#Masih_Adakah_Surga_Untukku
#Laila
#Episode_9
Ternyata Laila tertidur di ruang teater mininya Tama. Laila terbangun ketika mendengar azan asyar. Laila bergegas bangkit dan ke luar dari kamar Tama. Dari lantai dua, Laila bisa melihat Tama sedang duduk berdua dengan mak etek Eri (paman/om Tama). Laila menuruni anak tangga dengan perasaan campur aduk. Karena ini untuk pertama kali ia berada cukup lama di kamar Tama. Tertidur pula lagi.
Begitu sampai di tangga paling bawah, Laila melihat Rani ke luar dari kamar tamu yang biasa ditempati Laila. Terliha Rani menghampiri Tama dan ayahnya yang sedang ngobrol di ruang keluarga.
"Uda, itu baju-baju sama jilbab yang di kamar, punya siapa?" tanya Rani pada Tama. Mak etek Eri menatap Tama dengan intens. Laila yang akan menuju ruang sholat tertegun di bawah anak tangga.
"Oh, itu baju-bajunya pegawai kantor uda. Kemarin dia sempat tinggal beberapa lama di sini. Trus karena ada masalah di kantor, dia kabur, barang-barangnya ditinggal semua."
"Wah, sayang ya Da. Bajunya cantik-cantik lho, Da."
"Kalau kamu suka, ambil aja." ucap Tama santai.
What? Laila melongo. Semua bajunya mau dikasih sama perempuan itu? No ... no ... Laila mendekati Tama dengan geram. Apa maksud laki-laki ini sebenarnya? Menyuruh dia ga pake baju? Atau menyuruh dia jadi gembel? Yang benar saja.
"Benaran, Da? Boleh buat Rani? Ada kosmetik dan tasnya juga lho Da." wajah Rani terlihat sumringah. Sementara Laila telah berdiri di hadapan Tama. Laila menatap Tama dengan tatapan penuh amarah. Tapi Tama malah mengedipkan matanya pada Laila. Ya ampun, rasanya kepala Laila benar-benar berasap sekarang.
"Kosmetiknya boleh juga kalau kamu mau, tapi tasnya ga usahlah. Siapa tau ada barang-barang pribadinya di dalam tas itu. Kamu kasih aja sama Mak Eti tasnya ya. Biar disimpan sama Mak Eti."
"Oke, Da. Makasih ya, Da." Rani berbalik menuju kamar tamu yang ditempatinya.
"Rani!" tiba-tiba Laila menghentikan langkah Rani. Rani pun berbalik lagi dan menatap Laila.
"Ya, Uni. Ada apa?"
"Ngapain juga kamu mau make pakaian bekas. Mending kamu ke toko Uda Tama, minta baju-baju yang masih baru." ucap Laila seraya tersenyum amat manis.
"Wah, benaran juga tuh, Uni. Ayo Da, kapan Rani diajak ke toko Uda? Semua saudara dan orang kampung cerita, kalau mereka ke Jakarta, mereka pasti dapat oleh-oleh baju dari toko Uda Tama," suara Rani amat riang.
Sekarang giliran Tama yang menatap Laila dengan kesal. Laila mengedipkan matanya pada Tama dengan senyum puas. Mak etek Eri hanya diam memperhatikan anaknya dan Tama serta Laila berinteraksi.
"Ya, besok kamu boleh ikut ke toko ambil baju yang kamu mau."
"Asyik. Tapi yang di kamar ini, kalau Rani ada yang suka, tetap boleh untuk Rani kan Da?"
"Boleh. Kamu ambil aja semua." ucap Tama seraya berdiri bersiap-siap mau sholat asyar.
"Uda." Laila ingin mengetok kepala laki-laki yang berjalan santai melewati Laila. Tapi mak etek Eri telah ikut berdiri menyusul Tama. Mereka pun bersiap untuk melaksanakan sholat asyar.
Setelah selesai sholat asyar, Tama pamit pada mak etek Eri untuk istirahat di kamarnya. Mamaknya pun mengatakan ingin istirahat juga di kamarnya. Laila tak dapat lagi menahan rasa gondok di hatinya. Laila ikutan menyusul Tama ke kamar laki-laki itu.
Begitu pintu ditutup Tama, Laila kembali membukanya dan berdiri di depan pintu kamar dengan wajah menahan marah.
"Kenapa?" tanya Tama heran.
"Kenapa? Maksud Uda apa ngasih semua baju Laila pada Rani? Uda mau bikin Laila jadi gelandangan di Jakarta ini? Mau bikin Laila ga pake baju?" bola mata Laila membesar dan nafasnya terengah-engah.
"Ya, ga pa pa kan ga pake baju kalau kamu mau," ucap Tama santai dan berlalu menuju ruang teater mininya. Ih ... Laila rasanya ingin mengubek-ubek wajah Tama, menarik rambut Tama, tapi itu belum seberapa. Laila ingin menggantung laki-laki itu di tiang bendera.
"Untung kan tadi laptop dan ponsel Laila tidak sedang di kamar itu. Kalau ga pasti udah Uda kasih juga kan sama Rani?"
"Ya, ga lah. Keenakan bener si Rani. Tas kamu aja ga Uda kasih kan ama dia? Takut di dalamnya ada dompet dan identitas kamu."
"Lalu Laila mau pake apa, Da?" Laila berkata dengan putus asa.
"Besok ikut ke toko. Kamu boleh ambil berapa pun baju yang kamu mau. Lagian bajumu itu kayaknya udah harus pensiun deh. Udah ga berwarna."
Ya Allah, kenapa laki-laki ini tak pernah menjaga ucapannya, ya. Laila berbalik berniat untuk turun aja ke bawah. Membantu mak Eti di dapur mungkin bisa menangkan otaknya yang sedang carut marut melihat sikap dan tingkah Tama.
"Laila." suara Tama menghentikan langkah Laila.
"Bersikaplah baik-baik saja di hadapan Mak Etek Eri dan Rani. Jika mereka tahu kita tidak seperti suami istri, maka mereka pasti akan semakin gencar menjodohkan Uda dengan Rani. Selama mereka berada di rumah ini, tidurlah di kamar ini agar mereka tidak curiga. Jika tadi Uda mengatakan kalau baju-baju itulah baju milikmu, maka mereka akan tahu kalau kita tidur terpisah. Itu akan jadi senjata buat Mamak."
"Baiklah." jawab Laila pendek lalu kembali melangkah meninggalkan kamar Tama. Jadi laki-laki itu bersikap baik dan ramah padanya hanya karena mamaknya? Demi image di depan mamaknya. Uh, telah salah ia merasa hubungan mereka mulai mencair.
****
Mandi sore di kamar mak Eti, Laila kembali memakai baju dan jilbab yang sama. Rasanya hati Laila masih tak rela jika baju-baju kesayangannya dikasihkan ke Rani. Wajah Laila masih terlihat suntuk. Mak Eti mengusap pundak Laila dengan lembut.
"Sabar." ucap mak Eti. Laila hanya mengangguk dan tersenyum pada mak Eti.
"Ayo kita siapkan makan malam." ajak mak Eti.
"Ya, Mak." jawab Laila lesu.
"Uni Laila kenapa lesu begitu?" tiba-tiba Anita telah ikut bergabung di dapur.
"Ga, Dek. Uni lagi suntuk aja."
"Oh, selama di Jakarta belum kemana-mana, ya, Uni?"
"Belum, Dek," Laila menggeleng lemah.
"Kalau Uni mau jalan, aku bisa nemani. Kita naik TransJakarta aja, Ni." ajak Anita penuh semangat.
"Wah, asyik juga tuh. Uni pengen liat Monas, liat Istiqlal, liat istana presiden." mata Laila berbinar indah.
"Pergi sama Uda aja." tiba-tiba Tama telah berada di ruang makan. Laila dan Anita menoleh ke arah Tama dengan kaget. Kapan aja tuh laki-laki itu berada di sana. Tapi kemudian Anita tersenyum menggoda dan menyenggol lengan Laila. Laila hanya mengerucutkan bibirnya kembali merasa kesal begitu melihat wajah Tama.
"Nita, panggil Mak Etek dan Rani. Ajak makan malam sekarang." ujar Tama yang telah duduk di kursi meja makan. Laila menata makanan di depan Tama tanpa suara. Ia pun enggan untuk menoleh pada laki-laki itu. Tak berapa lama, mak etek Eri dan Rani datang dan mengambil tempat duduk. Laila telah seselai menata semua makanan di atas meja. Laila baru akan beranjak meninggalkan ruang makan, ketika tangan Tama tiba-tiba meraih jemari tangannya.
Laila kaget dan menoleh pada Tama.
"Makan sekalian." ucap Tama dengan nada tegas dan tatapan mata tak terbantah. Dengan enggan Laila berbalik. Tama menarik kursi di sampingnya, dan dengan tatapan matanya menyuruh Laila untuk duduk di sana. Laila kembali hanya bisa menurut.
"Ayo, Mak. Silakan." ucap Tama mempersilakan mamaknya terlebih dahulu untuk mengambil nasi. Lalu Tama menyerahkan piringnya pada Laila.
"Nasi Uda ga usah terlalu banyak ya," suara Tama terdengar lembut. Dan Laila tahu itu karena mereka sedang berada di depan mamaknya.
Laila menerima piring itu dan mengambilkan nasi untuk Tama. Biasanya mau diambilkan makan aja, jawabnya saya bisa sendiri. Uh, Laila merutuk dalam hati. Tapi sedetik kemudian Laila beristighfar, dosa kan mengatai suami sendiri.
"Jadi besok kamu ngajak Rani ke toko?" tanya mak etek Eri di sela-sela makan malam mereka.
"Iya, Mak. Sekalian Laila juga ada perlu ke butiq besok, ngambil pesanannya." Laila tersedak mendengar kata-kata Tama. Tama memberikan gelas air minum pada Laila.
"Makan pelan-pelan." ujar Tama dan mengusap punggung Laila lembut. Laila mendelik pada Tama. Laki-laki ini benar-benar ya, cari kesempatan, bisik hati laila.
Setelah itu mereka makan dalam diam. Rani terlihat berkali-kali mencuri pandang pada Tama. Tapi Tama tak peduli, Tama malah terlihat sibuk menambahkan lauk dan sayur pada piring Laila. Sampai Laila mengangkat tangannya untuk mengatakan stop. Tama terlihat tersenyum geli melihat ekspresi wajah Laila. Perempuan di sampingnya ini malah terlihat lucu dan menggemaskan jika sedang kesal dan marah.
Selesai makan, Laila mengangkat piring-piring dan gelas-gelas kotor ke dapur. Anita dan mak Eti ke luar dari kamar dan membantu Laila mencuci piring. Mba Susi dan pak Udin telah pulang sehabis asyar tadi.
Rani terlihat duduk menonton televisi dengan ayahnya dan Tama. Laila mengambil laptopnya di samping meja tv dan beranjak ke atas menuju kamar Tama. Laila ingin menyelesaikan pekerjaannya di kamar Tama aja.
"Laila duluan istirahat ya, Mak, Rani." pamit Laila ketika melewati ruang keluarga.
"Ya, Uni." jawab Rani seraya tersenyum manis. Mak etek Eri seperti biasa hanya bergumam tak jelas. Terlihat jelas kalau laki-laki itu tak menyukai Laila.
Laila masuk kamar dan meletakkan laptopnya di atas meja kerja Tama. Lalu Laila duduk di atas tempat tidur. Badanya sudah terasa gerah tak berganti baju seharian, tak membuka hijabnya juga. Baru saja Laila akan bangkit ingin duduk di kursi kerja Tama, terdengar pintu kamar dibuka dari luar.
Terlihat Tama masuk kamar seraya membawa segelas air putih. Laki-laki itu meletakkan gelasnya di samping laptop Laila.
"Kamu ga gerah seharian berpakaian seperti itu?" Tama menatap Laila dari ujung kaki sampai ujung kepalanya.
"Ini semua gara-gara, Uda. Baju tidur Laila di kamar tamu semua. Dan semuanya uda kasihkan pada Rani," ucap Laila kesal.
Tama beranjak ke lemari pakaiannya. Dipilihnya sebuah kemeja berwarna putih. Lalu diberikannya pada Laila.
"Ganti pake ini," Laila menatap tama dengan gundah.
"Celananya?" tanya Laila penuh harap.
"Udah, gitu aja. Kan cuma di kamar."
"Haa?" mata Laila membulat sempurna. Cantik sekali. Duh, Tama merasa tak tahan. Diapain ya bagusnya perempuan di hadapannya ini.
"Sarung ada ga Da?" tanya Laila dengan wajah memelas. Tama tak tahan untuk tak tersenyum.
"Aku tidur di sebelah kok, kamu tidur aja sendiri di sini. Pakai kemeja ini dan langsung selimuti dirimu dengan selimut itu." Tama menunjuk selimut di atas kasurnya.
Dengan ragu Laila pun mengambil kemeja Tama. Duh, tak terbayangkan risihnya akan berpakaian seperti ini.
"Istirahatlah. Besok kita ke toko dan butiq ambil baju buat kamu." Tama pun berlalu ke ruangan teater mininya.
"Makasih, Da." ucap Laila pelan. Lalu Laila pun masuk ke kamar mandi Tama dan membuka gamis serta jilbabnya.
Laila memakai kemeja Tama yang hanya sampai lututnya. Paha mulusnya langsung terlihat dan membuat Laila merasa tak nyaman. Untung Laila melihat ada handuk Tama yang lumayan lebar di kamar mandi itu. Laila mengambilnya dan melilitkannya di pinggang. Lalu ia pun bergegas ke luar dari kamar mandi. Naik ke atas tempat tidur dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut. Untung AC di ruangan kamar ini dingin, sehingga gaya tidurnya yang seperti ini tak terlalu membuat Laila sesak.
"Laila." tiba-tiba Tama telah berdiri di pintu pembatas kamar dan ruang teaternya.
"Uda mau ke kamar mandi." ujar Tama. Tak ada jawaban dan Tama melihat Laila telah berselimut di atas kasur. Tama tersenyum. Perempuan yang lucu, bagaimana dia akan tidur dengan posisi seperti itu. Selimut menutup hingga ke seluruh tubuhnya. Sampai tak ada yang kelihatan sedikitpun. Tidak juga ujung rambutnya.
Laila mendengar Tama telah masuk ke kamar mandi. Laila menarik nafas lega. Laila mencoba memejamkan matanya. Tapi baru saja ia akan tertidur, tiba-tiba terdengar suara Tama yang berteriak memanggil namanya.
"Laila!" Laila masih diam. Ia ingin pura-pura tidur saja. Tapi Tama kembali berteriak.
"Laila, handuk Uda mana?" ya ampun, Laila bergidik. Tiba-tiba Laila merasa panas dingin. Bagaimana ini.
"Laila cepat ambilkan handuk di lemari, kalau ga Uda buka ya selimutmu," ancam Tama yang kepalanya dikeluarkan di pintu kamar mandi yang terbuka sedikit.
Laila terpaksa bangkit meski dadanya berdebar tak menentu. Berkemeja dan memakai handuk sampai selutut, dengan rambut yang berantakan. Laila turun dari tempat tidur. Dilihatnya kepala Tama menyembul dari pintu kamar mandi. Mata Tama membulat melihat handuknya ada pada Laila. Laila cengengesan merasa tak enak hati.
Terlihat polos lagi tanpa jilbab, terlihat memakai handuk laki-laki itu untuk tidur. Ya Tuhan, Laila sudah ga tahu wajahnya seperti apa sekarang. Laila membuka lemari pakaian Tama dan mencari handuk. Ketika telah menemukan handuk, Laila mengambilnya dan menyerahkannya pada Tama.
"Ini, Da." ujar Laila seraya mengangsurkan handuk itu pada Tama.
"Ya, makasih." ucap Tama. Tapi mata laki-laki itu tak beranjak dari wajah cantik di depannya. Rambut panjang itu tergerai dengan indah. Laila menunduk menerima tatapan mata Tama yang sulit untuk diartikan. Terpesonakah?
Belum ada tanggapan untuk "Masih Adakah Surga Untukku Part 9"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.