#Masih Adakah Surga Untukku 15
#Laila
Setelah tangis Laila reda, Tama melepaskan pelukannya.
"Mau ke mana sekarang? Lihat Monas atau mau ke pantai?" Tama bersiap menjalankan mobilnya ke luar dari parkiran.
"Di Jakarta ada pantai?" mata Laila kembali berbinar. Tama tertawa mendengar pertanyaan Laila.
"Ya, ada lah. Memang Padang aja yang punya pantai." Tama pun mulai menjalankan mobil keluar dari parkiran.
"Jauh ga, Da." Laila menoleh pada Tama.
"Namanya Jakarta, kalau lagi macet, semua ya jadi jauh."
"Nanti Uda capek." Laila merasa tak enak hati.
"Kalau nanti capek, kan ada kamu yang bisa pijitin." Tama memandang Laila dengan senyum menggoda.
Wajah Laila merona lagi. Rasanya sehari ini entah sudah berapa kali wajahnya bersemu seperti itu. Laila tak mampu menjawab apa-apa. Malu rasanya. Laila pun mengalihkan pandangannya ke luar kaca mobil di sampingnya.
Tama tersenyum melihat Laila tersipu malu seperti itu. Mobil pun membelah keramaian kota Jakarta. Hampir satu setengah jam, akhirnya mereka pun sampai di Ancol. Laila ternyata tertidur sedari tadi. Tama membiarkan Laila tidur selama perjalanan. Tama merasa kasihan untuk membangunkannya.
Setelah memarkirkan mobil di pinggir jalan raya yang tidak terlalu jauh dari pantai, Tama pun menyentuh pundak Laila dan menepuk-nepuknya dengan lembut.
"Laila, bangun. Sudah sampai." Mata Laila terbuka perlahan.
Dan begitu melihat pemandangan di depannya, Laila tak dapat menyembunyikan rasa bahagia dan gembiranya.
"Wah, pantai. Indah sekali, Da." Laila bergegas turun. Tak sabar rasanya ia ingin berjalan di pasir putih dan menikmati ombak yang datang membasahi telapak kakinya.
"Kita salat ashar dulu, ya. Udah kelewat waktunya." Tama pun mengajak Laila menuju musala yang tidak begitu jauh dari tempat mereka parkir. Laila menurut, ia mengikuti langkah kaki Tama.
Setelah sampai di musala mereka pun mengambil wudu dan segera melaksanakan sholat. Beberapa pengunjung pun masih banyak yang melaksanakan salat ashar.
Selesai salat, Laila bergegas menuju pantai. Ia sudah tak sabar ingin menikmati angin laut dan deburan ombak. Tama mengikuti langkah kaki Laila. Orang-orang terlihat ramai sedang menikmati suasanan sore hari di pantai Ancol.
Tama mengeluarkan kamera ponselnya dan mendekati Laila yang telah berjalan di pinggiran pantai.
"Laila, sini." Tama memasang mode selfi di kameranya. Laila mendekat. Tama merengkuh bahu Laila lalu mengambil foto mereka berdua dengan latar laut.
Dada Laila berdegup kencang berada dalam pelukan tangan Tama. Laila berusaha tersenyum ke arah kamera. Tama mengambil beberapa pose mereka. Dalam hati Tama tertawa sendiri, sekian lama ia tinggal di Jakarta, baru kali ini ia berfoto dan berselfi ria di Ancol. Ternyata seorang Laila bisa mengubah sikap dan perilakunya.
"Mau foto sendiri?" Tama mengganti mode kameranya. Laila menggeleng.
"Ayo lah, ini pertama kali kamu ke Ancol kan." Tama pun mengarahkan ponselnya ke arah Laila. Lalu tanpa menunggu Laila bersiap-siap, Tama mengambil beberapa gambar Laila. Berbagai pose cantik terekam dalam kamera Tama. Tama tersenyum puas melihatnya.
"Apaan sih, Da." Laila protes melihat Tama mengambil beberapa gambarnya.
"Cantik kok." Tama pun kembali menyimpan ponselnya ke dalam kantong celananya. Sementara Laila telah berjalan menjauh, berjalan di sepanjang bibir pantai. Tama pun mempercepat langkahnya mengejar langkah Laila.
"Jangan jauh-jauh, nanti kamu diculik orang." Tama meraih tangan Laila dan menggenggamnya dengan erat. Laila menoleh dan Tama pun sedang menatapnya. Uh, Laila menghempaskan napasnya kuat-kuat membuang rasa sesak. Selalu saja begitu setiap laki-laki ini menatapnya.
Mereka pun menikmati angin pantai sampai sunset menghiasi langit laut Ancol. Laila berulang kali mengucapkan tasbih memuji nama Allah melihat keindahan ciptaanNya. Setelah melaksakan sholat magrib di mushalla mereka sholat tadi, Tama dan Laila pun segera pulang ke rumah.
Mereka sampai di rumah pukul 09.30 malam. Laila merasa begitu lelah. Mereka masuk ke rumah tanpa membangunkan mak Eti, karena Tama membawa kunci serap. Mereka pun naik ke lantai dua, ke kamar Tama. Sesampai di kamar, Laila membuka jilbabnya dan langsung membaringkan tubuhnya karena merasa sangat lelah.
"Eh, ganti baju dulu." Tama duduk di tempat tidur dan menggoyang tangan Laila.
"Iya, Da. Bentar lagi." suara Laila terdengar lemah. Tak berapa lama mata Laila pun terpejam dan ia telah terbang ke alam mimpi. Tama geleng-geleng kepala lihat tingkah Laila.
Syukurnya mereka telah salat isya tadi di jalan.
Tama mengambil selimut dan menyelimuti tubuh Laila. Setelah itu Tama mengambil pakaian tidurnya dan membawanya ke dalam kamar mandi. Setelah bersih-bersih dan berganti pakaian, Tama pun ke luar dari kamar mandi. Dilihatnya Laila yang telah tertidur lelap.
Tama menuju ruang sebelah. Ia membaringkan tubuhnya di sofa tidur di ruang TV. Entahlah, ia masih ragu untuk mengambil tempat di samping istrinya itu. Hubungan mereka memang sudah semakin membaik. Tapi apakah Laila telah siap untuk seranjang dengannya? Tak berapa lama Tama pun tertidur.
*****
Pukul 03.00 dinihari Laila terbangun. Laila teringat tadi malam langsung tertidur begitu membuka jilbab tanpa mengganti pakaiannya. Dan Laila sadar, selimut telah menutupi seluruh tubuhnya. Berarti Tama lah yang telah menyelimutinya tadi malam. Hati Laila menghangat. Bibirnya tersenyum manis.
Laila turun dari tempat tidur, lalu masuk ke kamar mandi. Ia berniat untuk berwudhu. Ternyata tamu bulanannya datang. Laila pun segera ke luar dari kamar mandi dan mengambil baju tidurnya. Ia mengganti gamis yang telah dipakainya seharian kemarin.
Laila berniat untuk ke kamar tamu mencari pembalut yang ditinggalkannya di laci lemari ruang tamu. Sebelum turun ke bawah, Laila pun menuju ruang sebelah. Dan matanya menangkap sosok Tama yang tengah bergelung di sofa tidur ruang nonton TV itu.
Laila manatap Tama dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bersalah di hati Laila melihat Tama tidur tak nyaman seperti itu. Karena dirinya memakai kamar dan tempat tidur Tama, Tama jadi tak bisa beristirahat dengan nyaman di kasurnya. Sungguh Laila merasa tak enak hati. Nyatanya laki-laki itu tak mau tidur seranjang dengannya.
Dengan perasaan resah, Laila pun turun ke bawah menuju ruang tamu. Dibukanya laci lemari dan ia bersyukur, ternyata masih ada pembalutnya di dalam laci tersebut. Laila pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah itu, Laila membersihkan kamar tamu yang telah ditempati Rani. Laila pun berpikir, mungkin sebaiknya ia kembali tidur di kamar ini, agar Tama kembali bisa tidur dengan nyaman di kamarnya. Mungkin sampai laki-laki itu benar-benar bisa menerima dirinya.
Selesai membersihkan dan merapikan kamar, Laila pun menuju dapur. Laila mencari bahan-bahan untuk membuat mie goreng kuning. Kemarin ia melihat ada mie kuning dalam kulkas. Setelah mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan, Laila pun meracik bumbunya. Ia ingin membuatkan sarapan yang enak untuk Tama.
Tak berapa lama terdengar adzan subuh berkumandang. Lalu terdengar pintu kamar mak Eti terbuka dan terlihat wanita paruh baya itu ke luar seraya menyanggul rambutnya.
"Laila?" Mak Eti melihat heran ke arah Laila.
"Eh,Mak Eti. Sudah bangun Mak? Terganggu ya karena suara ribut Laila?" Laila berkata sambil nyengir ke arah mak Eti.
"Ga, memang udah bangun. Kan udah adzan."
"Hehe, iya Mak."
"Nak Laila sedang apa?" Mak Eti melihat bumbu yang telah dipersiapkan oleh Laila.
"Ini Mak, mau bikin mie goreng kuning. Laila lihat bahannya ada di kulkas."
"Oh, iya. Nak Tama suka tuh mie goreng kuning."
"Eh, Laila belum bangunkan Uda Tama, Mak." Laila teringat suaminya yang sepertinya masih tidur begitu mendengar nama Tama disebut Mak Eti.
"Ya udah, sana. Bangunkan suamimu."
"Tapi itu biar Laila yang bikin semuanya ya, Mak," ucap Laila seraya bergegas menaiki anak tangga.
"Iya, tenang aja. Ga akan Mak ganggu," jawab Mak Eti seraya bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudu.
Sesampai di kamar, Laila pun menuju ruangan tempat Tama tidur. Terlihat laki-laki itu masih nyenyak dalam tidurnya. Laila berjalan mendekat. Lalu berjongkok di samping Tama.
"Da, bangun." Laila menepuk pundak Tama lembut. Tapi Tama masih belum bergeming.
"Da, bangun. Udah adzan." kembali Laila menepuk bahu Tama. Terdengar gumaman tak jelas dari mulut Tama, lalau mata laki-laki itupun terbuka.
Di depannya terlihat wajah seorang wanita cantik. Mata Tama mengerjap.
"Ayo, bangun." Laila menepuk pipi tama lembut. Tama pun tersadar. Duh, begini rasanya pagi-pagi ada yang membangunkan, Tama tersenyum dalam hati. Ternyata begitu bahagia memiliki seorang istri yang mengurus dan melayani semua kebutuhan kita, bisik hati Tama.
Tama pun duduk dan sedetik kemudian berdiri. Laila ikut berdiri.
"Mau mandi atau mau wudu aja, Da?"
"Mandi?" Tama memandang Laila heran.
"Iya, kalau mandi, Laila siapkan pakaian Uda sekarang," ucap Laila seraya menuju lemari pakaian.
"Tapi kita ga ngapa-ngapain kan tadi malam?" tanya Tama dengan pandangan menyelidik pada Laila.
"Apaan sih, Da?" wajah Laila langsung memerah menahan malu. Tama terbahak melihatnya. Tama senang telah berhasil menggoda Laila d waktui subuh seperti ini. Masih subuh begini, wajah perempuan itu sudah merona cantik. Hati Tama berdesir melihat tatapan malunya.
Dengan hati yang masih diliputi rasa malu, Laila pun menyiapkan pakaian untuk sholat Tama, sekaligus pakaian kerja untuk suaminya itu. Laila meletakkannya di atas tempat tidur dan segera ke luar kamar untuk turun ke bawah. Laila ingin melanjutkan kegiatan memasaknya. Membuatkan sarapan untuk Tama.
Tama yang telah selesai mandi dan berwudu, ke luar dari kamar mandi. Ia tak mendapati Laila lagi di kamar. Tama pun bergegas memakai baju salatnya. Hatinya selalu merasa bahagia melihat pakaiannya telah tersedia di atas kasur. Ternayata tak sulit juga untuk membahagiaakan seorang suami. Cukup lakukan hal-hal kecil seperti itu, hatinya telah dipenuhi rasa suka cita.
Setelah rapi, Tama pun segera turun ke bawah. Tama menuju ruang sholat. Namun dilihatnya Laila tak di ruang salat seperti biasanya. Dilihatnya Laila malah asyik di dapur. Entah apa yang dikerjakannya. Kening Tama berkerut.
"Laila, kamu nggak salat?" Tama mendekati Laila sebelum masuk ke ruang salat.
"Aku lagi halangan, Da." suara Laila terdengar agak pelan.
"Oh..., trus kamu lagi ngapain?" tanya Tama lagi.
"Bikinkan sarapan untuk Uda," Laila tersenyum manis. Tama kembali terpana.
"Bikin yang enak, ya." Tama pun cepat-cepat meninggalkan Laila menuju ruang salat. Bisa telat dia subuh jika masih berdiri di sana menyaksikan senyum indah perempuan itu.
Setelah salat, Tama duduk di ruang keluarga. Tak biasanya dia begitu, biasanya ia akan langsung naik ke kamarnya. Entahlah, rasanya ia tak ingin jauh-jauh dari wanita yang sedang membuatkan sarapan untuknya itu. Mengingat istrinya sedang sibuk memasak untuk dirinya, hati dan dada Tama berdebar. Begitu indah hidup ini terasa, Tama tersenyum sendiri.
Laila datang membawakan teh hangat untuk Tama.
"Minum, Da."
"Ya, makasih, ya."
"Kamu masak sendiri? Mak Eti mana?"
"Mak Eti sedang membersihkan kamar mandi di ruang tamu, Da. Laila tadi yang suruh."
"Oh, jangan terlalu repot, nanti kamu capek." Tama menatap Laila dengan lembut. Ya Allah, perhatian sekali laki-laki ini. Rasanya Laila ingin mencium pipinya atau memeluknya seperti kemarin.
"Nggak repotlah, Da. Cuma bikin sarapan untuk suami." Laila pun berlalu ke dapur. Tinggal lah Tama yang bengong sendiri. Untuk suami? Aduh, indah sekali kata-kata itu terdengar di telinga Tama. Hati ... tolong hati ... jangan terlalu riuh begini. Tama senyum-senyum sendiri.
Tepat pukul 06.30, Laila pun selesai menghidangkan sarapan di atas meja makan. Laila mendekati Tama yang asyik menonton berita di televisi.
"Sarapan sekarang, Da?"
"Sudah selesai?"
"Sudah, Da." Laila mengangguk
"Tapi temani, ya." pinta Tama. Laila kembali mengangguk. Tama pun segera berdiri dan berjalan beringan ke ruang makan.
"Ga ganti dulu sarungnya, Da?" tanya Laila yang heran melihat Tama masih berkain sarung.
"Nanti aja, sekalian ganti buat pergi kerja." Tama pun mengambil temapt duduk di kursi biasa dia duduk.
Laila mengambil tempat duduk di depan Tama.
"Hei, kamu kenapa duduk di situ. Ayo sini." Tama menarik kursi di sampingnya. Laila pun kembali bangkit dan pindah ke sampingTama.
"Nah, begini kan kamu lebih gampang mau melayani suami." Tama menoleh pada Laila dan mengedipkan matanya. Lagi-lagi dada Laila berdebar aneh mendengar ucapan Tama.
Laila meletakkan piring yang telah diisnya dengan mie goreng, telur mata sapi, irisan timun, tomat dan taburan bawang goreng. Tama mulai memakannya. Begitu juga dengan Laila.
"Mmhhh, enak." Tama memakan mie gorengnya dengan nikmat. Bumbu dan rasa mie goreng itu terasa pas di lidah Tama.
"Benaran, Da?" Laila menatap tama dengan mata berbinar. Senang rasanya suaminya itu mengatakan masakannya enak. Berarti laki-laki itu menyukai masakannya. Laila tersenyum bahagia.
"Benar, enak banget. Ini mie goreng terenak yang pernah aku makan."
"Uh, lebay deh." bibir Laila mengerucut. Tama tersenyum melihatnya.
"Oh, iya, Uda nanti pulang mungkin agak malam. Sudah beberapa hari nggak ke toko. Kamu ga pa pa kan di rumah?"
"Nggak pa pa, Da. kan ada Mak Eti, Mba Susi, Anita."
"Nggak suntuk di rumah aja?"
"Nggak, Da. kan Laila ngerjain terjemahan."
"Oh, iya."
Setelah selesai sarapan, Tama naik ke kamarnya untuk berganti pakaian. Laila membereskan piring dan gelas bekas sarapan mereka. Mak Eti dan Anita telah berada di dapur. Mak Eti dan Anita pun bersiap-siap untuk sarapan.
Setelah Tama berangkat kerja, Laila pun memindahkan pakaian-pakaian yang diberikan Tama dua hari yang lalu ke kamar tamu. Laila pun menyusun gamis, pakaian sehari-harinya serta pakaian tidurnya di lemari yang lumayan besar di ruang tamu itu.
Mba Susi yang sedang ngepel merasa heran melihat Laila.
"Kenapa dipindahin lagi ke bawah Uni?" Tanya Mba Susi kepo.
"Lemari di atas udah penuh, Mba. Ngga muat lagi yang ini," jawab Laila sedikit berbohong.
"Oh, tapi tidurnya di atas kan Uni?" Mba Susi memandang pada Laila dengan tatapan menggoda.
"Ih, Mba Susi, kepo amat sih." Laila mencoba tertawa walau hatinya merasa galau dengan pertanyaan Mba Susi.
"Ya, kalau nggak saya yang kepoin Uni, siapa lagi." Mba Susi pun tertawa senang telah berhasil membuat Laila tersipu malu.
Selesai merapikan semua pakaiannya, Laila kembali naik ke kamar Tama. Laila membersihkan kamar dan ruang nonton Tama. Mengganti alas kasur dan menyapu karpet kamar. Setelah itu, Laila kembali ke kamar tamu. Laila ingin melanjutkan terjemahannya.
Tapi Laila teringat Mak Eti yang sedang memasak di dapur.
Akhirnya Laila pun membantu Mak Eti terlebih dahulu sebelum melanjutkan terjemahannya. Setelah zuhur, barulah Laila mulai kembali melanjutkan pekerjaannya.
*****
Pukul 09.00 malam Tama sampai di rumah. Tama membuka pintu dengan kunci cadangannya. Ruangan tamu dan ruangan keluarga terlihat gelap, hanya lampu dapur yang masih menyala. Tama langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya. Hatinya sudah tak sabar ingin melihat wajah cantik Laila.
Tama membuka pintu kamar. Pandangannya langsung tertuju ke tempat tidur besar di kamarnya. Tempat tidur itu kosong. Jantung Tama berdegup kencang. Kemana Laila? Tama masuk dan memperhatikan sudut kamar, tempat kantong-kantong pakaian Laila yang tadi pagi masih teronggok memenuhi sudut kamar. Tapi semuanya kosong. Tak ada satu pun kantong yang masih tersisa.
Dengan napas memburu, Tama turun ke bawah. Tama menuju ke kamar tamu. Dibukanya pintu kamar tamu dengan kasar. Dan matanya langsung menangkap sosok Laila yang telah tertidur di balik selimut tebalnya. Dada Tama bergemuruh menahan rasa marah. Tanpa dapat menahan emosi, Tama menghempaskan pintu kamar itu dan berniat kembali ke kamarnya di lantai atas.
Tadi pagi rasanya semua baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang perempuan itu memilih pindah lagi ke kamar tamu. Apa perempuan itu tak nyaman berada di dekatnya, tak nyaman satu kamar dengannya? Berbagai pertanyaan memenuhi hati dan pikiran Tama.
Sementara Laila yang mendengar suara pintu dihempaskan langsung terbangun dan bergegas bangkit. Laila membuka pintu kamar dan menangkap sosok Tama yang sedang berjalan tergesa menaiki anak tangga. Dahi Laila mengernyit. Ada apa dengan laki-laki itu? Pastilah Tama yang telah membuka pintu kamarnya dan menghempaskannya dengan begitu keras.
Laila pun buru-buru mengikuti Tama naik ke lantai dua. Laila ingin memastikan ada apa dengan Tama. Apa laki-laki itu marah ia tak menunggunya pulang? Tak mengurus makan malamnya? Dada Laila pun berdebar. Terdengar lagi pintu kamar dibanting kuat. Pintu kamar Tama.
Laila tertegun. Benar-benar marah ternyata laki-laki ini, bisik hati Laila. Laila membuka pintu kamar dengan tangan gemetar. Lututnya pun terasa lemas. Tama tak terlihat di kamar tidur. Laila pun menuju ruang sebelah. Terlihat Tama sedang berdiri di depan jendela kamar ruang nonton TV yang menghadap ke halaman belakang.
"Uda, ada apa?" suara Laila terdengar bergetar. Tama berbalik. Mata Tama nanar melihat pemandangan di depannya. Laila dengan baju tidur selutut, tanpa lengan, berwarna coklat susu. Wanita di hadapannya ini terlihat amat cantik dan mempesona. Tapi Tama sedang marah.
"Kenapa kamu kabur lagi?" Tama menatap Laila tajam.
"Kabur?" Laila balik menatap Tama bingung.
"Kenapa kamu pindah ke kamar tamu? Kamu nggak nyaman satu kamar dengan aku? Kamu nggak nyaman berada di dekatku?" Tama mengepalkan tangannya mencoba menahan gejolak amarah di dadanya.
"Bukan, Da. Bukan seperti itu." suara Laila serak. Sekarang Laila mengerti mengapa laki-laki itu marah. Padahal maksud Laila baik, biar laki-laki itu bisa tidur dengan nyaman di kasurnya. Laila tak pernah memikirkan akan seperti ini jadinya. Mata Laila berkaca-kaca.
"Sudahlah, kembalilah lagi ke kamar tamu, jika itu yang membuatmu nyaman." Tama mengibaskan tangannya dengan raut wajah yang masih terlihat kesal dan kecewa. Lalu Tama pun berbalik membelakangi Laila. Laila tak dapat lagi menahan air matanya. Bulir-bulir bening itu jatuh membasahi pipinya.
Tanpa sadar Laila mendekat dan memeluk Tama dari belakang. Seketika tubuh Tama menegang. Merasakan kulit tangan Laila yang menempel di perutnya, merasakan tubuh Laila yang seperti tanpa batas dengan punggungnya. Untuk beberapa saat, Tama serasa berhenti bernapas.
"Maafkan Laila, Da. Laila tidak tega melihat Uda setiap malam tidur meringkuk di sofa ini. Pastilah amat tidak nyaman tidur seperti itu. Dan Laila pikir, semua itu karena Laila telah mengambil kamar dan tempat tidur Uda." Laila berkata di antara isak tangisnya. Laila mengutuki dirinya yang kembali menyakiti laki-laki ini.
Tama tertegun mendengar kata-kata Laila. Emosi di dadanya berangsur-angsur mereda. Ia telah salah sangka pada istrinya ini. Tama membalikkan badannya dan memegang kedua belah tangan istrinya. Wajah marah dan kesalnya telah berganti dengan wajah yang penuh senyuman.
"Kalau kamu tidak tega Uda tidur seperti itu, seharusnya kamu membangunkan Uda dan menyuruh Uda tidur di sampingmu." Tama menatap Laila dengan lembut. Laila menunduk.
"Tapi Laila malu, Da. Nanti Uda menolak." Laila berkata dengan wajah memerah menahan rasa malu.
"Hei, kenapa harus menolak untuk tidur bersama istri?" Sekarang Tama memandang Laila dengan tatapan mata menggoda.
"Jadi Uda mau tidur sama Laila?" Laila bertanya dengan lugu. Mata Tama membulat.
"Memang kamu sudah siap?" Tama mendekatkan tubuhnya pada Laila hingga hampir tak berjarak. Haaa? Laila kaget. Bukan itu maksudnya.
"Boleh aku menciummu?" Tama memandang Laila dengan tatapan penuh harap. Meski ragu, tapi akhirnya Laila pun mengangguk.
bersambung .....
Makin seruuuuu😊👍
ReplyDeleteHi ich jian bikin bappwe
DeleteAsyiik . Penasaran banget lo
ReplyDeleteDitunggu episode selanjutnya 🥰
ReplyDeleteIni yg aq suka
ReplyDeleteSeru banget ceritanya...jd penasaran trs dgn sambungan nya
ReplyDeleteBukan maen dah, pintar memainkan perasaan readersnya nih....
ReplyDelete