JANDA CEO Part 9
Salah Persepsi Yang Terkuak
Gardin sangat pasrah dan mampu menduga atas keinginan Pak Mochtar ingin bertemu dirinya. Menyiapkan dirinya kalau Pak Mochtar marah padanya. Dia yakin kok, Pak Mochtar pasti mengetahui kalau dia hadir pada saat Maura melahirkan kemarin. Mau gimana lagi, keinginannya sama sekali tidak bisa ia pendam. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
“Selamat ya mas, sudah jadi bapak, akhirnya setelah penantian lebih dari sepuluh tahun ya.” Pak Mochtar mengucapkan selamat pada Gardin.
Gardin tersenyum serba salah, senyumnya garing banget. Karena nggak siap diucapkan selamat. Tadinya benar-benar mempersiapkan mentalnya untuk dimarahi. “Makasih pak.”
Gardin pun mempersilahkan Pak Mochtar untuk duduk di ruang kerjanya.
“Saya sangat berharap, ini terakhir kalinya melanggar janji Mas Gardin sendiri ya. Tapi saya sangat maklum kok. Mas pasti sangat tersiksa kemarin itu.”
Gardin kali ini sangat lega mendengar ucapan Pak Mochtar. “Saya mohon maaf pak.”
“Sebenarnya saya kemari untuk memastikan apa yang Mas Gardin inginkan saat ini?”
“Saya membatalkan menceraikan Maura pak, tapi karena saya terlanjur mengucapkan talak, saya sangat berharap dia mau rujuk dengan saya. Saya masih sangat mencintai dia.”
“Bagai mana dengan Lucy?”
Gardin mendesah. “Sepertinya saya tetap beristri dua pak, saya takut Lucy akan nekad kalau saya menceraikan dia untuk kembali pada Maura. Saya telah menyakiti Maura, saya ingin memperbaiki diri saya dengan meminta maaf dan kembali padanya. Tapi saya juga nggak ingin melukai perempuan lain dengan membuang begitu saja ketika saya tidak lagi mencintainya. Saya tidak ingin menjadi orang plin-plan. Saya akan berusaha keras untuk bisa adil. Tapi bagaimanapun Maura tetap yang utama bagi saya.”
Pak Mochtar terdiam sejenak. “Saya nggak yakin Mbak Maura mau menerima ini.”
“Saya mengerti pak. Mungkin kita harus menyampaikannya pelan-pelan. Saat ini keinginan saya mendapatkan ijinnya untuk menemui dia dan anak kami. Saya nggak mau sembunyi-sembunyi lagi seperti kemarin.”
Pak Mochtar mengerti. “Mas, apakah dua anak muda yang tinggal bersama Mbak Maura adalah orang suruhan anda?”
Gardin nyengir malu-malu karena ketahuan geraknya. “Saya kan hanya berjanji pada bapak untuk tidak menemui Maura pak, tapi bukan berarti saya nggak boleh menjaga dia dengan cara saya kan pak?”
Pak Mochtar pun tersenyum. “Lain kali, koordinasikan dengan saya ya, tujuan kita sama kok, agar istri anda dalam kondisi aman dan tidak kekurangan apapun di sana.”
“Maafkan saya pak. Saya mohon jangan sampai Maura mengetahui mereka adalah orang suruhan saya pak. Saya nggak ingin Maura lebih membenci saya lagi.” Gardin minta dimaklumi.
“Saya mengerti.” Jawab Pak Mochtar. “Ngomong-ngomong besok saya akan ke Brisbane nengok Mbak Maura, ada yang mau dititip untuk Mbak Maura atau bayinya?”
“Ha? Bapak kok mendadak banget?” Gardin kebingungan. “Besok bapak berangkat jam berapa?”
“Pesawat saya jam 8 malam, tapi saya masih akan ke kantor sampai jam 3 sore.”
“Ya sudah pak, sebelum jam 12 siang, akan saya kirim ke kantor bapak besok ya.”
Tak lama Pak Mochtar pun meninggalkan kantor Gardin. Ia pun melepas tamunya hingga keluar ruangan. Setelahnya dia pun menghampiri sang sekertarisnya.
"Mi kamu masih ingatkan selera istri saya?”
“Yang mana pak?”
Hadeuh… pertanyaan macam apa ini, Hanya Maura ratu di hatinya. Harusnya ini sekretaris tahu dong. “Maura…” Gardin setengah berteriak karena kesal.
“Iya pak,” Mia serba salah, tahu kalau dirinya salah bertanya.
Gardin pun menyerahkan kartu kreditnya. “Belikan kalung untuk Maura, dan juga belikan satu boneka Teddy bear ya!”
“Sekarang pak?”
“Terserah, pokoknya besok jam 10 pagi sudah ada di meja saya, dan sebelum jam 12 Subhan sudah harus mengantar ke kantor Pak Mochtar!”
**
Pak Mochtar membunyikan bel di apartemen itu, kali ini Arkan yang membukakan pintunya.
“Saya Mochtar, pengacara Mbak Maura, bisa saya bertemu Mbak Maura?”
Arkan tersenyum. “Silahkan pak, Mbak Maura sudah menunggu kok.” Arkan pun bergerak mundur untuk mempersilahkan Pak Mochtar untuk masuk.
Pak Mochtar mendapati Maura sedang di ruang tengah, dia baru saja meletakan bayinya ke dalam box. Sang bayi ganteng itu dalam keadaan tidur sekarang. Pak Mochtar mengamati Maura, sepertinya Maura sudah sehat, terlihat wajahnya sangat cerah walaupun juga terlihat lelah. Sesuatu yang normal, ibu baru memang terlihat selalu lelah. Pak Mochtar pun kemudian memandangi sang bayi. “Ganteng mbak. Selamat ya mbak.”
Maura tersenyum dan berterima kasih. Dia pun mempersilahkan untuk Pak Mochtar duduk. Nggak lama, Angga pun menyajikan minuman ringan untuk Pak Mochtar. Pak Mochtar pun tersenyum dan berterima kasih.
Setelahnya Angga dan Arkan masuk ke dalam kamar Arkan. Memberi ruang bagi keduanya untuk lebih leluasa bercakap-cakap. Tapi di dalam mereka memantau sih.
(Bang, Pak Mochtar lagi ada di sini.) Mereka pun memberikan laporan.
Membaca laporan Arkan, Gardin yang sedang sarapan pagi langsung menyalakan tabletnya untuk memantau mereka melalui CCTV nya. Terlihat Maura dan Pak Moctar berada di ruang tengah,
“Saya mau minta tolong pak, adakah orang yang bisa saya mintakan tolong di sini untuk ke kantor catatan sipil di Queen street, saya mau minta tolong dibuatkan akte kelahiran Hiro. Karena secepatnya saya mau buat paspor untuk dia.”
“Sudah ada namanya?”
Maura mengangguk. “Hiro putra Gardin Handoko.”
Pak Mochtar tertawa. “Sesimple itu?”
“Itu satu-satunya nama yang kami dulu sepakati untuk anak laki-laki. Saya hanya ingin menjalani apa yang saya sepakati dulu bersama Gardin.” Maura pun tersenyum menjawabnya.
“Pengacara rekanan saya di sini akan membantu Mbak Maura untuk mengurus itu semua. Sebelumnya, saya mau menyampaikan titipan dari mas Gardin untuk Mbak Maura.” Pak Mochtarpun menyerahkan kotak yang berisi kalung berlian dan boneka Teddy Bear.
Maura membuka kotak beludru berwarna hitam itu. Berisikan kalung emas putih dengan bandul berlian utuh dua karat yang bermodel simple dan cantik. Maura tersenyum, ini pasti Mia yang beli. Lima tahun Mia menjadi sekretaris Gardin, dia sudah sangat terbiasa disuruh Gardin membelikan hadiah untuk Maura. Saat dia ulang tahun, ulang tahun pernikahan mereka, atau kalau Gardin dan Maura sedang bertengkar. Sebelum Mia, dulu ada Vanesh sekretaris Gardin yang sebelumnya juga sering melakukan hal yang sama. Walau begitu Maura cukup tersanjung. Karena Gardin seakan kembali menjadi Gardin yang dulu, yang mau membelikannya hadiah-hadiah sebagai bentuk perhatiannya walaupun ya sekretarisnya sih yang beli. Perhatian ini sama sekali tidak terjadi lagi ketika Gardin mulai mengenal Lucy. Maura pun membaca kartu ucapan yang berisikan tulisan tangan Gadin:’I Love you’. Cukup tiga kata yang sangat ia rindukan. Membaca itu membuat Maura terenyuh… sejenak ia kangen Gardin.
Maura pun kemudian membuka kartu ucapan Gardin untuk Hiro:’Hey baby boy, ayah kangen kamu!’ Maura pun tersenyum membacanya. Dia pun meletakan boneka Teddy Bear itu di samping Hiro yang tertidur lelap.
Rasanya nggak perlu tahu dari mana Gardin tahu bahwa ia telah melahirkan. Gardin punya banyak mata untuk dengan cepat mengetahui semua ini. Bahkan ketika dia sudah bersembunyi sejauh ini.
“Saya kok belum menerima akta cerai ya pak, apa Gardin benar-benar nggak punya waktu untuk mengurus semua itu? dia kan sudah berjanji.” Maura membuka percakapan penting ini pada Pak Mochtar.
Dengan begitu gugup, Gardin menyaksikan percakapan itu, benar-benar seperti nonton drama yang menegangkan untuk Gardin.
“Hal ini yang ingin saya sampaikan pada Mbak Muara. Sepertinya begitu Mas Gardin tahu kalau Mbak hamil, beliau mengurungkan niatnya untuk menceraikan Mbak Maura. Tapi karena ia sudah terlanjur mengucap talak, maka ia ingin rujuk dengan Mbak Maura.”
Maura hanya diam mendengarnya.
“Apa Mbak Maura bersedia?”
“Semudah itukah mempermainkan batin saya?”
“Saya paham ini nggak mudah buat Mbak Maura, tapi bagaimana pun lebih baik buat Hiro memiliki orang tua yang utuh.”
“Bagi saya, lebih baik Hiro memiliki orang tua yang bahagia. Apa hanya karena anak, Gardin ingin rujuk dengan saya pak? Apakah nanti dia malah justru nggak tertekan, memaksakan dirinya bersama saya hanya demi Hiro?”
“Saya rasa nggak begitu, Mas Gardin masih mencintai Mbak Maura kok.”
Maura memandang Hiro, bayi itu masih saja tertidur. “Terus terang saya tidak lagi mengenal Gardin pak. Dia begitu berubah.”
“Maksudnya?”
“Sejak bersama Lucy, Gardin menjadi matrealistis pak, selalu mengukur apapun dengan uang. Menganggap semua masalah akan selesai dengan uang. Terus terang saya sedih.”
Pak Mochtar menyimak, mendengarkan curahan hati Maura. Nggak cuma Pak Mochtar sebenarnya, ada Gardin, Arkan dan Angga yang ikut menyimak diam-diam.
“Pada saat dia menjatuhkan talak pada saya, yang dia janjikan hanya dia akan memberikan saya banyak uang. Dia lupa atas semua janjinya pada ayah saya, pada Ijab qabul yang dulu dia kumandangkan. Dia nggak lagi bertanya siapa yang akan melindungi saya, menyayangi saya, Padahal dia tahu bahwa saya sebatang kara. Baginya semua akan selesai dengan uang. Dari itu saya menolak semua pemberian dia pak. Karena saya nggak butuh uangnya, saya butuh cintanya, perlindungannya, dan kehadirannya dalam hidup saya.”
Gardin kaget mendengar pengakuan Maura. Benar-benar dia lupa dengan semua kewajiban dan janjinya itu.
“Saya sangat mengerti apa yang menjadi kekhawatiran dan kesedihan Mbak Maura. Saya pun tidak meminta itu terjadi saat ini juga. Tapi bisakah Mbak Maura paling tidak membuka diri untuk Mas Gardin? Sekedar untuk mengijinkannya datang kemari, menengok anaknya dan Mbak Maura?”
“Saya takut pak.”
“Takut?”
“Saya takut dia mengambil Hiro dari saya. Saya takut dia akan memaksa saya menerima uangnya dan membuat saya harus melepas Hiro untuknya. Dengan kehebatannya saat ini, hal itu bukannya mustahil untuk dia.”
Gardin terpana mendengar kekhawatiran Maura. “Astaga, saya nggak sekejam itu Maura.” Gardin bicara pada layar CCTV. Dia masih saja nggak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Masih menatap layar itu dengan mata yang berkaca-kaca. Menggigit jemarinya untuk meredam semua emosinya.
“Mbak, saya sangat mengenal Mas Gardin. Mungkin dia berubah karena Lucy. Tapi percayalah dia nggak akan sekejam itu pada Mbak Maura. Kalaupun sampai itu terjadi, saya pasti akan membela Mbak Maura.”
“Mungkin saya berlebihan pak, tapi perasaan insecure itu yang saya rasakan. Saya benar-benar takut kehilangan Hiro. Dia alasan saya hidup sampai saat ini.”
“Saya mengerti. Saya akan sampaikan pada Mas Gardin bahwa Mbak Maura belum siap menerima kehadirannya lagi. Semoga Mas Gardin mau bersabar.”
Maura menjawab dengan senyum keringnya.
“Saya pamit ya mbak. Sekali lagi selamat dengan kehadiran baby Hiro. Jaga diri mbak Maura baik-baik ya. InshaAllah saya datang mengunjungi Mbak Maura lagi.”
Maura mengangguk dan tersenyum. “Makasih banyak ya pak, sudah bersedia datang dan menyampaikan titipan Gardin. Sampaikan padanya saya terima kadonya. Terima kasih.”
Pak Mochtar tak lama pun undur diri.
**
(Bang, elo nyimak percakapan mereka?) Angga bertanya pada Gardin ketika Maura membawa Hiro ke kamarnya.
(Iya.)
(Bang, Mbak Maura harus tahu kalau elo masih sayang dia.)
(Elo mau bantu kita jelasin ke Mbak Maura?) Angga dan Arkan sepertinya gerah dengan kesalah pahaman ini. Mereka sangat tahu bagaimana sayangnya Gardin pada Maura. Ingatan mereka sangat kuat bagaimana Gardin menangis di rumah sakit tempo hari. Masa iya yang kayak gitu acting.
(Nggak usah, makasih. Tugas kalian jaga istri gue, bukan ikut campur urusan gue.)
(Maaf bang.)
(It’s ok. Gue ngerti niat baik kalian. Tapi nggak usah. Itu udah jadi resiko buat gue.)
“Aku akan bersabar, sayang. Aku akan bersabar sampai kamu percaya aku lagi. Aku akan berusaha keras untuk menjadi seperti yang kamu mau. Supaya kamu bisa terima aku lagi.” Tekad Gardin sungguh-sungguh.
_*.....Bersambung...*_
Belum ada tanggapan untuk "Janda CEO 9 (Salah Persepsi Yang Terkuak)"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.