#Masih Adakah Surga Untukku 16
#Laila
Tama sedang memakai kemejanya ketika Laila masuk membawa secangkir teh panas untuk Tama. Memakai baju tidur selutut warna maron, berbahan katun dengan lengan pendek, membuat Laila tampak begitu cantik dan mempesona. Lagi-lagi Tama terpana menatap perempuan yang membawa yang masuk membawakan teh untuknya itu. Laila meletakkan teh panas itu di atas meja kerja Tama dan pura-pura tidak tahu dengan tatapan tak berkedip Tama padanya.
"Ini, tehnya. Da," Laila melirik Tama sekilas.
"Ya, makasih, ya." Tama mengangguk dan tersenyum pada Laila.
"Nanti barang-barangnya dipindahin lagi ke atas, ya." Pesan Tama.
"Boleh, nggak Da, kalau baju-baju Laila tetap di kamar tamu?" Laila menunduk dan meremas jemari tangannya. Alis Tama bertaut. Ada apalagi dengan perempuan ini, pikirnya heran.
"Kenapa memangnya?" Tama menatap Laila mencari jawaban.
"Laila malu sama Mba Susi dan Mak Eti, Da." Suara Laila terdengar lirih. Tama terbahak. Ternyata itu yang dipikirkan istrinya ini.
"Ya, salah siapa. Main kabur aja," ucap Tama santai.
"Pokoknya pulang Uda kerja, semua baju kamu udah masuk ke dalam lemari ini." Suara Tama terdengar begitu tegas. Sepertinya tak bisa dibantah.
"Ya, Da." Laila mengangguk pasrah. Tama tersenyum. Senang melihat perempuan di depannya bersikap patuh padanya. Laila pun berbalik dan menuju pintu.
"Eh, mau ke mana?" Tama menghentikan langkah laila. Laila kembali berbalik dan menatap Tama.
"Mau ke bawah, Da. Mau menyiapkan sarapan."
"Bawain teh Uda sekalian. Uda mau minum di bawah aja." Tama menunjuk cangkir tehnya dengan dagu. Ya Tuhan, baru juga diantar, masa disuruh bawa lagi turun.
Tapi Laila tak membantah. Laila berjalan kembali ke meja kerja Tama dan mengambil cangkir teh tersebut. Tama tersenyum senang. Hatinya mendendangkan nyanyian, begini indah ternyata memiliki istri. Dilayani dengan sepenuh hati. Tama mengikuti Laila turun ke bawah.
"Uda mau duduk di mana?" Tanya Laila begitu sampai di bawah.
"Di meja makan aja, biar bisa lihat kamu masak." Tama memandang Laila dengan tatapan mata menggoda. Wajah Laila bersemu merah.
"Pagi-pagi udah merayu." Bibir Laila mencebik.
"Siapa lagi yang akan merayu kamu kalau nggak Uda." Tama mengedipkan matanya pada Laila. Laila hanya melengos dengan hati berdebar tak karuan. Begini saja rasanya udah nggak karuan-karuan.
Laila meletakkan cangkir teh di atas meja makan. Tiba-tiba Laila mendengar suara ponselnya berbunyi. Laila bergegas menuju meja TV, ponselnya sedang di cas di sana. Laila mencabut charger ponselnya dengan tergesa begitu melihat nama ayahnya tertera di layar ponsel.
Tapi karena terlalu buru-buru, ponselnya jatuh ke lantai dan berderai.
"Ya Allah." Laila menyebut nama Allah karena kaget melihat ponselnya telah sudah tak berbentuk lagi. Buru-buru dikumpulkannya kembali ponsel, baterai dan penutup baterai. Susah payah Laila melekatkan kembali penutup baterai ponselnya dengan bantuan selotip.
"Kenapa?" tiba-tiba Tama telah berdiri di hadapan Laila.
"Astaghfirullah, Da. Bikin kaget aja." Laila pun menyembunyikan ponselnya ke belakang punggungnya.
"Kenapa disembunyikan? Ada yang rahasia?" tanya Tama menyelidik. Laila menggeleng dan menggigit bibir bawahnya.
"Sini, Uda mau lihat." Tama mengulurkan tangannya. Lagi-lagi Laila menggeleng. Tama menjadi heran.
"Kenapa, sih? Pasti nih kamu sedang menyembunyikan sesuatu." Tama pun semakin mendekat. Laila mundur selangkah.
"Sini!" Tama mulai mencoba menjangkau ke belakang punggung Laila. Karena Laila menolak terus untuk memberikan ponselnya, Tama sampai memeluk Laila dan merebut ponsel Laila dengan paksa.
Tama melihat ponsel di tangannya, lalu menatap Laila .
"Ini ponsel kamu?" tanya Tama heran.
"Iya, Da." Laila mengangguk seraya meringis menahan malu.
"Kenapa pake selotip segala?" suara Tama bergetar.
"Hihihi, baterainya gembung, Da." Laila mencoba tertawa menyembunyikan rasa malunya.
Hati Tama terasa basah. Sekian lama istrinya ini tinggal di sini, ia tak tahu jika ponsel istrinya sudah tak berbentuk seperti ini. Tama merasa berdosa. Tama lalu mengantongi ponsel istrinya.
"Siapa tadi yang telphon?"
"Ayah, Da." Laila mencoba tersenyum.
"Ini telphon lagi Ayah, ya." Tama pun mengulurkan ponselnya pada Laila. Laila menerimanya dengan hati gembira. Lalu buru-buru ia menekan nomor ayahnya. Tak berapa lama Laila terlihat asyik bicara dengan ayah dan bundonyo. Alhamdulillah bundonya telah bisa bicara dengan sedikit lancar. Laila senang bisa mendengar suara bundonya kembali.
Setelah puas melepas rindu dengan ayah dan bundonya, laila pun menyerahkan ponsel Tama kembali.
"Makasih, ya, Da." Laila tersenyum dengan mata berbinar.
Tama mengangguk dan kembali beranjak ke ruang makan. Mak Eti dan Anita telah selseai menata sarapan di meja makan. Laila mengambil tempat di samping Tama.
Lalu seperti kebiasaannya beberapa hari terakhir, Laila mulai menyendokkan sarapan untuk Tama. Pagi ini menunya bihun goreng dengan tambahan bakso dan udang. Sejak Laila berada di rumah ini, Tama selalu sarapan dengan menu yang berbeda setiap harinya.
Tama merasa amat bahagia dengan sikap Laila yang selalu melayaninya dengan baik. Merek mulai sarapan berdua. Tama menanyakan kabar Ayah dan Bundo Laila. Dengan gembira Laila bercerita jika bundonya telah kembali sehat. Tama ikut senang mendengarnya. Tama bisa melihat, Laila begitu mencintai dan menyayangi bundonya.
****
Setelah Tama berangkat kerja, Laila mullai memindahkan kembali baju-bajunya ke atas. Mba Susi dan Mak Eti yang sedang membersihkan karpet ruang salat dengan vakum, menatap Laila dengan tatapan mata menggoda.
"Kenapa dipindahin lagi, Uni?" Mba Susi seperti biasa tak dapat menyembunyikan rasa keponya.
"Nanti kalau ada tamu yang datang, susah Mba. Laila nanti ga bisa ambil baju ke kamar tamu." Laila mencoba memberikan alasan yang masuk akal. Mba Susi tersenyum.
Sementara Mak Eti terlihat kembali asyik dengan pekerjaannya.
"Ya, suami istri itu memang harus selalu berdekatan, Uni. Uni jangan jauh-jauh dari Pak Tama. Orang seperti Pak Tama pasti banyak yang ngincar, Ni. Udah ganteng, banyak duit, baik hati lagi." Mba Susi mengerling ke arah Laila.
"Hush. Kalau ngomong ya yang baik-baik. Ngga boleh ngomong seperti itu." Mak Eti menyikut lengan Mba Susi. Mba Susi nyengir merasa malu.
"Eh, maaf, Uni." Mba Susi merasa bersalah. Laila tersenyum.
"Nggak apa-apa, Mba. Laila ke atas dulu ya, Mba Susi, Mak Eti." Laila pun mulai menaiki anak tangga dengan beberapa hanger baju di tangannya.
"Iya, Uni." Mba Susi mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Sebelum zuhur, Laila telah selseai membereskan barang-barangnya yang di kamar tamu dan menyusunnya dengan rapi di lemari Tama. Laila merasa lelah juga. Ia duduk dan menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur. Laila memejamkan matanya. Dan lama-lama kesadarannya pun hilang. Laila tertidur dalam posisi masih duduk bersandar di tempat tidur.
Entah berapa lama ia tertidur, ketika tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyentuh pipinya dengan lembut. Laila membuka matanya perlahan. Dan dalam jarak yang begitu dekat terlihat tama sedang menatapnya dengan tatapan penuh kasih. Laila tersipu.
"Uda sudah pulang?" Laila merapikan bajunya yang tersingkap sampai ke paha. Tama melirik sekilas. Dan lagi-lagi Tama menahan napas menenangkan debaran di dadanya. Entah mengapa akhir-akhir ini dadanya sering sekali berdetak tak beraturan.
"Ini untukmu." Tama mengulurkan sebuah kantong pada Laila.
"Apa ini, da?" Laila menerimanya dengan ragu.
"Buka aja." Tama tak mengalihkan tatapannya pada Laila. Dengan dada berdebar, Laila menerima kantong yang berisi sebuah kotak persegi itu. Laila melihat ke arah Tama kembali.
"Ayo, buka." Tama mengangguk. Laila akhirnya membuka kotak di tangannya dengan tergesa. Mata Laila membulat melihat apa yang ada di tangannya.
"Ini untuk Laila, Da?" Laila menatap Tama ragu.
"Iya, kamu suka?" tama menyentuh pipi Laila sekilas.
"Duh, makasih banget, Da. Tapi ini pasti mahal, Da." Laila menatapTama dengan rasa tak enak hati.
"Hei, semua yang Uda punya juga milikmu. Untuk apalagi sekarang Uda mencari rezeki kalau tidak untuk membahagiakanmu." Tama mengacak rambut Laila.
"Sekali lagi makasih, Da." tiba-tiba Laila memeluk Tama tanpa aba-aba. Tama kembali menegang. Tubuhnya terasa kaku dan lidahnya mendadak kelu.
"Eh, iya." Tama tergagap. Laila melepaskan pelukannya.
"Uda sudah makan?" Tanya Laila.
"Belum." Tama menggeleng.
"Ayo, Laila siapkan makan untuk Uda." Laila meletakkan ponsel barunya di atas kasur, lalu bergegas turun dari kasur.
"Uda mau nunggu di sini atau ikut ke bawah?"
"Ikut kamu aja ke bawah."
"Ayo!" Laila menarik tangan Tama. Mereka turun ke bawah seraya bergandeng tangan. Mba Susi yang sedang membantu Mak Eti di dapur, menoleh begitu mendengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Mba Susi tersenyum seraya menyikut lengan Mak Eti. Mak Eti ikut menoleh. Dan perempuan paruh baya itu tersenyum bahagia melihat kedua orang yang telah dianggapnya sebagai anak sendiri itu terlihat semakin dekat dan semakin mesra.
"Uda, duduk di sini dulu, ya." Laila menarik kursi dan menyilakan Tama untuk duduk. Tama hanya bisa menurut. Lalu Laila pun mulai meletakkan masakan yang telah selsai dimasak Mba Susi dan Mak Eti di meja makan. Tama memperhatikan semua pekerjaan istrinya itu dengan hati bahagia.
Tak berapa lama, makanan pun selesai dihidangkan.
"Makan sekarang?" tanya Laila.
"Boleh." Tama mengangguk. Laila pun menyendokkan nasi ke piring Tama.
"Mau pake apa?"
"Ayam cabe hijau sama capcai." Laila mengambilkan yang diminta Tama. Kok serasa ngurus ponakan yang masih kecil ya? Laila tersenyum sendiri. Ternyata laki-laki itu manja juga ya. Laila baru tahu sekarang. Hehe.
*****
Setelah Tama selesai salat zuhur, Tama dan Laila naik ke
lantai dua. Sesampai di kamar, Laila mengambil ponsel barunya dan membawanya ke ruang sebelah. Laila membuka buka fiturnya. Tama ikutan duduk di samping Laila seraya membawa laptopnya. Tama ingin memeriksa laporan keuangan tokonya yang telah dikirim oleh pegawainya tadi pagi.
Laila membuka youtube. Tak berapa lama terdengar suara khas ustad kondang Abdul Somad. Laila suka sekali mendengar ceramah-ceramah ustad yang berasal dari Riau itu. Ceramahnya segar dan tidak membosankan. Ternyata ustad yang selalu terlihat berpenampilan sederhana itu sedang membahas tentang kewajiban salat berjamaah ke msejid bagi kaum laki-laki.
"Laki-laki yang salat di mesjid atau di musala adalah laki-laki saleh. Dan laki-laki yang salat di rumah adalah laki-laki saleha." Laila terkikik mendengar ucapan Ustad Somad. Sementara Tama yang ikut menyimak terlihat tersenyum miring. Ya, Tama memang sangat jarang salat berjamaah di mesjid atau musala.
"Uda laki-laki kan, Da?" tiba-tiba Laila bertanya seraya menoleh dengan tatapan mata menggoda pada Tama.
"Hei, kamu mau membuktikan kelelakianku?" Tama merasa terpancing mendengar ucapan Laila. Sekarang giliran Laila yang tersenyum miring.
"Ih, Uda itu ya pikirannya suka aneh. Nggak nyambung." Laila mencubit perut Tama dengan gemas. Tapi Tama malah memegang tangan Laila dan menatap perempuan itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Laila menunduk.
"Saya lelaki normal, Laila. Jadi pikiran atau ucapan seperti tadiadalah bukti kenormalan saya." Tama menarik tangan Laila dan mendekatkan wajahnya pada Laila. Laila memejamkan matanya. Dan sebuah kecupan yang lembut menyentuh bibirnya.
"Makasih, ya." Tama mengacak rambut Laila dengan penuh rasa sayang. Laila hanya bisa mengangguk. Debaran di hatinya telah berkejaran tak tentu arah.
"Mulai magrib nanti Uda akan salat di musala, ya." Tama menatap Laila seraya tersenyum lembut. Mata Laila membulat dan seketika berbinar.
"Benaran, Da?" Laila merasa dadanya penuh oleh rasa bahagia. Sebenarnya diam-diam beberapa hari belakangan ini, Laila selalu berdoa, agar Tuhan membukakan hati Tama untuk salat berjamaah di mesjid atau musala perumahan.
"Ya, akan Uda usahakan untuk salat lima waktu di mesjid atau musala." Janji Tama.
"Alhamdulillah." Laila mengucap syukur pada Allah.
****
Laila senang akhirnya Tama memang membuktikan ucapannya pada Laila. Laki-laki itu mulai salat berjamaah di waktu subuh, magrib dan isya di musala. Waktu zuhur dan ashar, Tama berada di toko atau di kantor. Menurut Tama, ia juga selalu pergi ke musala atau ke mesjid ketika sedang berada di luar rumah. Laila begitu bahagia mendengarnya.
Hari ini seperti biasa, sebelum magrib, Laila telah duduk di ruang tamu menunggu kepulangan Tama. Tak berapa lama terdengar suara mobil memasuki halaman. Laila bergegas membukakan pintu. Tak berapa lama terlihat Tama turun dari mobil. Tapi dahi Laila mengernyit. Tama tidak sendiri. Seseorang ikut turun dari mobil setelah Tama.
"Rani." Bibir Laila berdesis menyebut nama Rani. Seketika dada Laila beremuruh. Mau apa perempuan itu datang lagi ke rumah ini.
"Assalammualaikum, Uni." Rani mengucapkan salam dan menatap Laila dengan tatapan sombong.
"Waalaikumslaam," jawab Laila singkat.
"Rani langsung ke kamar, ya, Da." Pamit Rani pada Tama. Tama hanya mengangguk. Hatinya sudah tak enak menerima tatapan tak bersahabat Laila.
Sementara Laila telah duluan menaiki anak tangga menuju kamar mereka. . Tama mengikuti langkah kaki Laila dengan tergesa. Laila langsung menuju ruang nonton TV. Ia tak hendak mengacuhkan Tama. Dulu laki-laki itu mengatakan tidak mau semobil berdua dengan Rani karena bukan mahrom. Eh, sekarang malah enak-enaknya pulang berdua. Hati Laila merutuk kesal.
"Kamu kenapa sih, Sayang?" Tama mengejar Laila ke ruang teater.
"Nggak kenapa-kenapa." Laila menjawab ketus.
"Nnggak kenapa-kenapa, kok udah nggak kayak kemarin lagi, salim ama suami pas suami pulang?" Tama duduk di samping Laila.
"Minta salam aja sama Rani." Laila menjauh dari Tama.
Tiba-tiba Tama terbahak.
"Oh, Rani. Jadi kamu cemburu sama Rani?" Tama menatap Laila yang sedang memainkan ponselnya. Laila mendongak. Cemburu?
"Siapa yang cemburu? Aku cuma nggak suka aja sama laki-laki yang nggak konsisten. Dulu bilangnya, nggak mau pergi dan pulang kerja hanya berdua aja dengan Rani. Nggak mahrom. Eh, nyatanya sekarang, kayaknya seneng banget tuh pulang berdua." Laila mencibir pada Tama. Tama malah senyum-senyum mendengar dan melihat sikap Laila yang terlihat makin menggemaskan kalau sedang marah.
"Sayang, maaf. Tadi Rani kan mau nebeng ama Uda Arif. Eh, mobil Uda Arif pakai acara bocor ban pula. Uda Arif minta tolong sama Uda untuk antarin Rani."
"Kenapa nggak disuruh naik grab?" Laila menatap Tama tajam.
"Uda juga sudah bilang gitu tadi. Tapi kata Rani, dia mau ambil barang-barangnya yang masih tertinggal di sini. Jadi Uda pikir, bagus jugalah. Biar nggak ada alasan lagi buat dia untuk datang ke sini." Tama memeluk pundak Laila dengan mesra.
"Besok pagi kamu ikut ya sama Uda. Biar Uda nggak berdua aja di mobil sama Rani." Tama merengkuh bahu Laila dan mengecup puncak kepala Laila dengan penuh kasih.
"Nggak. Nggak mau." Laila melepaskan pelukan Tama dan bangkit dari duduknya.
"Lha, nanti cemburu lagi kalau Uda cuma berdua aja sama Rani di mobil." Tama mengejar Laila ke kamar tidur.
"Suruh aja naik grab." Laila menjawab acuh. Tama tersenyum melihat gaya istrinya itu.
"Iya, deh. Kalau nyonya suruh begitu, Uda bisa apa. Uda cuma bisa nurut. Dari pada jatah Uda nggak keluar." Tama mengerling nakal pada Laila dan ikut duduk di atas kasur di samping Laila.
"Jatah apa?" tanya Laila heran.
"Kamu sudah nggak haid lagi kan? Sudah mulai salat kan?" Tama menatap Laila penuh harap.
"Kalaupun sudah salat, aku tetap mau bilang masih haid." Laila bangkit lagi dan masuk kamar mandi. Malas rasanya ia berada dekat-dekat dengan laki-laki itu. Hatinya masih kesal. Nanti kalau Rani melancarkan rayuan mautnya gimana?
Ya Tuhan, masih lamakah marah istrinya ini? Tama mengusap wajahnya dengan kasar.
Belum ada tanggapan untuk "Masih Adakah Surga Untukku Bagian 16"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.