JANDA CEO......(2)
Perubahan Rencana
Gardin berjalan cepat di pelataran rumah sakit. Lucy sudah menghubunginya puluhan kali. Kadang cara manja Lucy sangat menguji emosinya. Sudah dibilang dia sedang ada rapat penting, tapi Lucy nggak mau dengar, Gardin harus menepati janjinya untuk menemaninya kontrol kandungannya sore itu.
Ketika ia mendapati Lucy sedang ada di ruang tunggu, sibuk dengan telepon genggamnya, Gardin menghampirinya. “Masih berapa lama lagi?”
Lucy tersenyum, “Kita yang VIP dong sayang, setelah ini langsung masuk.”
Gardin pun duduk di samping Lucy.
“Kamu tapi janji ya, kita cuma kontrol di sini, aku melahirkan di Amerika atau paling tidak di Singapura.” Lucy pun memeluk lengannya dan berbicara dengan gaya manjanya.
Gardin hanya menjawab dengan senyuman. Yah kalau ingin melahirkan tanpa ditemani dirinya silahkan di Amerika sekalipun. Mana punya waktu dia harus menemani Lucy ke Amerika. Jadwal kerjanya padat gila.
Tak lama, mereka pun dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan dokter. Pengecekan rutin terjadi sebelum Lucy dibawa ke tempat tidur untuk pemeriksaan USG.
Sebelumnya dokter mengecek dengan cara mencari detak jantungnya. Menurut perkiraan dokter sih kehamilan lucy kira-kira dua belas minggu, sudah bisa dideteksi detak jantungnya. Tetapi sepertinya dokter mengalami kesulitan. Masih mencoba tersenyum, dokter pun mencoba dengan alat USG dua dimensi. Terlihat titik yang tidak terlalu jelas di layar itu, tapi dokter pun masih belum bisa menemukan detak jantung sang janin. Sang dokter masih penasaran, kali ini ia akan melakukan USG dalam, artinya alat akan dimasukan ke dalam lubang vagina Lucy, sang dokter meminta Lucy untuk rileks, tapi ternyata dokter pun belum menemukan berita baik untuk disampaikan. Setelah cukup lama berkutat, akhirnya dokter pun menghela nafas.
“Pak, Bu… sepertinya janinnya tidak berkembang.”
Gardin dan Lucy saling berpandangan.
“Maksudnya gimana dok?” Lucy kebingungan.
Gardin menghela nafas, sudah lima kali terjadi dalam hidupnya, Maura empat kali mengalami hal yang sama. Janin tidak berkembang, dan secepatnya harus dikuret. Dan kali ini pun terjadi pada Lucy.
Sang dokter pun mengangguk. “Secepatnya pak, kalau bisa malam ini juga, saya selesaikan pasien saya dulu, setelah itu kita lakukan tindakan.”
Gardin mengangguk. “Berikan kami yang terbaik dok!”
Lucy tidak mengerti. “Maksudnya apa sih bang?”
Dokter pun bergerak menuju meja prakteknya, “Saya buat rujukan untuk rawat inap, masuk kamar dulu saja ya bu. Saya usahakan tindakan sore ini.”
Nggak lama setelah itu, Gardin membawa Lucy keluar dari ruangan itu. Mereka berjalan pelan karena Gardin sedang menelepon asisten pribadinya untuk bergerak membooking kamar VIP untuk Lucy di rumah sakit itu. dia pun menelepon sekretarisnya untuk meminta membatalkan semua janji pertemuannya di sore hingga malam itu.
Setelahnya, dia pun mengajak Lucy duduk di salah satu sudut ruangan itu. Mencoba perlahan menjelaskan pada Lucy. “Janin kamu tidak berkembang, artinya dia telah meninggal sebelum dilahirkan. Sehingga harus segera dikeluarkan karena kalau tidak akan membahayakan kamu.”
Mendengar itu Lucy nggak percaya, dia pun menangis pelan. Gardin pun memeluk sang kekasih. Ini pengalaman pertama keguguran untuk Lucy, menyakitkan pastinya. Gardin hanya bisa mencoba menenangkannya. Dia sudah sangat terbiasa mengalami hal ini. Bahkan selalu merasa bersalah pada para perempuannya karena tidak mampu memberikan bibit unggul sehingga perkembangan janin itu selalu terhenti di masa-masa awal kehamilan. Empat kali telah terjadi pada Maura, dan kali ini pada Lucy. Bagaimanapun kehilangan begitu menyakitkan, walaupun Gardin telah berkali-kali merasakannya.
Di daerah urban peryJakarta, lebih tepatnya Bekasi Timur, Maura sedang ada di salah satu rumah sakit di sana. Ia juga sedang memeriksakan kehamilannya, tapi ia seorang diri. Dokter kandungan perempuan itu mengatakan bahwa janinnya sangat sehat, tumbuh sesuai perkembangannya. Saat ini usia janinnya telah mencapai delapan belas minggu. Maura begitu bahagia, besar harapannya anak ini tumbuh sehat. Karena dialah satu-satunya alasan untuknya bertahan hidup saat ini. Tuhan memberikan anugrahnya di saat begitu tepat. Di saat ia harus kehilangan pegangan karena harus kehilangan laki-laki yang begitu ia cintai, Tuhan menggantikannya dengan kehidupan dalam rahimnya yang membuatnya begitu bergairah menjalani hidup. Maura telah pindah dari apartemen sewaannya yang di Kelapa Gading itu. Sekarang ia tinggal di hotel selama seminggu di daerah Bekasi Barat. Setelah mendapatkan rekomendasi dokter bahwa ia aman untuk menempuh perjalanan dengan pesawat terbang. Dia akan terbang dalam dua hari ini, mencoba menjauh dari hiruk pikuknya Jakarta. Lebih dari itu, dia sedang berusaha menyembunyikan kehamilannya dari Gardin. Dia tidak mau berbagi kebahagian dengan Laki-laki yang telah membuangnya. Kebahagiaan yang dia punya sekarang, hanya untuk dirinya sendiri.
“Mana cucu papa?” Handoko begitu marah pada Gardin.
Gardin begitu ketakutan. “Maaf pa, saya gagal lagi memberikan papa cucu, Lucy baru aja keguguran.”
“Siapa Lucy, Mana Maura?” Handoko semakin marah.
“Lucy calon menantu papa juga.”
“Menantu papa cuma Maura. Kalau sampai ada apa-apa dengan Maura dan cucu papa, papa ambil semua apa yang papa kasih ke kamu! Cari cucu papa, cari Maura!” Handoko begitu marah.
Gardin terbangun dari mimpinya dalam keadaan nafas tersengal-sengal. Bagaikan ia baru saja berlari kencang ratusan kilometer. Tubuh Gardin berkeringat, nafasnya pun masih belum stabil. Begitu menyadari itu hanya mimpi dia begitu lega. Menghela nafas panjang. “Astaga pa, bahkan sudah di surga sekalipun, masih aja doyan marah. Pakai ngancem lagi.” Dia pun menggeleng-geleng. Akhirnya ia pun bangkit dari tidurnya menuju kamar mandi. Berwudhu dan hendak sholat malam. Hal yang sudah sangat jarang ia lakukan. Mungkin sang papa kangen padanya, ia pun ingin mengadu pada Tuhan tentang masalahnya, kesedihannya, dan titip rindunya untuk sang ayah.
Pengacara Maura menghampiri Gardin dan menyalaminya.
Gardin berdiri dan menyambut salam hangat dari pak Mochtar sambil tersenyum.
“Saya turut berduka cita atas kehilangan calon anak mas Gardin.”
Gardin kembali tersenyum. Memang saat itu sebenarnya ia ada pertemuan dengan Pak Mochtar tapi dibatalkan karena Lucy harus dikuret. “Kembali pada pertemuan kita pak, apa yang harus dibicarakan mengenai Maura?”
“Sebenarnya ini bukan waktu yang tepat mengingat Mas Gardin masih berduka. Tapi sepertinya saya harus memperingatkan Mas Gardin.”
Gardin menunjukan wajah kalau dia tidak mengerti.
Pak Mochtar pun mengeluarkan telepon genggamnya dan menunjukan sebuah video. “Saya tidak mau mengadu domba mas Gardin dengan Lucy, tapi bagaimanapun saya wajib melindungi client saya.”
Gardin menerima telepon genggam pak Mochtar dan mencoba melihat apa yang ingin diperlihatkan. Ternyata sebuah video yang memperlihatkan Lucy sedang memaki Maura di sebuah pusat perbelanjaan. Dengan kasar Lucy mengatakan Maura perempuan matre yang tidak mau melepas Gardin demi uang. Menonton video itu Gardin sangat marah apalagi dia melihat Maura hanya diam, dan berusaha melindungi dirinya dari serangan Lucy. “Tolong dikirim ke saya pak!” Pinta gardin.
Gardin sangat emosi, tapi tidak mungkin dia bersikap keras saat ini, mengingat Lucy sedang dalam pemulihan paska kuret. Sudah seminggu ia dalam perawatan VIP di rumah sakit bertaraf international. Sepertinya memang berlebihan. Tapi itu mau Lucy, dia merasa dirinya sangat lemah paska operasi. Ya sudahlah.
“Saya sudah mengenal mas Gardin sangat lama, sejak almarhum Pak Handoko masih ada. Beliau client terbaik saya. Dan saya pun sangat tahu bahwa ayah anda sangat menyayangi mbak Maura.”
“Karena itu saya minta bapak jadi pengacara Maura pak, karena saya yakin bapak akan memberikan yang terbaik untuk Maura.”
“Mas Gardin yakin akan menceraikan Maura demi Lucy?”
Gardin menggeleng. “Ini kemauan Maura pak, sebenarnya saya sedang mencari cara agar tidak terjadi perceraian ini. Saya memang harus menikahi Lucy, tapi berat bagi saya melepas Maura. Toh saya mampu mempunyai dua istri sekalipun.”
“Pernikahan tidak semata-mata tentang harta mas. Apa Mas Gardin yakin bisa adil?” Laki-laki berusia lebih dari lima puluh tahunan ini berusaha bersikap bijak pada lawan bicaranya.
Gardin hanya diam. “Tolong berikan yang terbaik untuk Maura pak, apapun yang dia minta pasti saya berikan.”
“Permasalahannya dia tidak ingin apa-apa.”
Gardin mendesah mengingat kembali kondisi ini. “Saya harus bagaimana pak? Saya tidak ingin menceraikan dia karena saya ingin dia tetap memiliki hak atas harta saya apabila suatu saat saya mati. Tapi dengan tidak menceraikan dia, saya membuatnya terombang-ambing begini. Saya telah menyakiti dia terlalu lama.” Gardin benar-benar dalam dilemma.
Pak Mochtar menepuk bahu Gardin. “Pikirkan matang-matang. Saya ke sini hanya untuk memberitahukan video ini. Saya harap Mas bisa bijak menanggapinya. Tugas saya melindungi clientsaya.” Pak Mochtar pun pamit pulang dan meninggalkan Gardin yang termenung sendirian di ruangan kerjanya.
Dalam kesendiriannya, Gardin mengulang-ulang video yang di kirim pak Mochtar tadi. Terlihat sepintas bahwa Maura berkali-kali berusaha melindungi perutnya ketika Lucy beberapa kali mendorongnya. Semakin memperkuat keyakinannya bahwa sebenarnya bahwa Maura juga sedang hamil. Dan dia sangat yakin kalau itu anaknya. Perasaan seorang suami dan calon ayah nggak bisa dibohongi. Ditambah lagi mimpi kedatangan ayahnya semalampun memberitahukannya hal yang sama. Gardin dan Maura baru dua bulan pisah rumah. Sebelum mereka pisah rumah, bahkan dalam kondisi dia sudah mulai selingkuh dengan Lucy dia masih beberapa kali kok bercinta dengan istri sahnya itu. Gardin pun sangat paham dengan Maura, setelah dua kali pernah keguguran, Maura memang tidak pernah lagi terlalu cepat memberi tahu kalau dia hamil, karena takut keguguran lagi. Bahkan kehamilan ketiga dan keempat Maura baru diketahui oleh Gardin ketika ia harus mendampingi istrinya dikuret. Maura begitu tabah menghadapi semua itu. Makanya ia paham betul kalau Maura kali ini juga tidak memberitahukan kehamilannya.
“Ya Allah, kalau memang Maura sedang hamil, kuatkanlah janinnya, sehatkanlah mereka, semoga anak ini lahir dengan selamat dan sempurna. Karena ini akan menjadi satu-satunya harapan hamba untuk memperbaiki pernikahan ini.” Doa Gardin pada yang kuasa begitu sungguh-sungguh.
“Mbak Maura yakin kalau saya benar-benar tidak boleh memberitahukan hal ini pada Mas Gardin?” Pak Mochtar mengkonfirmasi sekali lagi permintaan clientnya saat mereka sedang di airport.
“Iya pak.” Maura menggagguk mantap. “Saya hanya ingin tenang, dan tak ingin Gardin berubah fikiran.”
“Beliau berhak tahu, ini anaknya. Anak ini dari pernikahan yang sah. Kekuatan hukum agama maupun Negara jauh lebih kuat dibandingkan dengan anak yang dikandung Lucy, mbak.”
“Saya tidak ingin menghambat perceraian ini Pak. Saya akan memberi tahu kalau anak ini sudah lahir nanti. Saya berharap saat itu saya sudah bercerai.” Jawabnya dengan nada sedih yang nggak bisa disembunyikan.
“Apa Mas Gardin juga tidak boleh tahu dimana mbak Maura berada?”
“Tidak saat ini. Bapak hanya boleh memberi tahu kalau memang benar-benar terpaksa.”
Maura melirik pada jam tangannya. “Sudah waktunya saya boardingpak.” Diapun memberikan tangannya untuk dijabat. “Saya sangat menunggu berita baik dari bapak.”
Pak Mochtar mengangguk dan menerima jabat tangan itu. “Hati-hati mbak.” Sepintas perkataan itu tidak seperti pengacara pada clientnya, tapi lebih bagai seorang ayah pada anak perempuannya.
Maura pun mengangguk. Dan kemudian ia pun berlalu memasuki airport itu untuk boarding. Semoga perjalanannya memberikan ketenangan dalam menjalani proses kehamilannya.
_*.Bersambung*_💄💄💄
Belum ada tanggapan untuk "Janda CEO Bagian 2"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.