tama menyentuh minuman keras dan setengah mabuk. Tama minum karena ingin melupakan perempuan yang telah dinikahinya kabur meninggalkannya di malam pertama mereka.
Dan pesan Andi menanyakan, apakah Tama telah berhasil membuat istrinya itu merasakan hal yang sama seperti yang pernah dirasakannya? Ya Tuhan, kenapa juga Andi menanyakan hal itu. Dan kenapa juga ponselnya tertinggal hari ini. Sial, benar-benar sial. Tama merutuk dalam hati.
Tama turun ke bawah dan mencari Mak Eti. Mak Eti sedang di dapur memanaskan makanan.
"Mak, Laila bilang apa tadi?" Suara Tama terdengar parau. Mak Eti menoleh dan menatap Tama dengan wajah sendu.
"Laila cuma bilang ingin pulang dulu ke Padang. Katanya dia rindu dengan Bundonya." Mak Eti mencoba mencari kalimat yang tepat.
"Hanya itu, Mak?" Tama menatap Mak Eti dengan mata mulai berkaca.
"Iya, cuma itu." Mak Eti mengangguk dan menunduk. Sungguh perempuan dengan rambut yang mulai memutih itu tak sanggup melihat wajah kecewa Tama.
"Tapi, Laila akan kembali kan, Mak?" Kali ini Tama tak dapat menahan air matanya. Bahunya naik turun menahan isak tangis. Untuk pertama kali dalam hidupnya laki-laki ini menangis. Ketika dulu Laila kabur meninggalkannya, Tama hanya merasakan kecewa dan sakit hati. Dan itu tak sampai membuatnya mengeluarkan air mata.
"Iya, Nak. Laila pasti kembali." Mak Eti mengangguk dan air matanya kembali turun.
"Iya, Mak. Laila dulu juga pernah pergi, tapi akhirnya dia kembali lagi. Sekarang dia pergi, dia pasti akan pulang kembali. Ini rumahnya. Ini tempat ia kembali." Tama mencoba tersenyum pada Mak Eti. Mak eti mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lalu Tama berbalik dan kembali ke kamarnya. Tinggallah Mak Eti yang berdiri mematung dengan pipi basah bersimbah air mata.
****
Setelah salat magrib di kamar, Tama duduk di atas kasur. Terbayang Laila yang sedang membersihkan kamar, terbayang Laila yang tidur berselimut sampai ke ujung kepalanya, terbayang Laila yang setiap pagi masuk kamar mengantarkan teh hangat untuknya. Terbayang Laila yang sedang berputar di depan kaca memakai gamis barunya.
Tama mengusap wajahnya dengan kasar. Tubuhnya serasa tak bertenaga. Semangat hidupnya menguap dengan kepergian Laila. Terdengar ketukan di pintu kamar.
"Ya, Mak. Masuk, Mak." Pintu dibuka dari luar. Terlihat Mak Eti berdiri di depan pintu.
"Makan dulu, Nak Tama."
"Nanti aja, Mak. Tama belum lapar."
"Mau Mak bawakan makanannya ke atas?"
"Nggak usah, Mak. Nanti Tama turun sendiri ke bawah kalau sudah lapar. Mak tidur aja." Tama berdiri dan melangkah menuju ruang sebelah. Mak Eti mengangguk dan kembali menutup pintu kamar.
Tama duduk di sofa dengan pikiran kosong. Kali ini ia yang salah. Tentulah Laila teramat terluka membaca WA dari Andi. Wajar jika Laila salah sangka padanya. Menganggap Tama pura-pura baik, hubungan mereka menjadi dekat, lalu Tama pergi meninggalkan Laila setelah mendapatkan hati dan cinta Laila.
Tapi sungguh, Tama tidak akan sejahat itu. Meski sakit hati pada Andi, tapi Tama tak hendak memarahi sahabatnya itu. Tama lah yang bersalah pernah keceplosan bicara seperti itu pada Andi.
Baru kemarin Ia memeluk istrinya itu di sini, di sofa ini. Baru kemarin ia mencium bibir istrinya dengan lembut. Baru kemarin ia menggoda Laila dan perempuan itu tersipu dengan pipi bersemu merah.
Tama mengambil ponselnya dan menekan nomor mertuanya. Beberapa detik terdengar sahutan di seberang sana.
"Assalammualaikum, Yah."
"Waalaikumsalam."
"Apa Laila pulang ke sini, Yah?"
Ya, dia sampai siang tadi."
"Apa Tama bisa bicara dengan Laila, Yah."
"Untuk apa lagi Nak Tama. Jika memang ingin melepaskan Laila, lepaskanlah. Kami sudah iklas. Toh Laila memang pernah berbuat salah pada Nak Tama. Mungkin kesalahan Laila tak termaafkan. Bapak bisa mengerti."
"Tapi, ini hanya salah paham, Ayah." suara tama memohon pada ayah mertuanya itu.
"Beri saya kesempatan bicara dengan Laila, Yah."
"Tapi Laila sudah tidur." Suara ayah mertuanya terdengar dingin.
Tama menelan ludahnya yang terasa begitu pahit. Mertuanya ternyata juga marah, benar-benar marah malahan. Sampai menyebut dirinya dengan bapak, padahal dulu mertuanya itu yang meminta Tama memanggilnya Ayah.
"Baiklah, Yah. Besok Tama telpon lagi, Ya." Suara Tama sekarang benar-benar terdengar lemah.
"Assalammualaikum, Yah."
"Waalaikumsalam." Lalu sambungan telpon ditutup.
Tama menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Tuhan, apa yang harus dilakukannya? Apa ia harus menyusul istrinya itu ke Padang. Tapi kalau Laila tak mau memaafkannya, tak mempercayai apa yang akan disampaikannya? Hati Tama benar-benar gusar. Semenntara wajah cantik istrinya menari-nari di matanya.
Belum ada tanggapan untuk "Masih Adakah Surga Untukku Episode 17"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.