Cerpen sedih tentang Ibu
Bahagia Ibu Meninggal
"Tih, kamu sudah siapkan makanan?" Tanya ibu kepadaku saat aku ingin memandikannya.
"Sudah bu. Ibu mau Utih ambilkan?"
"Nggak usah Tih, Kita nunggu kakak-kakakmu datang" Ucapnya dengan suara yang lemah.
"Hemm. Kita mandi yah bu" Ucapku lalu memopong tubuh Ibu.
"Tih, Ibu mau pakai baju yang baru kamu belikan itu yah Tih. Biar kakak-kakakmu tidak malu sama penampilan ibu" Ucap ibu yang saat itu sedang aku mandikan.
"Iya Bu, nanti Utih pakaikan baju itu" Ucapku lalu memakaikan baju keinginan ibu setelah selesai memandikannya.
Aku membawa Ibu untuk duduk di ruang tamu yang juga sekalian menjadi tempat nonton televisi.
"Bu, Utih suapin yah?"
"Tapi Nduk, kalau kakak-kakakmu datang gimana?"
"Kalau mereka datang, nanti Utih suapin ibu lagi" Ucapku membujuk Ibu agar mau makan.
"Yasudah Tih, Ibu mau" Jawabnya dan langsung saja aku menyuapinya sampai makanannya habis.
"Bu, istrahat yah" Ucapku setelah selesai menyuapinya.
"Iya sedikit lagi Tih, Ibu mau menunggu kakak-kakakmu datang dulu" Ucapnya.
Aku yang mendengarnya sekali lagi tak mampu menahan bulir bening yang mengalir dengan derasnya.
***
"Bu, kita istirahat di kamar yah?" ucapku kepada ibu yang seharian duduk di samping jendela rumah kami.
"Tapi Nduk kalau mereka datang gimana? Ibu sudah sangat rindu" Ucapnya lagi.
"Kalau mereka datang nanti Utih bangunin ibu lagi" Ucapku.
"Tapi Tih--" Ucap Ibu yang segera aku potong.
"Bu, Ibu disini sudah dari siang Bu, Ini sudah sangat larut, sudah pukul dua belas malam Bu. Nanti dada ibu sakit lagi bu" Ucapku lalu memopong tubuh ringkih itu ke kamar.
Semenjak bapak meninggal dan ibu sakit aku selalu tidur bersama ibu, karena biasanya ibu langsung drop.
***
"Tih, kamu sudah membelikan jajan untuk Adi dan Dio?" Tanya Ibu pagi ini.
"Belum Bu, nanti Utih belikan yah" Ucapku sambil menyuapi ibu.
"Kenapa belum di belikan Tih? Uangmu habis? Pakai uang ibu Tih, nggak apa-apa kita susah asal Adi dan Dio senang di rumah ibu Tih" Ucapnya.
"Iya Bu, nanti selesai menyuapi ibu Utih pergi ke warung yah bu" Ucapku dan di balas oleh anggukan ibu.
Ada sesak yang tak mampu aku jelaskan yang sedang berdesakan. Aku adalah Mutia Riska. Anak bungsu di keluargaku. Aku memiliki tiga orang kakak-kakak. Kak Abdi, kak Sinta dan kak Rifan, dan memiliki keponakan anak dari kak Abdi yaitu Adi dan Dio. Ketiga kakak-kakakku memilih tinggal di kota bersama pasangan mereka. Sudah dua tahun mereka tidak pernah pulang ke rumah hanya janji yang mereka berikan. Selama dua tahun pun Ibu selalu menanti kepulangan mereka sampai waktu larut. Bukan aku tidak pernah menghubungi mereka. Sering aku menghubungi mereka namun alasan sibuklah yang selalu aku terima. Mereka memang akan mengirimi ibu uang jika aku meminta, namun jika aku tidak meminta mereka pun akan melupakannya. Aku bekerja sebagai tenaga honorer di kantor kecamatan disini, gaji itulah yang aku pakai untuk kehidupanku dan ibu, namun tak akan cukup jika ibu Drop dan harus di rawat.
Sakit rasanya ketika melihat ibu yang bertaruh nyawa namun terus memanggil nama kakak-kakakku. sebuah kata Rindu itu sangat menyiksanya.
"Bu, ayoo kita istrahat di kamar Bu, ini sudah jauh malam bu" Ucapku.
Namun kali ini aku tak mendapatkan jawaban. Aku langsung berlari mendekati ibu yang sudah bermandikan keringat.
"Ya Allah Bu, ini kenapa Bu?" Teriakku histeris.
Ibu tak menjawab hanya wajahnya terlihat menahan sakit.
Ibu tak pernah sesakit ini sebelumnya.
Aku langsung memanggil tetangga dan membawa ibu ke rumah sakit.
Ibu langsung di beri tindakan dan di masukan ke ruang ICU.
"Tih, kamu sudah menghubungi kakak-kakakmu?" Tanya pamanku.
"Astaghfirullah, Utih lupa paman" Jawabku lalu berusaha menghubungi mereka. Namun nihil, tak ada satupun dari mereka yang bisa ku hubungi. Aku juga mencoba menghubungi kakak iparku namun tetap saja tak ada hasil.
"Nggak bisa di hubungi" Ucapku dengan suara yang parau.
"ya sudah, mungkin mereka sedang istrahat" Ucap pamanku.
"Istrahat apanya? ini mereka baru saja apload foto sedang liburan" Ucap Asih sepupuku.
"Apa? Coba aku lihat Sih" Ucapku lalu mengambil ponsel Asih.
Aku yang tadinya tak punya tenaga seakan langsung terisi full karena amarahku.
Aku langsung mengirimi mereka pesan mengabarkan keadaan ibu yang sedang kritis.
Sesaat kemudian dokter memanggilku.
"Ada apa dok?" Tanyaku.
"Bu, kondisinya sangat kritis, dari tadi beliau terus memanggil nama-nama anaknya. Sebaiknya ibu langsung menghubungi saudara ibu" Jawab dokter.
"Iya dok, terimakasih" Ucapku pelan.
Rasanya lemas, lututku seakan tak mampu menopang tubuhku, Air mataku mengalir dengan derasnya.
Malam ini terasa sangat panjang, aku tak bisa beristirahat sedikitpun. Aku tak ingin pergi dari samping ibu sedetikpun. Aku terus mengelus rambut ibu dan membacakan ayat suci Al-Qur'an.
Pukul 03.20 dini hari tiba-tiba ibu kejang dan sesak. Aku langsung berlari memanggil dokter.
Dengan cepat dokter berlari ke ruang ibu. Pamanku ikut ke ruangan ibu, aku mencoba berdiri di samping ibu dan berbisik
"Bu, Utih ikhlas"
Lalu aku berjalan keluar dan menunggu di luar bersama asih, sedang pamanku mendampingi dokter, aku terus bershalawat namun air mataku seakan tak bisa untuk keluar.
Selang berapa menit dokter keluar bersama paman.
"Tih, sabar yah, ibumu suda tidak ada" Ucap paman sambil memelukku.
"Alhamdulilah" Ucapku stelahnya aku barucap "Innalilahi wa innailaihi rozjiun"
Aku membawa jenazah ibu kembali ke rumah. Kabar meninggalnya ibuku di ketahui oleh kakak-kakakku melalui tetanggaku. Karena aku memang tak ingin mengabari mereka.
Aku mengurus semua setiap prosesnya. Entah kenapa air mataku tak ada yang mengalir.
"Ibuuuuuu!" Teriak kak Abdi lalu berlari ke samping jenaza ibu.
Kakakku yang lain pun terdengar histeris.
"Ibu maafkan aku Bu"
"Ibu ampuni aku buuuu"
"Ibuuuuuu" Teriak mereka bersahutan.
mereka terus memeluk jenazah ibu.
Aku hanya terdiam melihat mereka sampai jenazah ibu di kuburkan.
Saat pulang terlihat kakak-kakakku masih menampakkan penyesalan
"Tih" Ucap kak Abdi ingin memelukku.
"Jangan menyentuhku" Bentakku
"Apa maksudmu" Ucap kakak iparku.
"Aku tak ingin tangan durhaka menyentuhku" Ucapku sinis.
"Apa maksudmu Ti? Aku tak melihatmu bersedih, aku tak melihatmu sakit, aku tak melihatmu kehilangan" Ucap kak Sinta.
Aku mencoba tak memperdulikan mereka namun mas Abdi masih terus mencoba membujukku.
"Kalian tahu apa tentang sedih hah?" Teriaku histeris
"Kalian tahu apa tentang sakit?"
"Kalian tahu apa soal kehilangan?" Kali ini air mataku seakan memaksa untuk keluar.
"Kalian mau tau apa itu sedih? Sedih itu ketika melihat ibu yang terus duduk di kursi itu menunggu kedatangan kalian dari siang sampai larut"
"Kalian tau apa itu sakit? Sakit itu ketika melihat ibu yang bertaruh nyawa namun tak melupakan nama kalian"
"Kalian tau apa itu kehilangan? Kehilangan itu ketika melihat tatapan sendu itu terus memandangi jalan berharap kalian muncul dan memeluknya" Teriakku yang terus meraung.
"Kalian tau? Ibu bahkan memintaku untuk memakaikannya baju baru agar kalian tak malu memiliki ibu sepertinya. Ibu bahkan rela hidup susah asal kalian bahagia" Ucapku kali ini dengan suara yang suda parau.
" Kalian durhaka, kalian durhaka membiarkan ibu menanggung rindu"
"Aku bahkan tak ingin mengakui kalian sebagai kakak"
"Kalian tau kenapa aku tak menangis?Karena aku bahagia, Ibu tak lagi menahan sakit ketika tubuhnya harus di tusuk dengan jarum, aku bahagia karena ibu tak lagi sakit, dan yang paling buatku bahagia karena ibu tak lagi menderita menanggung rindu" Ucapku yang sudah terduduk karena badanku terasa sangat lemas.
Kakak-kakakku hanya mampu menangis mendengarkan ku.
"Satu lagi. Mulai sekarang aku akan mengambil mobilmu kak Abdi yang di beli memakai uang ibu. Segera kembalikan uang yang ibu modali untuk usahamu kak Rifan. Dan segera tinggalkan rumah yang ibu belikan untukmu ka Sinta. Kalian sungguh tak pantas menerima kemurahan ibu. Aku ingin membangunkan ibu sebuah panti asuhan agar banyak anak yang mengelilinginya" Ucapku datar tanpa menoleh ke arah mereka.
Mereka tak ada yang mampu menjawabku karena terus meraung karena penyesalan.
"Kalian tau? Ada satu tempat yang bahkan kalian berkeliling dunia pun tak akan kalian temukan. Yaitu Rahim ibu. Rahim yang telah kalian tempati saat Allah memberimu kehidupan. Dan kalian justru memilih pergi ke tempat lain saat orang yang meminjamkan rahimnya sedang bertaruh nyawa"
****kisah nyata
Belum ada tanggapan untuk "Bahagia Ibu Meninggal (Cerpen)"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.