#Masih Adakah Surga Untukku
#Laila
#Episode 11
Sampai di lantai dua, Laila menghentikan langkah Tama. Dari dalam kantong baju gamisnya Laila mengambil dompet dan menegeluarkan ATM yang beberapa waktu lalu pernah diberikan Tama.
"Da, ini masih ada isinya ga?" tanya Laila dengan wajah lugu. Tama terbelalak mendengar pertanyaan perempuan di depannya ini. Sebenarnya kepala istrinya ini ada isinya ga ya? Tama benar-benar geram dibuatnya.
"Kamu mau beli mobil Brio pun dengan ATM itu masih akan bersisa duitnya. Kamu pikir saya pengusaha miskin? Ngasih ATM cuma buat gaya-gayaan?"
Kali ini Laila yang terbelalak mendengar ucapan Tama. Sampai tangan Laila gemetar memegang benda pipih itu. Waduh, kok banyak banget ya isinya. Rani pun tak kalah kagetnya. Enak betul Laila, dikasih ATM yang isinya begitu banyak, Rani merutuk dalam hati.
"Maaf, Da. Bukan maksud Laila begitu." Laila nyengir dengan rasa bersalah, bingung mau bilang apa. Tama melanjutkan langkahnya kembali. Wajahnya masih terlihat kesal.
"Da, Laila boleh pake isinya buat belikan Mak Eti dan Mba Susi baju daster ga?" Laila kembali menghentikan langkah Tama.
"Kan sudah Uda bilang, kamu boleh gunakan ATM itu untuk apapun yang kamu mau. Itu sudah menjadi hak kamu." Suara Tama sedikit melunak. Mata Laila berbinar.
"Aduh, makasih ya, Da." Rasanya Laila ingin memeluk Tama, tapi tentu saja itu tak mungkin. Laila tersenyum dengan sumringah. Rani menyimak semuanya dengan dada yang terasa makin sakit.
"Ayo, Da. Kita ke toko batik itu." Tunjuk Laila. Tama pun mengikuti langkah Laila yang telah bergegas menuju toko batik di belakang eskalator. Rani pun ikut dengan langkah gontai.
Laila tak butuh waktu lama untuk memilih. Dia memang bukan tipe perempuan yang ribet. Setelah mendapatkan dua daster batik untuk mak Eti dan dua untuk mba Sri, Laila pun menuju meja kasir. Tapi Tama telah duluan berada di dekat kasir. Tama mengeluarkan dompetnya. Laila menatap heran.
"Udah, simpan aja ATM kamu. Pake ini aja," ujar Tama dan menyerahkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah pada kasir.
"Tapi, Da. Ini kan Laila yang pengen belikan. Pake uang jatah Laila yang di ATM ini aja." Laila merasa tak enak hati.
"Kamu ga lihat, ga ada fasilitas untuk kartu debit di sini?" bisik Tama kesal. Kasir di depan Tama hanya senyum-senyum saja melihat tingkah dua orang di depannya itu.
"Oh." Wajah Laila bersemu merah.
"Makasih, ya Da." Laila memeluk kantong belanja yang berisi daster itu dengan suka cita. Tama tersenyum. Mendadak rasa kesalnya pada perempuan cantik itu menguap. Sikap dan gaya Laila yang apa adanya membuat Tama sulit untuk berlama-lama marah dan sakit hati.
Setelah itu mereka pun menuju parkiran.
"Mau sholat dulu atau makan siang dulu?" tanya Tama begitu mereka telah duduk di dalam mobil.
"Sepuluh menit lagi azan zuhur, Da. Mending kita sholat dulu, baru makan," ujar Laila.
"Oke, tapi kita cari mesjid di luar aja ya." Tama pun menjalankan mobilnya ke luar dari parkiran Mangga Dua. Laila hanya mengangguk mengiyakan.
Tak berapa jauh, Tama membelokkan mobilnya ke arah sebuah mesjid. Begitu sampai di parkiran mesjid, azan zuhur pun berkumandang. Laila merasa lega. Waktunya pas sekali. Uda begitu lama Laila tak sholat di mesjid. Hatinya rindu untuk sholat berjamaah dan mendengarkan kajian seperti pada masa-masa kuliah dulu.
Laila dan Rani menuju tempat wudhu akhwat. Dan Tama pun menuju tempat wudhu ihwan.
Setelah sholat zuhur berjamaah, Tama membawa Laila dan Rani ke restoran Padang tak begitu jauh dari mesjid tempat mereka sholat tadi. Sebelum pesanan datang, Tama bertanya pada Rani yang duduk di depannya.
"Kamu benaran pengen kerja di Jakarta, Ran?"
"Benaran, Da. Tapi di kantor Uda, ya?" jawab Rani dengan wajah berbinar ceria.
"Kalau kantor kan bukan punya Uda sendiri, tapi bertiga dengan Uda Arif dan Uda Zakaria. Jadi nanti Uda tanyakan dulu sama mereka, ya."
"Ya, Da."
"Tapi kalau nanti mereka setuju kamu kerja di kantor itu, kamu nanti tinggal di rumah khusus karyawan ya. Di sana kamu akan banyak teman. Karyawan toko dan karyawan kantor yang perempuan tinggal di sana semua."
"Kok, gitu, Da? Rani ga mau, Rani mau di rumah Uda aja. Rani kan bisa berangkat dan pulang bareng Uda." wajah Rani cemberut. Laila menoleh melihat gadis di sampingnya ini. Makin berani aja gadis ini ya, pikir Laila.
"Ya, ga bisa gitu, Ran. Kamu kan bukan muhrim Uda, walaupun Uda telah menganggap kamu sebagai adik sendiri. Ga mungkin tiap hari kita berangkat dan pulang selalu berdua." Tama berusaha memberikan penjelasan.
"Ya, jadiin mahrom kalau gitu," ujar Rani santai. Laila hampir terlonjak mendengar kata-kata Rani. Ya Allah, kok ada perempuan yang ga bisa menjaga perasaan perempuan lainnya ya. Tama pun terlihat sangat kaget. Wajah Tama berubah menjadi merah mendengar kata-kata Rani.
"Rani, jaga bicaramu. Hargai Uni Laila sebagai istri Uda. Di mana hati nuranimu bicara seperti itu di hadapan perempuan yang berstatus sebagiai istri Uda." Suara Tama terdengar penuh emosi.
"Cuma status kan, Da?"
"Cukup Rani!" Tama hampir berteriak. Rani terdiam. Begitu pelayan datang mengantarkan makanan, Laila berdiri.
"Laila ke kamar mandi dulu, Da." pamit Laila dengan suara bergetar. Tama mengangguk.
Setelah Laila pergi, Tama kembali bicara pada Rani.
"Kamu kan perempuan Rani. Coba kalau kamu yang berada pada posisi Laila, bagaimana perasaanmu." suara tama terdengar lebih lunak.
"Kalau Rani yang menjadi Laila, Rani ga akan pernah meninggalkan Uda di malam pertama kita."
"Rani, kamu ga berhak bicara seperti itu tentang apa yang pernah dilakukan Laila." Tama kembali menjadi emosi. Ternyata gadis yang satu ini memang tidak bisa dikasih hati.
"Tapi Rani punya hak untuk mencintai siapapun yang Rani mau. Dan Rani mencintai Uda sejak masih kecil dulu. Kenapa Uda tak mau mengerti perasaan Rani." kini Rani terisak. Tama menjadi serba salah.
Laila yang telah ke luar dari kamar mandi, berdiri tak jauh dari meja Tama dan Rani. Langkah Laila terhenti begitu mendengar kata-kata Rani. Ternyata Rani benar-benar mencintai Tama. Lalu dia? Apakah ia pantas untuk laki-laki itu jika tak ada cinta di hatinya?
Tama mengangkat kepalanya dan menemukan Laila yang berdiri mematung di belakang Rani. Tama menganggukkan kepalanya pada Laila, menyuruh Laila untuk segera duduk. Laila pun mendekat. Meski rasanya berat, Laila kembali duduk di antar Tama dan rani.
"Ayo, makan," ajak Tama. Meski tak ada lagi yang merasa berselera melihat makanan di depan mereka, tapi mereka tetap mengambil nasi dan lauknya. Mereka bertiga pun makan dalam diam.
****
Dari rumah makan Padang, Tama menuju Senayan City. Seperti janjinya, Tama akan mengambilkan baju di butiq nya buat Laila. Di sepanjang jalan, mereka hanya diam. Hanya lagu Naff yang meningkahi keheningan mereka.
Laila sampai tertidur karena cukup lama mereka terjebak macet. Begitu sampai di tempat parkir, Tama membangunkan Laila yang terlihat begitu nyenyak. Laila membuka matanya dan terlihat wajah Tama yang berada tak begitu jauh dari tempat duduknya. Laila reflek menarik tubuhnya.
"Udah sampai, da?"
"Udah, ayo." ajak Tama seraya turun.
Laila pun bergegas membuka pintu di sampingnya sebelum Tama datang membukakan pintu. Mall terlihat tak terlalu ramai. Mungkin karena masih jam kerja. Tama berjalan di depan, Laila dan Rani mengikuti dari belakang.Tak berapa lama mereka sampai di butiq Tama yang terletak di lantai satu.
Baju gamis polos berwarna soft, terlihat begitu mewah. Laila menelan ludahnya. Ini sangat berbeda dengan yang di Mangga Dua tadi.
"Wah, Pak Tama, bawa Ibu, ya," karyawan perempuan Tama yang berjumlah tiga orang menyambut mereka di pintu masuk. Lalu mereka menyalami Laila dengan hormat. Mereka juga telah mengenali wajah Laila dari foto profil di WA bos mereka itu. Lalu mereka pun menyalami Rani yang wajahnya terlihat tak ramah.
"Silakan, Bu, siapa tahu Ibu ada yang suka," ucap salah seorang karyawan Tama dengan ramah.
"Iya, makasih," jawab Laila dengan senyum yang selalu manis.
"Pilihlah mana yang kamu suka. Ambil berapapun yang kamu mau," bisik Tama di telinga Laila. Laila hanya tersenyum.
Laila memegang satu per satu gamis-gamis cantik di depannya. Laila melihat brand yang terletak di belakang leher gamis yang dipegangnya. Mata Laila membulat, ya Tuhan, ini kan brand perancang terkenal yang desain-desainnya pernah Laila lihat di istagram teman kampusnya. Lalu Laila melihat harganya. Laila bergidik sendiri melihat angka yang tertera di sana.
Tidak ... tidak ... ia tidak akan membeli baju yang harganya bisa untuk makan mereka satu bulan di kampung. Laila menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa?" Tama yang sedari tadi memperhatikan Laila merasa heran melihat tingkah Laila.
"Ga ada yang suka?" tanya Tama. Laila mengangguk, tapi kemudia menggeleng. Tama terbahak melihat Laila.
"Kenapa sih?" Tama merasa penasaran melihat ekspresi wajah perempuan di sampingnya ini. Sementara Rani yang tadi kelihatan sendu, sekarang sudah riang lagi begitu melihat baju-baju cantik di depan matanya.
Karyawan Tama pun memperhatikan Laila dan senyum-senyum melihat tingkah istri majikan mereka itu.
"Uda, ga usah aja, ya. Besok aja kapan-kapan, Laila ambil baju yang Mangga Dua lagi," bisik Laila di telinga Tama. Kening Tama mengernyit. Ada apalgi dengan perempuan yang satu ini. Uh, wanita memang makhluk aneh. Memang sulit untuk dipahami.
Tadi sewaktu memasuki butiq terlihat wajah dan tatapan mata terpesona Laila pada gamis-gamis di butiqnya. Tapi sekarang bilang ga usah. Sekarang Tama yang geleng-geleng kepala.
"Memang kamu ga ada yang suka? Gamis-gamis seperti ini kamu ga pengen?" Tama memastikan lagi pada Laila. Laila terlihat nyengir.
"Hihihi, suka sih, Da. Tapi lihat itu, harganya, Da. Sayang duitnya, Da," bisik Laila lagi dengan wajah merona malu. Laila malu kalau Tama tahu ia menyukai gamis-gamis di hadapannya ini.
"Siska, Ria, kamu packing ya, yang best seller ama yang baru masuk bulan ini, sepuluh buah, size M semua ya," ujar Tama seraya berlalu ke meja kasir.
"Sepuluh , Pak?" tanya Siska dan Ria bersamaan. Laila pun melongo. Sepuluh? Apa itu untuk dia? Apa laki-laki ini ingin bangkrut?
"Iya, sepuluh? Kenapa?" Tama balik bertanya.
"Tapi yang best seller masing-masing size cuma sisa satu lho, Pak." Ria mencoba menjelaskan.
"Lalu apa masalahnya?"
"Ga, Pak. Ga ada masalah." Lalu Siska dan Tia pun bergeas masuk ke ruang dalam butik. Mereka segera membungkus pesanan bos mereka. Enak betul ya jadi istri bos, pikir mereka. Mereka aja udah bertahun-tahun kerja di butiq ini belum pernah nyoba baju-baju mahal seperti ini. Hehe, Siska dan Ria tertawa sendiri dengan pikiran bodoh mereka.
"Uda, aku boleh ambil satu, ga?" tiba-tiba Rani telah berada di depan meja kasir Tama dengan membawa sebuah gamis berwarna mocca.
"Kamu kan ga pernah pake gamis. Mubazir aja kalau kamu ngambil." Tama kelihatan keberatan Rani minta gamis yang di butiq ini.
"Tapi kalau ke pesta kan aku bisa juga pake gamis, Da." Rani cemberut. Tama melihat pada Laila ingin minta pendapat. Tapi Laila terlihat acuh.
"Ya, udah. Cuma satu, ya. Ga ada lagi yang lain." Kali ini suara Tama terdengar tegas.
"Makasih, Da." Rani bersorak girang. Akhirnya bisa juga ia punya baju mahal.
Tak berapa lama, Siska dan Rani ke luar dari ruang dalam butiq. Tangan mereka menenteng tas besar yang terbuat dari bahan kertas. Logo SF tertulis di bagian depan kantong berwarna merah maron itu. Ada lima kantong besar yang mereka pegang. Siska dan Ria pun menyerahkannya pada Tama.
"Ini, Pak."
"Oke, makasih. Saya bayar aja pakai kartu ya, biar pembukuan dan laporan kalian nanti ga bermasalah." Tama pun menyerahkan kartu debitnya pada Debby, kasir di butiq ini. Debby menerimanya dengan tersenyum.
"Rani, sekalian bawa ke sini, ya." Tama memanggil Rani yang masih asyik melihat-lihat gamis. Rani pun berjalan mendekat ke meja kasir dan menyerahkan gamis pilihannya.
Setelah selesai transaksi, Tama pun menenteng kantong-kantong belanjaan buat Laila ke mobil. Tama hanya merasa bertanggung jawab telah memberikan seluruh pakaian Laila pada Rani kemarin. Tak apalah jika ia menggantinya dengan yang lebih bagus.
Tapi begitu ke luar Mall sebelum sampai di parkiran, seseorang mengehentikan langkah mereka.
"Laila!" seorang laki-laki yang akan memasuki mall tiba-tiba memanggil Laila. Laila menoleh.
"Kak Fadil?" mata indah Laila mengerjap, tak percaya ia bisa bertemu dengan kakak kelasnya itu di sini. Ada debaran halus di dadanya begitu melihat laki-laki di hadapannya ini. Fadil pernah menyukai Laila dan Laila pun pernah menyukainya. Tapi Laila terpaksa menolak cinta laki-laki itu karena tak ada istilah pacaran dalam keluarga besar mereka.
"Lagi apa di sini?" tanya Fadil tanpa mengalihkan tatapannya pada perempuan cantik di depannya ini. Bertahun ia mencoba menghilangkan perasaannya pada Laila, tapi ia tak pernah mampu. Cinta di hatinya untuk Laila masih bertahta dengan indah.
"Kenalkan, Kak, ini suami Laila." Laila menangkap sikap tak bersahabat Tama pada Fadil.
"Oh, kamu sudah menikah?" terdengar suara kecewa Fadil. Raut wajah laki-laki itu pun berubah. Sungguh tak dapat ia menyembuyikan luka hatinya mendengar Laila telah menikah. Pupus sudah harapannya. Dengan lemah, Fadil mengulurkan tangannya pada Tama. Tama menyambutnya dengan gagah.
"Fadil."
"Tama."
"Ayo, Laila." Tama berjalan mendahului, diikuti Rani yang tersenyum senang. Bakal ada jalan nih, bisik hati Rani.
"Laila pamit, Kak." Laila pun menyusul langkah Tama.
"Laila!" suara Fadil kembali memanggil Laila. Laila menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Fadil, begitu juga dengan Tama.
"Apa itu artinya kamu tak akan pernah mengejar impianmu? Mengajar bahasa Indonesia ke luar negeri?" suara Fadil terdengar parau. Laila tertegun mendengar pertanyaan Fadil. Dada Laila terasa sesak. Kata-kata Fadil mengusik lagi bilik hatinya tentang impian dan cita-citanya yang belum sempat terwujudkan.
"Entahlah, Kak." Laila hanya menggeleng. Laila berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya. Tama menggenggam kuat tali kantong pakaian di tangannya. Itukah alasan perempuan ini meninggalkannya di malam pernikahan mereka? Tama kembali diingatkan dengan malam menyakitkan itu. Ada yang kembali berdarah di hatinya.
bersambung ....
Belum ada tanggapan untuk "Masih Adakah Surga Untukku Episode 11"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.