#Masih Adakah Surga Untukku Episode18
#Laila
Tenggelamkan ku di duka yang terdalam
Hampa hati terasa
Kau tinggalkanku meski ku tak rela
Salahkah diriku hingga saat ini
Ku masih mengharap kau tuk kembali
Mungkin suatu saat nanti
Kau temukan bahagia meski tak bersamaku
Bila nanti kau tak kembali
Kenanglah aku sepanjang hidupmu
ooohhhh
Tama mengiringi lagu Naff yang diputar lewat android dengan hati basah. Tama merasa, kata-kata dalam lagu Naff itu mewakili perasaannya saat ini. Meski malam makin larut, tapi mata Tama belum juga bisa terpejam. Ia duduk sendiri di depan TV yang tidak menyala. Lampu ruangan yang temaram semakin menambah syahdu perasaannya.
Baru satu hari ia tak bertemu dengan Laila, ia sudah merasa kehilangan semangat hidup. Ia jadi malas mau ngapa-ngapain. Tidak mandi, tidak makan. Begini ternyata rasanya jatuh cinta, Tama tersenyum miring. Meski umurnya telah sangat dewasa, ternyata ketika jatuh cinta, semua manusia sama. Kembali seperti anak ABG.
Bahagia ketika berada di dekat orang yang kita cintai, dan merana ketika berada jauh dari orang yang kita cintai. Mungkin kalau dulu Tama akan mengatakan hal seperti ini lebay, terlalu berlebihan. Tapi tidak sekarang, setelah ia mengenal Laila. Tak ada yang berlebihan untuk sebuah perasaan. Apalagi untuk sebuah perasaan cinta.
Akhirnya lewat pukul 12.00 malam, Tama pun tertidur di sofa ruang nonton TV-nya. Pukul 03.00 Tama sudah terbangun kembali. Tama bangkit dan menuju ke kamar tidurnya. Tama melihat kasurnya yang kosong. Sudah lebih dua minggu kasur itu dihuni oleh Laila. Laila yang cantik, Tama mendesis dalam hati. Sedang apa istrinya itu sekarang? Tama yakin Laila pasti sedang melaksanakan salat tahajud, seperti kebiasaannya di sini.
Tiba-tiba Tama juga ingin bersujud pada Yang Maha Kuasa. Tama ingin menadahkan tangan pada sang pemilik hati, agar menjaga hati istrinya untuk dirinya seorang. Tama ingin memohon agar Allah mengembalikan lagi Laila ke sisinya.
Tama masuk kamar mandi untuk berwudu. Tubuhnya terasa sedikit segar ketika air wudu membasahi sebagian anggota tubuhnya. Tama turun ke bawah menuju ruang sholat. Cahaya lampu yang temaram membuat suasana di sepertiga malam terasa begitu damai.
Tama mulai bertakbir seraya mengangkat tangannya. Tama pun hanyut dalam dua rakaatnya yang terasa begitu khusyuk. Setelah salam, Tama pun mengangkat tangan dan mulutnya mulai memohonkan doa dan harapannya pada Al Mujib, Sang Pengabul Doa.
Puas meminta dan memohon segala yang terbaik untuk dirinya dan Laila, Tama duduk bersandar di dinding ruang salat. Biasanya Laila selalu melewatkan sepertiga malamnya di sini. Laila wanita yang baik, harusnya Tama mulai terbuka dengan perasaannya. Harusnya Tama mulai jujur dengan perasaannya.
Banyak orang mengatakan wanita tidak hanya butuh sikap dan perilaku. Tapi wanita juga butuh kata-kata dan pengakuan. Dan Tama sadar, itu yang belum pernah dilakukannya.
Tama menunggu waktu subuh dengan tetap duduk di ruang salat. Matanya tak merasakan kantuk sedikitpun. Padahal ia hanya tertidur lebih kurang tiga jam.
Sementara itu, di sebuah rumah yang terletak di lereng Gunung Sago, dalam dingin malam, seorang perempuan juga tengah menadahkan tangan, bermunajat kepada sang pencipta. Dalam isak tangisnya, ia memohon ampun pada Allah swt, jika apa yang telah dilakukannya adalah sebuah kesalahan.
Tadi siang Uni Feni banyak memberikan pandangan pada Laila. Bagaimana seharusnya seorang istri bersikap. Laila paham dan sangat mengerti. Tapi pada kasus yang dialaminya, apa lagi yang bisa dilakukannya selain pergi menjauh jika memang suaminya tak menginginkannya. Jika suaminya tak bisa memberi maaf dengan sepenuh hati, lalu akan dibawa kemana pernikahan mereka?
Laila begitu galau. Separuh hatinya tertinggal di Jakarta, pada suaminya. Sehari jauh dari laki-laki itu membuat Laila menyadari jika ia telah jatuh cinta pada suaminya itu. Apalagi namanya kalau bukan cinta jika setiap saat yang teringat dan terbayang hanya dia. Apakah suaminya itu telah makan setelah pulang kerja tadi, apakah dia bisa tidur, apakah ia bisa bangun sebelum adzan subuh?
Tapi apa pedulinya, toh laki-laki itu tak benar-benar berniat baik padanya. Laki-laki itu hanya ingin membalaskan dendam. Laila kembali terisak. Tuhan, kenapa suaminya tak benar-benar membukakan pintu maaf untuknya? Kenapa suaminya tak benar-benar bisa menerima kehadirannya?
Kenapa mereka berdua tak bisa mulai menjalani pernikahan yang sewajarnya, yang bahagia?
Laila terisak. Laila tak tahu apakah keputusan yang telah diambilnya pergi meninggalkan laki-laki itu adalah keputusan yang tepat? Atau sebaliknya, Tuhan akan melaknatnya? Seperti yang dikatakan Uni Feni tadi siang pada Laila, Allah tidak akan meridai seorang wanita yang pergi meninggalkan rumahnya tanpa seizin suaminya.
Laila duduk bersandar di kasur di dalama kamarnya. Ia tidak ingin tidur lagi. Laila ingin menunggu waktu subuh tiba. Dalam hati Laila berharap semoga Allah memberikan jalan keluar terbaik untuk masalahnya dengan Tama.
Sebenarnya usia Laila sudah cukup dewasa, tahun ini menginjak 24 tahun. Tetapi sikap dan perilakunya terkadang masih sering kekanakan. Barangkali karena Laila merupakan anak bungsu yang selalu mendapatkan perhatian lebih dari kedua orang tua dan kelima orang kakak perempuannya. Semua menyayangi Laila.
Hampir satu jam Laila duduk bersandar seraya memikirkan banyak hal, adzan subuh pun berkumandang. Laila bersiap untuk melaksanakan salat subuh. Sementara jauh di sana, Tama telah berangkat ke mesjid sejak beberapa menit yang lalu.
Pulang dari mesjid, Tama masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Matanya menyapu ruang keluarga, ruang makan, dan dapur yang terasa begitu sepi. Biasanya ada Laila yang mulai sibuk menyiapkan sarapan paginya dengan Mak Eti dan Anita. Dan beberapa waktu belakangan moment yang paling ditunggu Tama adalah ketika Laila membawakan teh hangat untuknya ke kamar.
Tama duduk di ruang keluarga. Matanya tertuju pada kamar tamu. Terbayang ketika pertama-tama Laila datang dan menempati kamar tamu itu. Ah, Tama merasa benar-benar gila.
"Ini tehnya, Nak Tama." Mak Eti datang membawakan secangkir teh untuk Tama.
"Ya, Mak. Makasih." Tama tersenyum pada Mak Eti.
"Belum bisa menghubungi Laila?" Mak Eti menatap Tama dengan kasihan. Terlihat sekali tama kurang istirahat.
"Belum, Mak. Tadi malam Tama telpon, Laila sudah tidur kata Ayahnya." Tama mengambil cangkir tehnya dan meminumnya seteguk.
Sebenarnya perutnya terasa lapar karena tidak makan tadi malam. Tapi ia benar-benar merasa tak berselera.
"Kenapa nggak disusul aja, Nak Tama? Biar bisa membicarakan masalah yang ada secara baik-baik. Biar ketemu jalan keluarnya." Mak Eti menatap Tama penuh harap.
"Pulang ke padang, Mak?" Tama menanyakan dengan ragu pada Mak Eti.
"Ya, pulang ke Padang. Jika memang Nak Tama memiiki perasaan cinta dan sayang pada Laila, berjuanglah." Kali ini Mak Eti tersenyum mencoba meyakinkan Tama. Tama langsung berdiri.
"Ya, Mak. Tama akan menyusul Laila ke Padang sekarang." Dengan penuh semangat Tama menaiki tangga rumahnya dan masuk ke dalam kamar. Mak Eti tersenyum bahagia.
"Terima kasih ya, Allah." perempuan paruh baya itu mengucap syukur pada Allah.
Tama mengambil kopernya yang terletak di atas lemari. Memilih beberapa pakaiannya dan memasukkannya dengan tergesa ke dalam koper tersebut. Lalu Tama masuk ke kamar mandi dan mandi dengan kilat. Ke luar dari kamar mandi, Tama pun berpakaian. Celana jeans berwarna biru terang dengan kaos oblong berwarna putih. Penampilannya terlihat santai namun tak mengurangi ketampanannya.
Tama bergegas turun ke bawah. Dilihatnya Mak Eti tengah menghidangkan sarapan untuknya di meja makan.
"Sarapan dulu, Nak Tama." Mak eti menarik kursi mempersilakan Tama.
"Tidak usah, Mak. Tama sarapan di bandara aja. Tama ngejar pesawat yang pukul 08.00 pagi. Mudah-mudahan masih keburu."
"Ya, ampun, Nak. Dari tadi malam nggak makan apa-apa. Nanti sakit." Mak Eti menatap Tama cemas.
"InsyaAllah nggak apa-apa, Mak. Tama berangkat dulu, ya Mak." Tama menuju pintu depan seraya mendorong kopernya.
"Memang sudah dapat tiket?"
"Gampang, Mak. Nanti aja di bandara sekalian."
"Trus berangkat ke bandara? Pak Udin kan belum datang."
"Tama bawa mobil aja, Mak. Nanti parkir inap aja di bandara. Biar kalau bawa Laila pulang ke Jakarta, udah ada mobil yang menunggu di bandara." Tama berkata dengan percaya diri. Mak Eti tersenyum, semoga, Nak, doa Mak Eti dalam hati.
"Berangkat ya, Mak," pamit Tama dan segera masuk ke dalam mobil.
"Ya, hati-hati." Mak Eti masih sempat berpesan sebelum Tama menjalankan mobilnya ke luar halaman rumah.
*****
Bandara Internasional Minangkabau, pukul 10.15 pagi. Tama berjalan ke luar dari bandara menuju parkiran. Sebelum naik pesawat di Bandara Soekarno Hatta tadi, Tama telah menelpon mobil rental langganannya. Jika sedang pulang ke Padang, Tama dan abang-abangnya selalu menggunakan mobil rental ini.
Tama telah ditunggu di parkiran. Supir mobil rental telah menjelaskan di mana posisinya berada. Tak berapa lama, Tama telah duduk di samping Uda Supir. Mereka pun ke luar dari parkiran bandara menuju jalan raya. Jalan lintas Padang-Bukit Tinggi tidak terlalu padat. Mobil bisa bergerak dengan sedikit kencang.
Dada Tama berdebar membayangkan akan bertemu dengan kekasih hatinya. Masih tiga jam lagi sebelum ia sampai ke kampung halamannya. Sebuah kota kecil di Sumatera Barat, Payakumbuh.
Melewati jalan dengan rumah penduduk di kiri dan kanan, lalu sawah yang membentang kuning, pertanda sebentar lagi petani akan segera panen. Perbukitan di kiri dan kanan. Tama memandang semuanya dengan rasa syukur. Begitu indah alam di kampung halamannya. Keindahan dan kenyamanan yang membuat Tama berniat untuk menghabiskan masa tuanya di kampungnya ini. Berdua dengan istrinya, Laila, tentunya. Tama tersenyum membayangkan akan melihat wajah cantik istrinya.
"Senyum-senyum aja dari tadi, Da." tiba-tiba supir di sebelah Tama menyadarkan hayalan dan lamunan Tama.
"Eh, iya, Diak. Teringat istri." Tama berkata jujur.
"Istrinya pasti cantik ya, Da." Supir itu menoleh dan mengerling menggoda Tama.
"Alhamdulillah, cantik, Diak. Sangat cantik." Dan Tama pun kembali membayangkan wajah istrinya. Supir di sampingnya ikutan senyum melihat tingkah Tama.
Mobil memasuki Kota Padang Panjang. Air terjun yang menjadi objek wisata bagi masyarakat Sumatera Barat, terlihat deras dan jernih. Tumpah dari atas bukit yang melingkungi jalan raya. Membuat udara terasa begitu sejuk dan dingin.
Tak berapa lama, tampaklah Gunung Merapi yang puncaknya diselimuti awan. Lalu ladang-ladang sayur di lereng gunungnya. Sejauh mata memandang warna hijau nan segar membuat mata tak pernah bosan untuk menikmati pemandangan alam yang terpampang di depan mata.
Kampung Tama sudah semakin dekat. Dan debaran di hatinya semakin riuh. Mereka kembali melewati areal persawahan. Dibatasi bukit di kiri dan kanan, seakan bukit-bukit itu menjadi dinding pembatas bagi sawah-sawah yang tumbuh subur di bawahnya. Puluhan kali melewati jalan yang sama, tapi selalu saja tak pernah ada kata bosan memandang keindahan alam yang terbentang.
Tama menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Perutnya tiba-tiba keroncongan karena tidak jadi sarapan pagi tadi di bandara. Tapi ia tak ingin makan. Tak merasa ngantuk juga. Tama hanya bisa berdoa semoga tubuhnya tetap sehat meski dalam konndisi seperti ini.
"Selamat Datang Di Kota Payakumbuh" Tama membaca tulisan yang tertulis pada gapura ucapan selamat datang di kota kelahirannya ini. Ada yang menghangat di hati Tama. Membayangkan akan bertemu dengan istrinya. Namun ada juga kecemasan, bagaimana jika Laila tak mau menerima penjelasannya?
Kota kecil ini tak banyak berubah di mata Tama. Langitnya masih tetap bersih dengan awan-awan yang menghiasi warna birunya. Sawah di sepanjang jalan yang dilewati, Gunung Sago yang selalu berdiri dengan gagahnya, udaranya yang dingin dan sejuk. Tama mencintai kota ini, kota kelahirannya.
Akhirnya mobil yang ditumpangi Tama sampai di halaman rumah Laila. Debaran di dada Tama semakin menggila. Tama membayar ongkos rentalnya dan turun dengan kaki sedikit gemetar. Dan kini, Tama telah berdiri di depan pintu rumah Laila.
Tama mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat lalu handel pintu yang dibuka. Sesosok tubuh semampai yang amat dirindukan laki-laki itu berdiri di hadapannya. Betapa Tama ingin segera merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Tapi tatapan mata perempuan itu begitu dingin. Tama tercekat.
"Boleh aku masuk?" Suara Tama bergetar. Laila membuka daun pintu lebih lebar dan menggeser tubuhnya ke samping.
Tak ada kata yang keluar dari bibir indahnya. Dalam hati Laila syok melihat sosok yang juga amat dirindukannya itu. Tapi hatinya sedang marah. Laki-laki itu punya rencana jahat padanya. Laila harus bisa menahan hatinya.
Tama melangkah masuk dan duduk di kursi tamu tanpa menunggu dipersilakan. Sementara Laila masih berdiri mematung di samping daun pintu.
Terima kasih.
ReplyDelete