#Masih Adakah Surga Untukku Episode 20
#Laila
Tiba-tiba Tama terbahak. Tiba-tiba Tama merasa telah pulih dari
sakitnya. Melihat wajah kaget dan cemas Laila, Tama merasa sangat lucu.
"Uda cuma bercanda. Sana pergilah wudu dan salat isya. Maaf ya,
gara-gara ngurus Uda sakit kamu jadi terlambat salat isyanya." Tama
menatap Laila dengan tatapan penuh cinta. Laila menjadi tersipu malu.
Ternyata Tama hanya menggodanya. Laila merasa amat malu telah menanggapi
dengan ekspresi yang begitu serius.
Dengan senyum yang terukir
di bibirnya, Laila masuk ke dalam kamar mandi. Tama pun melakukan hal
yang sama, senyum-senyum sendiri mengingat ekspresi kaget Laila tadi.
Menjadi candu bagi Tama untuk membuat istrinya itu merona dan tersipu
malu.
Tama merasa sedikit baikan setelah Laila mengompresnya
hampir dua jam lebih. Entah karena panasnya telah pindah ke handuk kecil
yang digunakan Laila untuk mengompres atau karena perhatian dan
kecemasan Laila padanya.
Laila ke luar dari kamar mandi.
Wajahnya terlihat segar setelah dibasuh air wudu. Laila memakai
mukenanya dan membentangkan sajadah. Ia pun mengangkat kedua tangan dan
bertakbiratul ihram. Laila mulai menghamba pada Tuhannya dengan khusyuk.
Tama memperhatikan gerakan salat istrinya dengan ujung matanya.
Selesai salat, berzikir dan berdoa pada sang penggenggam jiwa, Laila
bangkit. Laila melipat mukena dan sajadahnya. Setelah itu, ia pun
mendekati Tama.
"Uda sanggup bangun untuk bertayamum?"
"Insyaallah, tapi bantu, ya." Tama pun memiringkan tubuhnya dan mencoba
duduk. Laila meletakkan tangannya di belakang punggung Tama dan membantu
suaminya itu untuk duduk.
Ditumpuknya beberapa buah bantal di
belakang punggung Tama. Tama pun menyandarkan punggung dan kepalanya di
bantal yang telah disediakan Laila.
"Laila ambil papan tayamumnya bentar ya, Da."
"Ya." Tama mengangguk.
Laila bergegas ke luar dan mengambil papan persegi berukuran 50 x 50
cm. Papan itu khusus digunakan untuk tayamum jika ada anggota keluarga
yang sedang sakit dan tidak kuat berwudu dengan air.
Papan tipis
itu dibiarkan terbuka sehingga sudah banyak debu yang menempel di
atasnya. Laila masuk seraya membawa papan tayamumnya. Laila duduk
kembali di samping tempat tidur. Diletakkannya papan itu di atas
pangkuan Tama.
"Ayo, Da. Tayamum dulu. Tahu kan caranya?"
"Ya, tahu lah. Gini-gini Uda kan belajar agama juga dulunya di sekolah."
"Alhamdulillah. Ayo niat dulu."
Tama membaca basmallah dan mengucapkan niat dalam hati. Setelah itu
diletakkannya kedua telapak tangannya di atas papan persegi itu,
meniupnya dua kali dan menyapukan telapak tangannya ke wajahnya.
Kemudian Tama kembali meletakkan tangannya ke papan dan meniupnya dua
kali, lalu menyapukannya ke tangan kanan dan tangan kiri.
"Uda
kuat kan salat di sajadah? Sambil duduk aja nggak apa-apa." Laila
kembali mengambil sajadah dan membentangkannya di samping tempat tidur.
Tama menurunkan kedua belah kakinya dari tempat tidur, lalu berdiri dan
menuju sajadah. Kepalanya masih terasa sedikit pusing dan tubuhnya juga
masih terasa amat dingin. Tama pun memilih untuk salat sambil duduk.
Laila meninggalkan Tama yang sedang salat dan pergi ke dapur.
Dipanaskannya air dan disiapkannya cangkir. Laila membuatkan teh untuk
Tama. Teh panas bisa menambah tenaga dan menghangatkan tubuh. Laila
membawa teh yang telah dibuatnya ke dalam kamar dan meletakkannya di
nakas.
Laila menunggu Tama selesai salat dengan duduk di pinggir
tempat tidur. Tak berapa lama Tama mengakhiri salatnya dengan salam. Ia
melanjutkan dengan zikir dan doa. Setelah itu Tama pun bangkit dan
duduk di samping Laila.
"Bisa kita bicara sekarang?" Tama
menyentuh jemari tangan Laila dan menggenggamnya dengan erat. Laila tak
mengelakkan tangannya tapi juga tak membalas genggaman tangan Tama.
Laila mengangguk.
"Uda minta maaf atas WA dari Andi yang telah
kamu baca. Dua hari setelah kamu pergi pada malam pernikahan kita itu,
Uda langsung balik ke Jakarta. Pikiran Uda benar-benar tak menentu
karena kamu tinggal begitu aja. Meski waktu itu jujur belum ada perasaan
apa-apa di antara kita, tapi kepergianmu merupakan pukulan berat buat
Uda." Tama berhenti sejenak. Tama menoleh pada Laila. Dilihatnya Laila
yang menundukkan wajah, menghindari tatapan Tama.
"Semua
teman-teman dan pegawai-pegawai di toko dan kantor menanyakanmu. 'Mana
istrimu, Tama.' Uda benar-benar tak punya muka untuk menjawab. Uda juga
tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya pada malam ketujuh kepergianmu
itu, Uda kumpul-kumpul seperti biasa dengan teman-teman Uda. Entah
mengapa malam itu, karena pikiran yang mulai kurang waras, Uda minta
dibelikan minuman pada salah seorang teman. Dan untuk pertama kalinya,
Uda meneguk minuman keras. Tak banyak yang Uda minum, tapi efeknya cukup
untuk menghilangkan kesadaran."
Tama kembali berhenti.
Dihirupnya udara sebanyak-banyaknya agar dadanya yang sesak kembali
terasa lapang. Laila memejamkan matanya. Semua itu karena salahnya.
Laki-laki ini sampai menyentuh minuman haram itu karena dirinya.
Astaghfirullah, Laila beristighfar berulang kali dalam hati.
"Lalu dalam keadaan setengah sadar itulah Uda meracau mengatakan ingin
membalaskan sakit hati Uda padamu. Uda mengatakan akan membuatmu
merasakan sakit seperti sakit yang Uda rasakan. Jujur, apa yang kamu
lakukan sangat menyakitkan." Laila masih diam mendengarkan semua
kata-kata Tama. Sekarang Laila bisa mengerti, memang pantas saja jika
laki-laki itu punya pikiran seperti itu padanya. Kalau ia yang berada di
posisi suaminya ini, Laila yakin barangkali akan terlintas juga pikiran
seperti itu.
"Lalu kamu datang pada hari itu. Awalnya memang
sangat sulit untuk menerimamu kembali. Hati ini masih terasa sakit.
Sulit sekali untuk memaafkanmu dengan iklas. Tapi berhari-hari
menyaksikanmu berusaha melayaniku dengan sepenuh hati, menyediakan teh
setiap pagi, menyiapkan sarapan, makan malam, menyiapkan pakaian.
Melihatmu salat tahajud di sepertiga malam, pelan-pelan hatiku mulai
terbuka. Aku bisa melihat kalau kamu sebenarnya perempuan yang baik."
Tama menarik tangan Laila yang berada dalam genggamannya. Diciumnya tangan Laila dengan penuh perasaan. Laila membeku.
"Malam ini ingin aku katakan bahwa aku mencintaimu." Tama meletakkan
tangan Laila di dadanya. Diam-diam air mata Laila menetes. Tuhan masih
adakah pintu maaf untukku? Mengapa aku kembali melakukan kesalahan yang
sama? Menyakiti laki-laki terbaik yang telah engkau kirim untukku. Laila
terisak. Ia bangkit dan jongkok di depan Tama.
"Boleh Laila
memeluk, Uda?" dengan pipi basah Laila menjatuhkan wajahnya di pangkuan
Tama. Laila terisak. Tama pun tak dapat menahan buliran bening itu.
Satu-satu air mata jatuh membasahi pipinya. Diusapnya kepala Laila
dengan lembut. Mereka bertangisan dalam diam.
"Terima kasih ya Allah." Tama mengucap syukur berulang kali dalam hati.
"Apapun yang terjadi dalam rumah tangga kita, jangan pernah pergi lagi.
Sungguh Uda tak dapat hidup tanpamu." Tama menunduk dan mencium puncak
kepala Laila dengan begitu dalam. Laila mengangkat wajahnya, ditatapnya
wajah suaminya dengan mata yang basah. Laila mendekatkan wajahnya pada
Tama. Lalu bibirnya menyentuh bibir Tama dengan lembut. Bibir Tama
terasa masih panas. Tama tertegun.
"Laila juga mencintai Uda
dengan sepenuh jiwa. InsyaAllah semua karena Allah. Laila berjanji,
akan selalu mendampingi Uda dalam setiap suka maupun duka." Laila
mensejajarkan tubuhnya dengan Tama dan memeluk leher Tama begitu erat.
Tama pun merengkuh tubuh istrinya. Meraka berpelukan dengan debaran di
dada yang makin bertalu.
"Uda istirahat, ya. Biar besok pagi
sudah sehat kembali." Laila melepaskan pelukannya. Tama tersenyum dan
mengusap kedua belah pipi istrinya yang basah.
"Terima kasih,
Sayang." Tama mengecup kening Laila. Laila tersenyum. Tuhan begitu indah
takdirmu, bisik hati Laila dengan rasa bahagia yang tak sanggup
diungkapkannya.
"Uda mau duduk nyandar dulu bentar, ya." Tama
kembali menaikkan kedua belah kakinya ke atas kasur dan menyandarkan
punggungnya ke bantal.
"Itu teh buat Uda?"
"Iya, Da. Minum
ya, biar badan Uda hangat dan kuat." Laila menjangkau cangkir teh lalu
menyendokkan air teh ke mulut Tama. Tama membuka mulutnya dan meminum
teh hangat itu dengan hati diliputi bahagia. Laila terlihat begitu
cantik malam ini. Duh, ada sesuatu yang tak dapat ditahan Tama. Gejolak
di dalam tubuhnya sebagai seorang laki-laki normal. Dan rasanya Tama
telah benar-benar sehat saat ini. Kepalanya sudah tidak terasa pusing
lagi. Hanya badannya yang masih terasa agak hangat.
Tama
mengambil cangkir teh di tangan Laila dan meletakkannya di nakas,
samping tempat tidur. Tama menatap Laila begitu dalam. Dada Laila
kembali berdentum-dentum. Laila menunduk, tak sanggup rasanya menerima
tatapan Tama seperti itu.
"Sayang, rasanya Uda telah benar-benar
sehat. Apakah kamu ingin menyempurnakan dirimu sebagai seorang istri?"
Tama menyentuh dagu Laila dengan ujung tangannya dan mengangkatnya
dengan lembut.
Ya, Tuhan. Laila benar-benar tak sanggup rasanya.
Apa harus malam ini? Tapi bukankah malaikat akan melaknat seorang istri
yang menolak ajakan suaminya untuk melayaninya hingga sang suami
kembali rida padanya.
Laila membeku. Tama menarik tangan Laila
untuk mendekat. Laila yang merasa tubuhnya tak bertenaga hanya bisa
menurut. Tama merengkuh tubuh Laila ke dalam pelukannya. Tak ada
penolakan dari Laila. Cinta telah begitu besar di dadanya untuk menerima
semua perlakuan suaminya ini.
Dan malam yang dingin pun menjadi
hangat bagi mereka berdua. Akhirnya mereka benar-benar menyatu dalam
ikatan suci. Tama merasa amat tersanjung, istrinya telah menjaga
kesuciannya dan telah mempersembahkan padanya pada malam ini.
"Terima kasih, Sayang." Tama mencium kening istrinya dengan penuh kasih.
Mereka berpelukan dalam satu selimut. Laila tersenyum dan mengangguk.
Terima kasih Tuhan, bisik Laila dalam hati.
Belum ada tanggapan untuk "Masih Adakah Surga Untukku Bagian 20"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.