#Masih Adakah Surga Untukku
#Laila
#Episode 14
Setelah selesai menunaikan sholat zuhur, Tama pun membawa Laila dan Rani ke kantornya. Mereka sampai di sebuah gedung perkantoran di Jakarta Pusat. Kantor Tama terletak di lantai lima. Mereka berjalan beriringan memasuki gedung. Memasuki lift dan menuju lantai lima.
Kantor Tama dan kedua kakaknya tidak terlalu besar. mereka hanya mengambil sebagian dari gedung di lantai lima. Pegawai mereka cuma berjumlah dua puluh lima orang. Perusahaan ini bergerak di bidang konveksi dan tekstil, dan pengiriman pakaian-pakaian untuk eksport ke luar negeri.
Sesampai di dalam kantornya, para karyawan langsung menyambut kedatangan Tama. Tama memperkenalkan Laila, istrinya, dan Rani anak mamaknya. Setelah berbasa basi sejenak, Tama pun mengajak Laila dan Rani memasuki ruangan kakaknya.
"Wah, pengantin baru. Segitu sibuknya ya, sampai ga sempat ke kantor dan ga sempat ajak istrimu ke rumah Uda." Uda Arif langsung berdiri dari tempat duduknya menyambut kedatangan Tama dan Laila.
"Ah, Uda kayak ga pernah jadi pengantin baru aja." Tama tertawa dan mengajak Laila serta Rani untuk duduk di kursi tamu di ruangan kakaknya itu. Laila hanya tersipu malu mendengar candaan kakak dan adik di depannya ini.
"Bagaimana kabarnya, Laila? Betah di Jakarta?" Uda Arif ikut duduk di antara mereka.
"Alhamdulillah betah, Da." Laila tersenyum.
"Gimana ga betah, tinggal ama suami ganteng begini, baik hati lagi." Tama berkata pongah pada udanya seraya menepuk dadanya. Mata Laila membulat mendengar ucapan laki-laki di sampingnya ini.
Uda Arif tergelak.
"Kalau tak ditinggal pergi lagi nanti, berarti benaran betah tinggal sama kamu." Uda Arif bermaksud mencandai Tama, tapi kata-katanya tak ayal membuat Laila tersentak. Laila menunduk dan meremas jemari tangannya. Ternyata tak gampang bagi orang untuk melupakan kesalahan yang pernah kita lakukan.
"Uda, becanda jangan kelewatan." Tama mendelik pada udanya melihat perubahan sikap Laila. Lalu Tama menyentuh jemari tangan Laila dan menggenggamnya dengan erat memberi kekkuatan.
"Maaf, Uda ga bermaksud apa-apa." uda Arif menyadari ia telah keceplosan bicara. Selama ini mereka memang selalu begitu kalau bercanda. Saling ejek dan menggoda satu sama lain.
"Oh iya Rani, apa kabar?" uda Arif menoleh pada Rani yang tersenyum puas mendengar ucapan laki-laki gagah itu pada Tama dan Laila.
"Alhamdulillah baik, Da."
"Benaran mau kerja di Jakarta?"
"Iya, Da. Jika Uda berkenan menerima Rani di sini."
"Ya, kalau Tama bilang bisa, berarti ya bisalah kamu kerja di sini. Saham adik gantengku ini yang paling banyak di sini." ucap Uda Arif seraya menunjuk Tama dengan dagunya. Uda Arif mengeluarkan ponselnya dan menelphon uda Zakaria.
Tak berapa lama, uda Zakaria masuk dan bergabung dengan mereka. Lalu mereka menayakan apa Rani mau mulai kerja hari ini atau besok. Rani dengan semangat mengatakan ingin langsung mulai kerja. Tama lega, itu artinya ia tak perlu mengantar anak mamaknya itu ke rumah tinggal para karyawan.
"Ajaklah Laila ke rumah. BIar kenal dengan Uni Via dan ponakan-ponakan." uda Arif berpesan sebelum Tama dan Laila pamit.
"Iya, nih pengantin baru. Parah banget. Kayak sudah tak punya saudara aja dia di Jakarta." uda Zakaria menimpali.
"Orang cantik ga boleh sering-sering ke luar rumah. Nanti cantiknya hilang, diliatin ama orang-orang." Tama mengedipkan matanya menggoda kedua abangnya.
"Jangan mau dikurung terus di rumah Laila." uda Zakaria berkata pada Laila. Laila hanya tersenyum malu.
"Buru-buru amat adek kita yang satu ini, udah ga sabar ya mau ngurung Laila di kamar?" uda Arif berbisik di telinga Tama. Tapi Laila masih bisa mendnegar ucapan laki-laki itu. Kembali wajah Laila merona. Tama tergelak dan memukul bahu abangnya itu.
"Sudah, ah. Kami pamit. Titip Rani ya. Ajarin dia pergi dan pulang ke rumah karyawan dengan grab." Tama berpesan sebelum meninggalkan ruangan uda Arif.
"Tenang, Rani aman bersama kami." uda Zakaria menjawab dengan senyuman. Laila pun pamit pada uda Arif dan uda Zakaria. Terakhir Laila menyalami Rani.
"Pamit ya, Ran. Semoga kamu betah ya kerja di sini." Laila mengulurkan tangannya pada Rani. Rani menerimanya dengan malas.
Setelah itu Tama dan Laila menuju ke parkiran. Sebelumnya Tama meminta sekuriti untuk mengambil koper Rani di mobil dan menyuruh sekuriti meletakkannya di ruangan abangnya Arif.
Begitu duduk di belakang stir, Tama menarik napas lega. Rasanya bebannya karena kehadiran Rani di rumahnya sedikit berkurang. Jika nanti bertemu di kantor, tidak akan terlalu repot pikir Tama. Apalagi Tama tidak seperti kedua abangnya yang rutin setiap hari ke kantor. Tama hanya memegang audit keuangan perusahaan. Jadi Tama bisa mengerjakannya di manapun ia berada.
"Jadi mau kemana kita sekarang?" Tama menoleh pada Laila sebelum ke luar dari parkiran perkantoran.
"Terserah Uda aja. Laila kan ga tahu Jakarta."
"Wah, berarti bisa dijual nih di Jakarta."
"Ya, jual aja kalau memang laku." Suara Laila terdengar ketus.
"Ah, ga ah. Ntar aku merana tinggal sendiri." Tama menatap Laila dengan mata menggoda.
"Sudah ga ada Rani, ga usah akting lagi." wajah Laila masih keliatan jutek. Tama terbahak.
"Memang gombalin istri harus nunggu ada Rani dulu, ya?"
"Jadi tadi itu ngegombal?" Laila menatap Tama tajam. Tama menggaruk kepalanya yang tak gatal. Duh, salah bicara lagi dia.
"Ga gombal kok, serius." Tama mengangkat dua jarinya dan menatap Laila dengan mimik wajah serius. Sekarang giliran Laila yang kikuk ditatap seperti itu.
"Ayo, ah, Da. Kapan mau jalannya nih." Laila pun memasang sabung pengamannya.
"Oke kita ke mall dulu ya. Nyari kosmetik kamu. Tapi janji, ya, dandannya cuma buat aku," ucap Tama seraya menjalankan mobil. Mata Laila mengerjap. Ya, Tuhan, tolong jaga dada ini, jangan terlalu riuh berdentang, Laila berbisik dalam hati.
Kenapa laki-laki ini semakin manis ya? Laila merasa heran juga. Apa dia telah membuka hatinya untuk Laila? Semula Laila berpikir, sikap manis dan mesranya karena ada Rani. Tapi setelah Rani tak ada, sikapnya masih tetap manis. Tuhan, boleh kah aku meminta agar laki-laki ini selalu bersikap seperti ini setiap hari? Laila berdoa dalam hati. Dan senyum indah tak mau ungkai dari bibirnya.
Sepanjang perjalanan lagu Anji menemani mereka. Ketika lagu Bidadari Tak Bersayap mengalun indah, Tama ikut bernyanyi dengan penuh perasaan. Laila senyum-senyum sendiri mendengar dan melihat gaya Tama.
Kamu yang aku butuhkan untuk jadi teman hidupku
Bidadari tak bersayap datang padaku
Dikrim Tuhan dalam wujud wajah kamu
Dikirim Tuhan dalam wujud diri kamu
Sungguh tenang kurasa saat bersamamu
Sederhana namun indah kau mencintauku
Sederhana namun indah kau mencintaiku
Sampai habis umurku, sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku
Kaulah satu di hati, kau yang teristimewa
Maukah dirimu hidup denganku
Diam-diam aku memandangi wajahnya
Tuhan ku sayang sekali wanita ini
Tuhan ku sayang sekali wanita ini
Sampai habis nyawaku, sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku
Kaulah satu di hati, kau yang teristimewa
Maukah dirimu jadi teman hidupku
Katakan "yes I do," jadi teman hidupku
dudududududu dudududu dududu
Hampir satu jam, akhirnya mereka memasuki parkiran sebuah mall yang masih terletak di Jakarta Pusat.
Tama bergegas membukakan pintu untuk Laila sebelum Laila turun. Beriringan mereka memasuki mall yang lumayan ramai itu.
Tama lalu membawa Laila ke counter kosmetik yang terdapat di lantai dua.
"Silakan kamu pilih mana yang kamu butuhkan." Tama mempersilakan Laila untuk memilih. Laila yang sudah dipandu oleh seorang pelayan toko, hanya mengambil pembersih wajah, alas bedak, bedak padat, dan sebuah lipstik berwarna bibir. Itupun produk dalam negeri sendiri. Maklumlah, biasanya dia kan hanya seorang mahasiswa, yang uang belanjanya pun dijatah, sehingga Laila harus pintar-pintar memilih produk yang terjangkau oleh kantongnya.
Laila pun menuju kasir diikuti oleh Tama.
"Cuma segini?" tanya Tama heran.
"Iya, memang Uda mau juga?" tanya Laila dengan senyum menggoda.
"Ush, memangnya aku si Mimi." Tama mendelik pada Laila. Laila tertawa melihat ekspresi wajah tama. Tama tertegun melihat tawa lepas Laila. Rasanya baru kali ini Tama melihat Laila tertawa seperti itu. Dunia terlihat begitu indah menyaksikan tawa wanita di depannya ini.
"Bentar ya." tiba-tiba Tama beranjak. Laki-laki itu menuju rak parfum. Beberapa saat terlihat Tama meimilih-milih aneka parfum di depannya. Setelah mendapatkan yang rasanya cocok, Tama pun mebawanya ke kasir. Lalu kasir pun mulai menghitung belanjaan mereka.
Kening Laila mengernyit, melihat harga parfum yang tertera di layar komputer kasir. Mahal amat, pikir Laila.
"Buat siapa sih, Da. Beli parfum sampe tiga dengan harga semahal itu?" Laila tak dapat juga menahan diri untuk tidak bertanya.
"Ya, buat kamu lah. Pake kalau lagi di rumah." bisik Tama di telinga Laila. Wajah Laila merona mendengar kata-kata Tama. Laki-laki ini ... aduh Laila kehilangan kata-kata mengahadapi laki-laki tampan ini.
Setelah menyelesaikan transaksi, mereka pun ke luar dari counter kosmetik tersebut. Tama membawa Laila menuju toko tas yang tak begitu jauh dari counter kosmetik. Laila kembali menatap Tama dengan heran.
"Kita nyari tas dulu ya. Tas kamu kayak tas mahasiwa," ucap Tama menjawab kebingungan Laila.
Haa? Mau membelikan tas aja kok pake acara menghina dulu ya? Uh, bibir Laila mengerucut karena kesal mendengar ucapan Tama.
"Kenapa itu bibir? Mau dicium?" Tama mendekatkan wajahnya pada Laila. Laila reflek mundur dengan mata membulat. Ya Tuhan, lama-lama memang bisa jantungan dia karena sikap laki-laki ini.
"Kalau ga mau dicium, cepat kamu pilih tas yang paling cantik." Tama berbisik di telinga Laila. Pelayan di toko itu senyum-senyum melihat tingkah Tama dan Laila.
Laila buru-buru menjauh dari Tama dengan wajah takut. Tama terkekeh melihat ekspresi wajah Laila.
Beberapa buah tas telah dilihat dan dicobain Laila. Tapi begitu melihat harganya, buru-buru Laila meletakkannya kembali. Sungguh tak tega rasanya membelanjakan uang sebanyak itu untuk sebuah tas.
"Ga ada yang cocok?" tiba-tiba Tama telah berada di samping Laila.
"Ada sih, Da. Tapi, apa ga ada toko tas yang harganya lebih murah dikit, Da?" Laila berbisik pada Tama, karena pelayan toko juga mengikuti mereka.
Ya, Tuhan. Sekarang giliran Tama yang merasa heran. Kok ada ya perempuan seperti istrinya ini. Tinggal pilih juga, kok mikirnya dalem amat. Tama geleng-geleng kepala.
"Ini suka, ga?" Tama mengambil sebuah tas yang tadi dipegang Laila dan telah dicobainnya.
Laila mengangguk ragu. Tas berbahan kulit berwarna hitam dengan tali yang cantik. Terlihat begitu mewah.
"Satu aja, Da." Laila protes melihat Tama memesan kedua buah tas itu pada pelayan. Tiba-tiba Tama mencium pipi Laila sekilas. Deg, jantung Laila serasa berhenti berdetak. Ya Tuhan, badan Lalia mendadak terasa panas dingin. Kaki dan tangannya gemetar.
Tama pun menyerahkan kedua tas itu kepada pelayan.
"Ambilkan yang masih baru, ya." pesan tama.
"Baik, Pak." pelayan perempuan itu mengangguk dan tersenyum ramah.
"Satu aja, Da." Laila protes melihat Tama memesan kedua buah tas itu pada pelayan. Tiba-tiba Tama mencium pipi Laila sekilas. Deg, jantung Laila serasa berhenti berdetak. Ya Tuhan, badan Lalia mendadak terasa panas dingin. Kaki dan tangannya gemetar.
"Kalau protes lagi, aku cium lagi, ya." ancam Tama sadis. Laila bergidik. Tama tersenyum melihat raut wajah Laila yang menjadi merah kuning hiaju. Lucu sekali perempuan ini, bisik hati Tama.
Tak berapa lama pelayan memberikan struk pembelian pada Tama. Tama menuju kasir dan membayar kedua tas itu. Setelah selesai, pelayan memberikan dua kantong besar berisi tas pilihan Tama tadi pada Laila. Laila menerimanya dengan mata berbinar. Tak pernah membayangkan akan punya tas secantik itu.
"Da, makasih ya." Laila menatap Tama dengan tatapan penuh kebahagiaan. Tama mengangguk dan hatinya ikut bahagia melihat wajah Laila diliputi kebahagiaan seperti itu.
Mereka pun berjalan beriringan ke luar mall menuju parkiran.
Sampai di mobil, Laila membuka kantong tas di pangkuannya. Dikeluarkannya tas yang berwarna broken white. Dengan penuh semangat perempuan cantik itu mengeluarkan tas itu dari bungkusnya. Lalu dengan sigap, dipindahkannya semua isi tasnya ke dalam tas baru itu.
Tama memperhatikan tingkah Laila dengan seksama.
"Laila langsung pake, ya, Da." Laila mendekap tas barunya. Matanya berbinar indah. Tama tersenyum melihat tingkah istrinya ini. Benar-benar seperti anak kecil, tadi gayanya benar-benar menolak. Sekarang langsung memakainya dengan suka cita. Ternyata tak sulit untuk menyenangkan dan membahagiakan hati seorang wanita. Spontan Tama mengusap puncak kepala Laila yang tertutup hijab.
"Kamu, suka?" tanya Tama sebelum menjalankan mobil ke luar dari parkiran mall.
"Hehe, iya, Da. Tasnya cantik."
"Syukurlah kalau kamu suka. Nanti kalau mau apa-apa jangan dipendam. Kamu tahu ga, sejak tamat kuliah, aku sudah merintis usaha sendiri. Dan ketika aku telah punya uang yang cukup, aku ga punya orang yang bisa ikut menikmati hasil usaha aku tersebut. Kedua orang tua aku selalu menolak jika aku kirimkan uang, kata mereka, uang hasil sawah dan kebun di kampung tak pernah habis untuk mereka makan berdua. Semua saudara telah punya usaha sendiri. Semua hidup berkecukupan. Karena itulah aku tak pernah pelit untuk berbagi rezeki pada orang lain." Laila menoleh pada Tama. Laki-laki yang baik, bisik hati Laila. Laila tersenyum, dan tiba-tiba Tama meraih tangan Laila menggenggamnya erat.
"Dan sekarang aku bahagia, aku telah punya seseorang yang bisa menikmati harta dan rezeki yang aku punya. Jadi jangan pernah nolak apapun yang aku berikan untukmu. Aku bahagia mencukupkan semua kebutuhanmu, aku bahagia membelikan semua keperluanmu." Tama lalu mencium tangan Laila.
Laila serasa kehabisan nafas. Kata-kata dan sikap Tama begitu hangat dan menyentuh hatinya. Tuhan, maafkan aku yang telah bersalah pernah mengecewakan laki-laki ini. Maafkan aku telah pernah mencabik-cabik harga diri laki-laki ini. Mata Laila terasa panas. Pandangannya menjadi kabur. Dan bening itu mengalir satu demi satu membasahi pipinya. Laila terisak.
Laki-laki di sampingnya ini tak pantas menerima sikap jahatnya. laki-laki ini terlalu baik. Laila merasakan dadanya menjadi sakit mengingat apa pernah dilakukannya pada suaminya ini.
"Hei, kamu kenapa?" Tama kaget mendapati Laila yang telah terisak. Laila menoleh pada Tama dengan wajah basah penuh air mata. Laila mengambil tangan Tama dan menciumnya dengan takzim.
"Maafkan Laila, Da. Maafkan Laila." suara Laila terdengar parau di antara isak tangisnya. Tama terkesima.
"Uda sudah memaafkanmu." Tama mengelus puncak kepala Laila. Laila mengangkat wajahnya dan tersenyum bahagia mendengar ucapan Tama.
"Boleh Uda memelukmu?" Tama menatap Laila penuh harap. Laila mengangguk. Dengan suka cita, Tama merengkuh tubuh istrinya itu ke dalam pelukannya. Laila membenamkan wajahnya di dada Tama.
Belum ada tanggapan untuk "Masih Adakah Surga Untukku Part 14"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.