JANDA CEO Part 8
*We welcome You
Di bulan Desember, kursus Bahasa Inggris telah selesai, mereka punya banyak waktu sebelum pertengahan February memulai perkuliahan. Maura sebenarnya agak bingung Arkan dan Angga sepertinya tidak ada rencana untuk pulang ke Indonesia ataupun jalan-jalan seputaran Australia, paling nggak seputaran Queensland lah, alasan mereka mereka masih menyesuaikan diri di sini, dan budget mereka sangat limit untuk jalan-jalan karena beasiswa yang diberikan kantor mereka nggak banyak. Lha beasiswa dikit kok mobilnya Harrier, walaupun mereka berdalih bahwa itu hanya mobil om nya Angga tetep aja biaya untuk bensin dan perawatannya kan nggak sedikit.
Kalau Maura mah jelas, dalam hitungan hari ia akan melahirkan. Ia mulai dirundung kegugupan yang luar biasa. Bisa dipahami sih, merasa seorang diri dengan pengalaman pertama ini. Sudah mulai merasa nggak nyaman di sana-sini. Mulai sulit makan, perutnya pun terlihat sudah sangat turun. Makanya dia merasa beruntung banget ketika Angga dan Arkan berkomitmen akan mendampinginya melahirkan. Bantuan sahabat-sahabat barunya sungguh berharga.
“Mbak Muara mau gue pijitin pinggangnya?”
Angga dan Maura terkejut mendengar tawaran Arkan. Arkan ditatap begitu jadi nggak keenakan. “Eh… jangan salah sangka mbak, gue nggak tega melihat mbak Maura dari tadi kayaknya kesakitan. Megangin pinggang terus.”
Maura tersenyum mengerti. “Iya sih, sakit banget sebenarnya. Tapi nggak usah makasih ya Kan.” Maura pun berusaha untuk membuat dirinya nyaman duduk di sofa. Tapi sepertinya kurang berhasil.
Angga menghampiri Arkan dan berkata pelan. “Hati-hati bacot lo bos, di denger big bos mati lo!”
“Iye gue tahu.” Arkan pun menjawab sambil berbisik. “Tapi gue nggak tega.”
“Gue tahu, gue juga bingung lihatnya.” Mereka masih bisik-bisikan.
Arkan dan Angga benar-benar serba salah. Tapi mereka juga nggak tahu sebenarnya harus bagaimana. Mereka hanya berdiri stand by setiap kali Maura bergerak.
Ketika sepertinya Maura sudah bisa sedikit nyaman, Angga dan Arkan pun duduk di sofa tidak jauh dari Maura untuk nonton TV bersama.
Tidak lama Maura pun bergerak perlahan. “Aku ke kamar aja deh, nyoba tidur.”
“Oh gitu mbak? Kalau bisa pintunya nggak usah dikunci ya mbak. Kita khawatir.”
“Kalau ada apa-apa teriak aja ya mbak.”
Maurapun menjawab dengan senyuman. Dia pun bergerak menuju kamarnya.
Begitu Maura masuk kamar, Angga dan Arkan saling bertatapan mereka langsung memegang telepon genggam mereka masing-masing.
(Bang, kita harus bagaimana? bingung banget) Angga yang pertama memberi kabar.
(Iya bang, sepertinya Mbak Maura sudah mau melahirkan.)
(Gardin lagi meeting, kayaknya HP ini dia tinggal di ruangan.) Jason yang menjawab. (Nggak dibawa ke rumah sakit aja?)
(Tadi kita udah nganter ke rumah sakit bang, tapi baru bukaan satu, jadi disuruh pulang lagi.)
Jason berusaha mengingat bagaimana istrinya dulu melahirkan. Panik luar biasa dia saat itu. Jadi lupa dia dulu ngapain aja. (Semua perlengkapan sudah siap?)
(Sudah di mobil bang.)
(Di Sana sudah jam berapa.)
(Jam 8.)
(Ya udah, kalian gantian tidur deh, in case harus berangkat ke rumah sakit tengah malam, kalian siap.)
(Ok bang.)
Percakapan selesai. Jason jadi ikutan gugup mendengar berita ini. Ini kenapa meetingnya Gardin lama banget sih. Dia pun melangkah menuju ruangan Gardin. Sebelumnya bertemu Mia di depan ruangan Gardin, yang memang ruangan Mia.
“Mi, Pak Gardin meetingnya belum selesai?”
“Belum pak, mereka agak rigit.” Mia menceritakan tentang tamu mereka, investor dari Texas.
Jason melirik ke ruangan meeting yang begitu transparan itu. Terlihat sih kalau Gardin memang tidak tenang tapi berusaha untuk fokus. Dalam ruangan itu Selain Gardin, ada Denny asisten pribadinya, Fandi anak buah Jason yang mengurusi masalah legalnya dan empat orang dari pihak calon investor dari Texas itu. Mereka memang sedang membahas projek mereka di Sumatera Selatan yang rencananya akan dimulai tahun depan. Jason seharusnya hadir dalam meeting itu tapi Gardin memintanya untuk menjaga kabar dari Maura. Paling tidak salah satu dari mereka saja yang fokus pada pekerjaan. Untuk urusan Maura, selain Gardin sendiri yang memang hanya Jason yang tahu di kantor itu.
“Mi, kamu tolong online check in dong, untuk penerbangan malam ini saya dan Gardin ke Brisbane.”
Mia bingung. “Oh, Pak Gardin jadi berangkat malam ini pak?” Tapi tangannya pun tetap bergerak dengan lihai di keybord komputer untuk melakukan permintaan Jason.
Jason mengangguk. Dia berusaha memberi kode pada Fendi agar menyampaikan pada Gardin untuk mempercepat meetingnya. Pesawat mereka pukul 8 malam ini sudah pukul 5 sore.
“Oh ya, minta Subhan untuk stand by di Lobi ya!” Jason kembali memerintahkan Mia melakukan persiapan untuk mobil yang akan mengantar mereka ke airport.
Sepuluh menit kemudian terlihat bahwa meeting itu selesai. Sepertinya terjadi kesepakatan. Mereka saling berjabat tangan. Sepertinya Gardin mengucapkan permintaan maafnya kalau ia harus meninggalkan tamunya. Ia pun meminta Denny dan Fandi menemani tamunya keluar. Tapi justru dia keluar paling duluan dari ruangan itu.
“Gimana bang?”
“Udah bukaan satu”
“Maksudnya apaan?” Gardin kebingungan.
“Intinya udah deket proses melahirkannya.” Jason juga bingung menjelaskan.
“Gue ambil Hp gue satunya di ruangan dulu.” Gardin pun setengah berlari, dan kembali keluar dalam hitungan detik. “Paspor saya mana Mi?”
Mia pun langsung memberikan paspor dan boarding pass online pada Jason dan Gardin.
“Tolong nggak ada yang tahu kalau saya ke Brisbane ya, termasuk Lucy!” Begitu menerimanya, mereka berdua pun setengah berlari menuju lobi.
Melihat peristiwa itu Mia hanya terdiam, sudah bisa menduga apa yang sedang terjadi. Tapi sebagai sekertaris ia harus bisa menjaga rahasia atasannya itu. Sepintas ia pun berdoa untuk keselamatan siapapun yang akan melahirkan.
(Bang, kita menuju rumah sakit sekarang, Mbak Maura udah kesakitan banget.) Arkan memberi kabar.
Di mobil Gardin dan Jason saling pandang. Gardin pun langsung menelepon Arkan. Tapi langsung di reject.
(Bang, jangan nelepon dulu. Mbak Maura masih ada dalam mobil. Nanti kita kabarin, kalau ada yang mau elo bilang WA aja dulu.) Arkan memberikan informasi.
“Tuhaaaannnn saya harus bagaimana?” Gardin panik banget.
Jason berusaha menenangkan Gardin. Dia pun mengelus-elus kasar punggung Gardin. “Tenang ya… Bentar lagi kita sampai airport kok.” Sumpah ini udah bagus banget jam 6 sore, hari kerja, Di tol bisa 40 km/jam.
(Kita OTW ke BNE. Kalian jaga Maura baik-baik ya. Gardin udah nggak bisa nulis. Panik banget.)
Jason dan Gardin sampai airport pukul tujuh tiga puluh. Karena sudah online check in dan mereka nggak bawa apa-apa, mereka langsung ke imigrasi dan menuju gatenya. Just right on time, mereka memasuki pintu masuk sesaat pintu hampir ditutup. Jason dan Gardin pun duduk di kursi mereka dengan perasaan campur aduk. Sang pramugari pun menyuguhkan welcome drink untuk mereka berupa juice. Mereka langsung meminumnya sampai tuntas karena mereka memang sangat haus karena sedari tadi berlari kian kemari. Setelahnya mereka duduk manis di kelas Business dan tak lama pesawat pun mengudara sesuai jadwalnya.
Setelah pesawat aman di udara, telepon genggam mereka bisa diaktifkan lagi. Mereka memang memakai flight mode tetapi mereka masih bisa online dengan menggunakan wifi pesawat sehingga mereka masih bisa berhubungan dengan Arkan dan Angga.
(Gimana Maura?)
(Kata dokter masih bukaan tiga bang. Kita nggak boleh masuk bang jadi cuma bisa nunggu kabar aja di luar.)
(Kadang ngintip dikit. Kasihan bang, Mbak Maura kesakitan sendirian.)
Baca itu Gardin benar-benar nangis. Sama sekali dia tidak lagi menyembunyikan airmatanya. Membayangi Maura merintih sendirian dia benar-benar hancur.
“Sholat. Doain bini lo!” Jason bicara pelan tapi tegas. Nggak bisa ngapa-ngapain juga sekarang. Dari pada kacau nggak jelas.
Gardin mengangguk nurut perintah Jason. Dia pun melakukan tayamum dan kemudian Sholat. Cukup lama dia memanjatkan doa.
Perjalanan Jakarta-Sydney kurang lebih tujuh jam, setelahnya mereka harus berganti pesawat menuju Brisbane. Memang semula mereka akan berangkat dengan jet pribadi Gardin, tapi ternyata karena salah koordinasi sang Pilot sudah terlanjur terbang dengan carteran orang lain. Untuk mencari pilot pengganti kalau mendadak gini ya nggak mudahlah.
Kira-kira kalau di Indonesia pukul tiga pagi, pukul 6 pagi waktu Brisbane. Arkan memberikan informasi pada mereka. (Bang, kayaknya harus dioperasi. Boleh kita yang tanda tangan persetujuan operasi?)
(Emergency?) Tanya Gardin. Dia masih ingin berperan sebenarnya.
(Air ketubannya udah pecah bang, harus secepatnya.)
(Ya udah, kalian aja tanda tangan kalau begitu.) Sumpah Gardin kalut banget. Tapi dia bisa apa?
Jason sebenarnya sempat tertidur, tapi terbangun mendengar Gardin kembali kasak-kusuk. Diapun membaca pesan dalam grupnya. Wajarnya kalau Gardin kembali panik.
“Doain semua baik-baik aja! Nggak ada yang bisa kita lakukan di sini juga selain berdoa.”
Gardin pun hanya bisa mengangguk.
Begitu landing, Gardin dan Jason keluar dari pesawat setengah berlari, masuk immigrasi Gardin dan Jason sempat ditahan. Karena mereka cukup mencurigakan terbang antar benua tapi sama sekali tidak membawa barang. Tapi akhirnya mereka justru mendapat prioritas ketika Jason dan Gardin menjelaskan bahwa istri Gardin sedang dalam proses melahirkan di Brisbane. Mereka berdua memang banyak perjalanan bisnis ke Australia dengan track-record yang mereka punya, maka kecurigaan imigrasi dianggap tidak beralasan.
Mereka seharusnya terbang jam delapan pagi, tapi pihak maskapai berhasil membuat mereka terbang jam tujuh pagi ketika mengetahui kondisi mereka yang emergency. Landing di Brisbane pukul delapan tiga puluh, mereka pun langsung naik taxi menuju rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, Jason dan Gardin menemui Arkan dan Angga yang terlihat kelelahan dan panik.
“Gimana?”
“Masih di ruang operasi bang, baru masuk tadi jam 8 kurang.”
Mereka hanya bisa duduk menanti.
Lima belas menit kemudian, seorang suster keluar dengan membawa kereta bayi. Di dalamnya seorang bayi laki-laki anak dari Gardin dan Maura.
Keempatnya langsung melongok melihat bayi yang baru lahir itu.
Sang bayi pun menatap mereka dengan dahi berkerut. Dia tidak menangis terlihat curius menatap mereka.
Jason pun bertanya pada suster apakah Gardin bisa mengadzankan anak itu.
Sang suster pun mengajak Gardin untuk masuk ruang perawatan bayi. Hanya boleh dua orang yang boleh memasuki tempat itu.
Setelah cuci tangan, dan memastikan semua bersih, Gardin pun diijinkan untuk menggendong anaknya. Dia pun mulai mengadzankan bayi laki-laki itu. Rasanya begitu haru buat Gardin. Akhirnya bisa melakukan peristiwa sakral antara ayah dan anak itu.
Jason mengabadikan peristiwa yang pastinya akan menjadi sejarah bagi kelurga Gardin. Jason pun jadi ikut terharu melihat pemandangan Gardin menangis tersedu-sedu. Setelahnya, Gardin mencium anaknya dengan penuh sayang.
Nggak lama, bayi pun diberikan kembali ke perawat yang ada di sana. Sang Suster meletakan bayinya di tempat di mana para bayi bisa dilihat dari luar ruangan.
Gardin dan Jason keluar ruangan bayi dan menghampiri Arkan dan Angga.
“Gimana Maura, dokternya sudah keluar?”
“Belum bang.”
Baru saja Angga menjawab, seorang dokter senior keluar dari ruangan operasi, menjelaskan bahwa operasi berjalan lancar, bayi dan ibu dalam keadaan baik dan selamat. Saat ini Muara sedang dalam keadaan tidur dan masih di ruang pemulihan sampai dia siuman.
Gardin langsung meminta ijin bertemu Maura sebelum Maura terbangun.
Sang dokter hanya tersenyum, sepertinya suami Maura sudah tidak sabar. Maka diijinkannya Gardin masuk, tapi hanya dirinya seorang yang kini boleh masuk.
Gardin pun memasuki lorong dingin dan sepi itu, nggak jauh… dia pun melihat istrinya terbaring di satu tempat tidur.
Gardin memakai jubbah berwarna hijau, diapun menutup wajahnya dengan masker. Menghampiri Maura diapun mencium kening sang Istri. “Terima kasih banyak sayang. Maafin aku nggak mendampingi kamu dari awal.” Dibelai juga rambut Maura dengan sayang. Ditatap perempuannya itu dengan perasaan campur aduk, Haru, Merasa bersalah, bahagia atas kelahiran anak mereka, tapi ada juga kerinduan yang mendalam.
Ingin rasanya untuk tinggal lebih lama di samping Maura, tapi Gardin takut, dia nggak tahu rekasi Maura ketika mengetahui dia ada di sana. Akhirnya Gardin memutuskan untuk keluar ruangan sebelum Maura bangun.
Ketika ia keluar ruangan dijumpainya Jason, Arkan dan Angga sedang melihat bayinya yang berada di baby show. Dimana ruangan bayi itu dibuka jadi keluarga bisa melihatnya melalui kaca bening. Hanya ada Bayi Maura saat itu. Gardin pun menghampiri mereka kembali melihat bayinya.
“Kayak gue ya gantengnya?” Gardin bangga banget dengan anak laki-lakinya yang baru datang ke dunia.
Ketiganya hanya melirik pada ayah baru itu. Kembali fokus melihat bayi itu.
“Namanya siapa bang?” Tanya Angga.
“Terserah Maura aja. Gimana caranya coba kalau gue yang namain, gue aja masih nggak yakin kalau gue boleh ada di sini.”
“Elo bisa kasih tahu kita, nanti kita sampein ke Mbak Maura gimana caranya lah.”
Gardin tersenyum tapi sekaligus ia sedih “Dulu banget, waktu sebelum Maura beberapa kali keguguran, kita udah merancang nama untuk anak-anak kita. Semoga Maura ingat itu.”
Jason menepuk bahu Gardin, “sebentar lagi Maura keluar nih dari ruang pemulihan. Kita pergi yuk!”
Gardin kaget. Harus banget pergi sekarang?
“Kabarin kita begitu Maura masuk kamar ya.” Pinta Jason pada Angga dan Arkan.
Jason pun menyeret Gardin untuk keluar dari rumah sakit itu.
Ketika mereka baru keluar dari lift di lantai lobi, Angga sudah memberi kabar bahwa Maura sudah siuman, masuk ke ruangan perawatan, bahkan sudah bisa meminta Angga dan Arkan pulang saja untuk istirahat, tahu banget kalau sejak semalam mereka belum tidur.
Jason menelepon Angga. “Ya sudah, kita makan bareng dulu deh, kalian belum makankan? Kita tunggu di bawah ya!”
Setelah Jason menutup sambungan teleponnya dia pun melangkah bersama Gardin.
Tiba-tiba Gardin berhenti ketika mereka berada di lobi luar rumah sakit. “Kenapa gue harus begini bang?”
Jason heran. Maksudnya?
“Kenapa gue nggak boleh lebih lama deket anak dan istri gue?” Gardin begitu frustasi. “Gue pengen gendong anak gue lebih lama, gue pengen jagain Maura yang masih lemah. Sepuluh tahun gue nunggu peristiwa ini, tapi Kenapa sekarang gue nggak boleh bahagia lebih lama?”
Jason bingung kok jadi dia yang disalahkan? Dia hanya membiarkan Gardin meluapkan emosinya.
“Sebegini beratnya konsekwensi yang harus gue tanggung karena nyakitin Maura?” Gardin nangis lagi, kali ini bukan karena terharu.
“Jangan cengeng, elo laki-laki!” Jason sangat serius. “Dari awal gue udah bilang elo membuang berlian dan justru mempertahankan perempuan yang salah. “
“Apa gue nggak punya kesempatan untuk memperbaikinya? Gue sayang banget sama Maura. Gue belum terlambatkan?”
“Pelan-pelan, kita ikutin maunya Maura. Kasih dia waktu untuk bisa nerima elo lagi. Kita ikutin prosedur yang diminta Pak Mochtar. You are a man with honor, tepatin janji elo sama Pak Mochtar.” Jason menepuk pundah Gardin. Memintanya untuk tenang.
Nggak lama, begitu Arkan dan Angga pun menghampiri mereka, Gardin langsung menghapus airmatanya. Arkan dan Angga lihat sih, tapi mereka pura-pura nggak tahu. Setelahnya mereka berempat sarapan di café terdekat.
Setelah sarapan yang kesiangan alias brunch, keempatnya berpisah. Gardin dan Jason naik taxi menuju satu hotel di City, sedangkan Angga dan Arkan naik mobil yang sebenarnya milik Gardin pulang ke unit mereka. Tadinya mereka hendak mengantar kedua bos mereka itu ke hotel tapi Gardin menolak. Tahu banget dua anak muda itu lelah karena semalaman mereka begadang menemani istrinya. Gardin sangat berterima kasih untuk itu. Makanya, kalau sekedar ke hotel aja sih, bisa naik taxi kok.
Gardin dan Jason check in di salah satu hotel berbintang maximal di tengah kota. Mereka hanya memesan satu kamar saja yang bertempat tidur dua. Benar-benar tidur layaknya orang pingsan. Menjelang malam mereka ke boutique ternama terdekat untuk membeli pakaian ganti, dan pukul delapan malam sudah kembali ada di airport, berangkat menuju Jakarta via Singapura tepat tengah malam. Huh… benar-benar hari yang padat. Perjalanan yang diawali dengan sport Jantung, tapi akhirnya mampu memberikan rasa lega bagi Gardin. Walaupun kebahagiaannya nggak maximal, paling tidak ia cukup lega bisa menyaksikan dengan langsung kehadiran anaknya ke dunia, dan bisa tenang mengetahui Maura baik-baik saja. Itu sudah lebih dari cukup saat ini.
_*....Bersambung....*_
Belum ada tanggapan untuk "Janda CEO Bagian 8 (We welcome You)"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.