Cerbung "Masih Adakah Surga Untukku"
#Laila
#Episode 4
Laila menadahkan tangan memohon ampunan pada Tuhan. Laila sadar, apa yang diperbuatnya pada laki-laki yang telah sah menjadi suaminya itu adalah suatu dosa. Tak seharusnya Laila berbuat seperti itu. Tapi semua telah terjadi.
Padahal sebenarnya Laila adalah perempuan yang cukup taat dalam beragama. Ia berusaha tidak hanya melaksanakan ibadah-ibadah wajib, tapi juga menyempurnakannya dengan ibadah-ibadah sunnah. Seperti sholat duha, Laila berusaha untuk melaksanakannya secara rutin.
Begitu banyak fadilah dari sholat dhuha yang pernah didengarnya dari pengajian-pengajian rutin di kampusnya. Salah satunya adalah Diampuni dosa-dosanya meski sebanyak buih di lautan. "Siapa pun yang melaksanakan sholat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan," (HR Tirmidzi).
Pada hadist yang lain dikatakan akan dibangunkan rumah di surga. "Barang siapa mengerjakan shoalt dhua sebanyak 12 rakaat, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga," (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan masih banyak fadilah serta keutamaan sholat dhuha yang lainnya, yang membuat Laila merasa rugi jika tidak melaksanakannya.
Setelah selesai berdoa, Laila melipat mukenanya dan kembali ke dapur membantu Mak Eti. Ternyata mba Susi yang tadi diceritakan mak Eti telah datang dan ikut membantu memasak. Melihat kedatangan Laila, mba Susi langsung menghampiri dan menyalami Laila.
"Wah, ayu tenan," mba Susi menatap Laila dengan tatapan terpesona.
"Pantas ya, Pak Tama kesensem," imbuhnya lagi. Ucapan mba Susi membuat Laila tersipu malu.
"Ah, Mba Susi bisa aja," Laila menyentuh pundak mba Susi ramah. Laila memang ramah dan cepat akrab dengan orang. Sehingga wajar begitu ketemu orang langsung suka dan senang dengannya. Seperti mba Sri dan mak Eti, meski baru bertemu Laila, tapi mereka langsung merasa senang dengan Laila.
Lalu mereka bertiga pun asyik memasak seraya berbagi cerita. Lagi-lagi Laila mendapatkan informasi yang membuat hatinya tertegun. Mba Susi tak sengaja cerita kalau biaya sekolah dua orang anaknya dibantu oleh Tama. Mba Susi seorang janda. Suaminya meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Tama lah yang banyak membantu mba Susi dan anak-anaknya.
"Goreng petei dan ikan asin dengan cabe ijau ini kesukaan, Pak Tama, Uni Laila," ujar mba Susi yang telah sibuk menata makanan di atas meja makan.
"Oh, iya Mba," Laila mengangguk seraya ikut membantu menata meja makan.
Beberapa buah rantang telah diisi dengan lauk dan sayur untuk bekal mba Susi dan pak Udin nanti jika pulang. Biasanya sebelum magrib mereka berdua pulang ke rumah kontrakan masing-masing.
"Assalammualaikum," terdengar salam dari pintu depan. Mba Susi bergegas ke depan membukakan pintu.
"Waalaikumsalam," ujar mba Susi seraya melebarkan daun pintu.
"Wah, tumben Pak Tama pulang makan siang ya," suara mba Susi terdengar heboh.
"Pasti karena ada istrinya ya, Pak Tama," mba Susi mengikuti langkah Tama ke ruang keluarga. Laila membeku di samping meja makan.
"Ada faktur toko yang tertinggal, Mba Susi," jawab Tama seraya bergegas ke lantai dua menuju kamarnya.
"Ayo, Uni Laila. Disusul itu suaminya. Siapa tahu perlu sesuatu," mba Susi tiba-tiba telah berada di samping laila dan menyikut tangan Laila serta mengerlingkan matanya dengan tatapan menggoda.
"Apaan sih, Mba Susi," Laila lalu beranjak ke dekat mak Eti. Mba Susi terkekeh melihat tingkah malu-malu Laila.
"Ada lagi yang perlu Laila bantu, Mak?"
"Udah selesai semua, Nak Laila. Pergi lah ke kamarmu di atas. Istirahatlah," ujar mak Eti seraya tersenyum pada Laila. Laila terdiam. Sebenarnya ia ingin sekali membaringkan tubuhnya. Tapi ia bingun mau masuk kamar yang mana.
"Mak Eti, tolong masukkan travel bag yang di runag tamu ke kamar di samping ruang sholat, ya," tiba-tiba Tama telah berdiri di dekat ruang makan.
"Oh, iya, Nak Tama," mak Eti tergopoh menuju ruang tamu.
Tapi sedetik kemudian wanita paruh baya itu kembali ke ruang makan. Tama telah duduk dan bersiap untuk makan siang. Sementara Laila hanya berdiri dengan bingung. Mba Susi telah ke ruang cuci di belakang.
"Eh, maaf, Nak Tama, apa tidak sebaiknya langsung aja Mak Eti bawa ke atas? Ke kamar, Nak Tama?" Tama menatap mak Eti dengan kaget, begitu pun dengan Laila. Tapi sejenak kemudian, ia kembali terlihat biasa-biasa saja.
"BIar Laila di kamar tamu aja dulu, Mak Eti. Kasihan nanti dia kecapean naik turun tangga," jawab Tama santai. Laila menelan ludahnya yang terasa pahit.
Ya, ini lebih baik. Ia pun belum siap sekamar dengan laki-laki yang telah berstatus suaminya itu.
"BIar Laila aja yang bawa, Mak." Laila bergegas mengejar mak Eti.
"Ga pa pa, Mak Eti aja. Nak Laila temani aja Nak Tama makan, ya," ujar mak Eti seraya mendorong travel bag Laila ke kamar tamu.
"Laila belum lapar, Mak. Nanti aja." ucap Laila dan mengikuti langkah mak Eti ke kamar. Sementara Tama telah makan dengan lahapnya, tanpa menawari dan mengajak istrinya itu untuk ikut makan.
Sesampainya di kamar, Laila langsung duduk di atas tempat tidur ukuran jumbo yang ada di kamar tersebut. Kamar dengan nuansa hijau itu terlihat segar dan nyaman. Laila tiba-tiba ingin merebahkan badannya dan tidur sejenak.
"Mak, Laila pengen baring bentar, ya."
"Ga makan dullu, Nak?"
"Nanti aja, Mak. Laila pengen istirahat bentar. Nanti habis sholat zuhur, Laila makan, ya." Laila tersenyum manis pada mak Eti yang menatapnya dengan tatapan iba.
"Iyalah. Mak tinggal dulu, ya. Mungkin Nak Tama mau balik lagi ke kantor atau ke tokonya," pamit mak Eti.
"Ya, Mak. Makasih, ya, Mak." ucap Laila tulus. Mak Eti mengangguk dan menutup pintu kamar.
Mak Eti menuju ruang makan dan melihat Tama telah selesai dengan makan siangnya.
"Dia ga makan, Mak?" tanya Tama yang melihat kedatangan mak Eti.
"Dia siapa, Nak Tama?" mak Eti menatap Tama bingung.
"Laila lah, Mak." Tama mencoba tersenyum pada mak Eti.
"Oh, istri Nak Tama? Nanti katanya, Nak Tama. Mungkin segan ga ditawari ama suaminya tadi," sindir mak Eti. Tama hanya mengangkat bahu. Setelah meneylesaikan makan dan mencuci tangannya, Tama pun segera bangkit.
"Mak, saya balik ke kantor. Nanti kayaknya ada kiriman mukena dari Bukit Tinggi. Letakkan aja dulu di ruang sholat ya. Itu mau dibagi-bagi ke mushalla ya, Mak. Suruh besok Pak Udin keliling narok di tiap-tiap mesjid dan mushalla di sekitar perumahan ini," ujar Tama sebelum ke luar dari pintu depan.
"Iya, Nak Tama. Tapi apa Nak Tama ga pamit dulu sama Nak Laila?" mak Eti menatap Tama dengan tatapan menyelidik. Heran juga mak Eti melihat sikap acuh majikan yang telah dianggapnya seperti anaknya ini.
"Saya buru-buru, Mak. Biarkan aja dia istirahat," jawab Tama lalu segera berlalu menuju mobilnya. Mak Eti hanya mengangguk.
****
Sementara di kamar, Laila mencoba memejamkan mata. Tapi yang ada matanya malah terbuka semakin lebar. Masih terbayang sikap acuh suaminya itu. Jangankan menyapa, menolehpun tidak. Tapi ... bukankah ia pantas mendapatkan perlakuan seperti itu? Bukankah ia harus bersabar seperti kata ayah? Toh ia juga tak memiliki perasaan apa-apa pada laki-laki itu, lalu buat apa ia harus memikirkan sikapnya?
Laila bangkit dari tidurnya. Ia buka jilbab instannya. Ian ingin mandi sebelum sholat zuhur. Tapi tiba-tiba perutnya terasa lapar. Setelah sholat zuhur nanti ia akan makan. Ia tak akan terlalu merisaukan sikap dan perlakuan suaminya itu. Yang ada di pikiran Laila saat ini hanya bundonya. Bundonya harus sehat seperti sedia kala.
Setelah mandi, sholat zuhur, dan makan siang bersama mak Eti, mba Susi dan pak Udin, akhirnya Laila bisa tertidur juga. Ternyata masih ada satu lagi penghuni rumah yang baru ditemui Laila tadi pas makan siang. Anita, anak gadis mak Eti yang ikut dengan mak Eti tinggal di rumah ini. Anita kuliah di UNJ, jurusan Pendidikan Matematika. Ia ingin menjadi guru matematika katanya. Anaknya cantik dan baik. Dan satu lagi kejutan buat Laila, Anita ternyata juga dikuliahkan oleh Tama.
Masih muda, sukses di usaha, tapi masih peduli pada sesama. Mengapa Laila baru mengetahui semua itu sekarang ya?
Belum ada tanggapan untuk "Masih Adakah Surga Untukku Episode 4"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.