JANDA CEO......Part 18
*Lamar Aku Lagi Dong
Satu masalah selesai. Sepertinya Lusy menepati janjinya untuk tidak mengganggu Gardin dan Maura lagi. Memang ada kompensasi untuk itu semua sih, Gardin memang memberikan uang setelah Lusy meminta maaf pada Maura secara terbuka, tulus atau nggaknya yah nggak usah dipusingin deh. Jumlah uangnya terbilang lumayan aja, dibandingkan dulu dengan yang ia dapatkan setelah bercerai dengan Gardin, ya kali ini mah terbilang kecil banget. Sepertinya Lusy cukup belajarlah dari pengalaman kemarin, dia tidak lagi berfoya-foya, sudah mikir hiduplah, mesin ATMnya kini udah nggak berfungsi sama sekali untuk dirinya.
Masalah baru buat Arkan dan Angga adalah minta maaf pada Maura bahwa selama ini mereka telah membohongi Maura. Kenapa mereka yang harus minta maaf ya? Kan mereka juga orang suruhan? Tapi ya… ini masalah etika berteman aja sih. Dibalik semua itu, sebenarnya mereka tulus kok mau berteman dengan Maura. Maura kan personalitinya baik dan menyenangkan. Apalagi ada Hiro, anak bayi yang lucu, menggemaskan dan sama sekali nggak ada rewelnya.
Angga dan Arkan pun kembali dorong-dorongan memasuki restoran Maura di sabtu siang. Angga membawa Dagna juga sih, dan Dagna sampai bingung dengan sang suami dan Arkan kenapa sebegitu gugupnya sih. Mereka naik ke lantai dua masih dalam keadaan gugup. Tadi salah satu pramusaji mengatakan bahwa ibu Maura menanti mereka di lantai 2. Setelah berada di lantai dua, mereka pun memilih duduk di sofa yang nyaman untuk menanti Maura. Ketiganya pun duduk manis.
Maura keluar dari kantornya di lantai yang sama, dan dia pun tersenyum pada ketiganya. “Apa kabar nih?”
Ketiganya berdiri dan tersenyum menyambut Maura.
Maura pun duduk bersama mereka, tapi kebingungan. “Kok pada kaku begini sih? Kayak sama orang lain aja?”
“Iya nih Mbak, gue juga heran. Dari tadi mereka grogi banget.” Dagna yang menjawab.
Maura pun tertawa ramah. “Grogi kenapa, mau pengakuan dosa ya?”
Arkan dan Angga hanya cengengesan.
“Biasanya mereka nggak pernah begini nih Na, sama gue.” Maura bicara dengan Dagna.
“Mau minta maaf Mbak, selama ini bohongin Mbak Maura.” Arkan memulai pembicaraan.
“Iya Mbak, tapi kan kami disuruh Bang Gardin dan Bang Jason kalau nggak boleh ngomong sama Mbak Maura.”
Maura tersenyum lebar. Dia pun mengangguk maklum. “Iya gue sangat mengerti kok posisi kalian, siapa sih yang bisa ngelawan big bos, ye kan?”
Angga dan Arkan tersenyum tulus. “Tapi sebenarnya kami sama sekali nggak keberatan kok Mbak untuk jagain Mbak Maura dan Hiro, secara Mbak Maura nyenengin, Hiro juga gemesin.”
“Serius nggak keberatan, bukannya dulu elo udah gerah banget mau pulang biar cepet nikah?” Goda Maura ke Angga, “Gue juga sering lihat elo agak BT karena pengen ngajak Indah kencan tapi nggak bisa karena lagi giliran jaga Hiro.” Kali ini Arkan yang digoda.
Keempatnya tertawa mengingat banyak peristiwa yang kurang lebih bikin gregetan, di mana mereka dalam dilemma itu.
“Itukan kadang-kadang aja mbak, tapi selebihnya suatu kehormatan jagain anak dan istri big bos mbak.” Jawab Arkan.
“Setuju.” Angga menimpali
Maura tersenyum. “Makasih banyak lho ya, terus terang gue bahagia bahwa kalian yang diutus jaga gue. Coba kalau orang lain, yang lebih dewasa, lebih ganteng, wah… bisa-bisa gue nggak jadi rujuk sama Gardin tuh.” Maura sedikit menghayal.
Arkan dan Angga langsung berhenti tertawa, dan agak tersinggung. “Maksudnya kita kurang dewasa dan kurang ganteng gitu mbak?”
Maura tertawa renyah. “Bercanda kali Kan, nggak usah diambil hati gitu deh. Kalau gue bilang kalian nggak ganteng, Dagna tersinggung dong.”
Dagna malah ikut tertawa. “To be honest memang gantengan Bang Gardin sih Mbak.”
“Apa?” Angga kaget dan tersinggung.
Dua perempuan itu tertawa makin renyah. “Bercanda Ngga, ya kali Dagna suka sama om om.” Maura menengahi.
Angga masih ngambek.
Dagna pun mencium pipi suaminya. “Becanda sayang, kalau kamu nggak ganteng masa aku bela-belain nunggu kamu sampai tiga tahun sih.” Mereka memang sudah tunangan setahun sebelum Angga berangkat ke Brisbane.
Angga pun kembali tersenyum.
Maura pun melirik Arkan. “Cepetan si Indah dilamar biar nggak ngiri ngeliat Angga sama Dagna!”
Arkan tersenyum sebagai jawaban.
“Jadi beasiswa kalian dari kantor karena sekalian dapat tugas jagain gue?”
Arkan dan Angga pun mengangguk.
“Fasilitasnya pastinya lebih lengkap dari beasiswa biasa dong?” Maura mulai intrograsi.
Keduanya mengangguk lagi. “Bulanannya gede banget mbak, lumayan buat tabungan modal nikah. Terus ya unit tempat tinggal, mobil, tagihan apapun sama sekali kita nggak bayar, ditambah lagi terbang ke sananya naik business class.” Jawab Angga.
“Bonusnya?”
“Hm… Dagna dan orang tua gue dapet tiket saat wisuda itu mbak.”
“Gue juga, dapet tiket buat nyokap and adek gue pas wisuda.”
“And?”
Angga malu-malu gitu, “Begitu kita berhasil membawa Mbak Maura dan Hiro ke Indonesia, kita dapet rumah.”
“Wow.” Maura takjub. Gardin bisa seroyal itu ya dengan dua anak ini. “Jadi kado nikahan kalian ya?”
Dagna dan Angga mengangguk.
“Kalau gue ya ditinggalin bareng nyokap dan adek gue mbak. Karena selama ini kan kami masih kontraktor.”
Maura bahagia mendengarnya, Hadiah dari Gardin untuk keduanya begitu bermakna ternyata. “Syukurlah kalau memang berguna buat kalian ya.”
“Mbak.” Angga menatap Maura tajam. “Bukan berarti kita nggak tulus lho berteman sama elo, dan kita sangat ingin Mbak Maura dan Bang Gardin rujuk lagi.”
Maura tersenyum dan mengangguk. “Gue merasakan ketulusan kalian berteman dengan gue kok. Apapun dibelakang itu, gue tetep berterima kasih dengan kalian yang bersedia menjaga gue dan membantu gue menjaga Hiro.”
Keempatnya tersenyum lega. Lega buat semua, lega juga karena semua uneg-uneg sudah keluar. Sudah bisa jujur satu sama lain.
“Mbak, ngomong-ngomong kok elo bisa tahu sih kalau kita suruhan Bang Gardin?” Arkan penasaran.
“Lha, kan elo yang keceplosan.” Jawab Maura.
“Ha?” Angga dan Arkan kaget. “Kapan?”
“Waktu gue mau melahirkan, Angga kan saat bawa mobil hampir nabrak possum, terus dia ngerem mendadak. Terus elo keplak kepalanya sambil bilang hati-hati tolol bawa bini big bos nih, mati bareng nanti kita kalau kenapa-kenapa. Kan elo ngomong gitu.”
“Ha? Jadi elo denger?” Arkan dan Angga kaget banget.
“Hei gue memang kesakitan mau melahirkan saat itu, tapi bukan berarti mendadak tuli.”
Keempatnya pun tertawa bersama menertawakan kebodohan keduanya.
**
Jumat malam, Gardin, Maura dan Hiro sedang bersantai di ruang tengah sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing. Gardin dan Hiro sedang asik menyusun lego, sedangkan Maura membaca majalah ketika Pak Karim datang dengan membawa baju yang tercover rapih dengan gantungannya.
“Bu, ini diletakan di mana?” Tanya Pak Karim.
Maura mendongak memperhatikan apa yang dibawa Pak Karim. “Oh, tolong digantung di tiang gantungan baju dekat kulkas itu pak!” Pinta Maura. Cover baju itu tertulis nama desiner terkenal Indonesia.
Pak Karim pun melaksanakan apa yang diminta Maura. Dan Maura pun berterima kasih.
Gardin pun penasaran. “Apa tuh Ra?”
“Oh itu, kebaya buat nikahan kita nanti.” Jawab Maura acuh.
Gardin kaget, “Ha serius? Kamu sudah bikin kebaya?” Gardin bahagia banget mendengarnya. Rasanya sudah di depan mata pernikahannya akan segera terwujud. Bukan pernikahan sih, pengulangan prosesi ijab qobul sebenarnya. Mereka kan sudah menikah hampir empat belas tahun yang lalu.
Maura bingung, kenapa Gardin kaget, kan memang sudah direncanakan toh? “Ya kan sudah hampir enam bulan. Sudah waktunya kita rujukkan?”
Gardin menghampiri Maura, dan langsung mencim pipi Maura, setelahnya memeluknya. “Aku seneng banget sayang.”
Maura tersenyum. Nggak cuma Gardin kok yang senang.
“Aku nanti pakai apa Ra? Aku kan juga pengen ganteng buat kamu.” Gardin begitu bersemangat.
Maura tersenyum. “Itu sudah sekalian kok, kebaya aku, baju koko kamu dan Hiro juga.”
“Oh…”
“Warna apa Ra?”
“Biru, kesukaan kamu.”
Gardin meluk lagi. Senangnya bertubi-tubi rasanya.
“Din, aku boleh ngajuin syarat lagi nggak?” Maura tersenyum, tapi kali ini sebenarnya dia iseng aja sih. Bukan satu hal yang penting.
Raut wajah Gardin langsung nggak enak gitu, dia mendesah pelan. “Masih ada syarat lagi Ra?”
Maura tersenyum, mengalungkan tangannya di leher Gardin. “Aku pengen dong dilamar romantis gitu.” Pintanya manja-manja ngegemesin gitu deh.
“Ha, ngelamar lagi? Serius ini?” Gardin bingung, males mendengarnya.
“Ya, tapi nggak penting sih… kalau kamu nggak mau juga kita tetep bakal rujuk kok.” Jawab Maura. Tapi dengan expresi agak-agak kecewa sedih gimana gitu.
Kan Gardin jadi nggak tega ya, masa sih dia ngecewain perempuan yang dicintai itu, permintaannya juga nggak macem-macem kok sebenarnya. “Ya udah deh, kasih aku waktu seminggu ya.”
“Seminggu?” Maura heran, kira-kira apa ya yang akan dipersiapkan Gardin?
Gardin pun mengangguk misterius.
**
Selama satu minggu Maura uring-uringan karena begitu penasaran. Kira-kira apa yang yang akan dilakukan Gardin untuknya. Benar-benar nggak ada clue sama sekali. Gardin kalau di rumah terlihat biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang sedang ia persiapkan. Maura kan jadi makin penasaran ya? Hadeuh kalau tahu sebegini penasarannya jadi pengen ngebatalin permintaannya itu deh, dari pada mati penasaran gini. Pernah sekali Maura menyinggung itu ke Gardin, eh tapi Gardin malah senyum-senyum sambil bilang “mau tahu aja.” Ih… ngeselinkan?
Hari ini hari jumat, persis seminggu dari Maura mengucapkan keinginannya. Seharusnya hari inikan ya Gardin akan merayunya, atau melamarnya, atau apalah. Sesuatu yang seharusnya membuat hatinya berbunga-bunga, dan kemudian dia akan bilang “I do…” gitu lho, kayak acara-acara romantis di TV. Kalau dipikir-pikir itu norak. Tapi kok ya pengen sekali-kali punya cerita norak. hehehe… semakin penasaran, sejak pagi hari Maura mulai menduga, hm… mungkin kejutannya ada di restoran, semua karyawannya disuruh Gardin mendekorasi ruangan, terus Gardin bawa bunga sama cincin gitu? Maura membayangkan seperti itu yang akan terjadi. Eh begitu masuk restoran nggak terjadi apa-apa lho, biasa-biasa aja gitu. Semua berjalan normal. Maura mulai masuk ke ruangan kantornya di lantai dua, begitu di depan pintu dia nggak langsung masuk. Maura membayangkan di dalam kantornya sudah ada Gardin dengan segala kejutannya. Maka, dia pun membuka pintu dengan hati-hati… sebelumnya mempersiapkan diri bergaya kaget. Begitu buka pintu… ya udah pintunya terbuka, dia masuk, duduk di meja kerjanya, dan Santi asistennya menyediakan teh hangat untuk dirinya. Serius nggak ada Gardin. Hm… rasanya kecewa-kecewa gimana gitu. Apa jangan-jangan Gardin sibuk banget ya, jadinya dia lupa kalau hari ini tepat seminggu waktu yang dia minta untuk memperiapkan diri melamar Maura? Ah… tahu ah… membayangkan hal itu, Maura jadi kecewa. Dia jadi cemberut nggak jelas. Kayaknya memang Gardin nggak akan melakukannya deh, paling nggak bukan hari ini. Yang artinya Gardin nggak menepati janjinya. Tapi, hm.. tenang dong Maura! Hari ini kan baru saja di mulai, hari masih panjang. Ini baru pukul Sembilan pagi lho… Baiklah, Maura mencoba untuk sabar.
Dan yang ditunggu akhirnya datang lho. Gardin datang setelah sholat Jumat. Tapi Maura agak kecewa, Gardin datang dengan berlenggang tanpa membawa apapun, mbok ya bunga kek, atau penampilannya lebih ganteng gitu. Ini nggak lho, Gardin datang dengan menggunakan kemeja kerja yang tangannya digulung hingga siku. Kelihatan pulang sholat Jumat banget deh. Kemejanya warna biru muda, celana hitam, ya biasa aja. Datang ke hadapan Maura dengan gaya santainya sambil nyengir.
“Aku sudah siap melamar kamu nih.”
Maura langsung bersungut-sungut. “Lamaran macam apa ini.”
“Lho, jangan lihat luarannya dong, lihat kedalaman makna proses melamar kamu.” Gardin pun menarik Maura untuk bangun dari kursi kerjanya. Diajaknya Maura untuk duduk di meja meeting, yang saling berhadapan lebih dekat dari pada harus duduk di meja kerja Maura.
Sejauh ini Maura masih nurut, karena dia penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Gardin. Mereka pun duduk berhadapan, sangat berdekatan. Gardin pun mengambil tangan Maura dan menempelkan tangan itu di pipinya, sesekali diciumnya tangan itu. Dia pun tersenyum.
“Kalau ada yang salah jangan diketawain ya, kalau kamu bisa bantu aku betulin.” Pinta Gardin.
Maura pun makin bingung, “betulin apa?”
Gardin nggak menjawab dia hanya tersenyum penuh misterius.
Dia pun menarik nafas, dan dia pun memulai. “Audzubillah Himinas Syaiton Nirojim…. Bismilah hirrahman nirohim….” menarik nafas perlahan… “Alif Laam Miim…. gulibatir-rụm…. fī adnal-arḍi wa hum mim ba’di galabihim sayaglibụn….”
Maura terpana… Subhanallah, Gardin melantunkan surah Ar-Rum… Maura benar-benar terpukau.
Gardin terus berusaha mengingat hafalannya. “binaṣrillāh, yanṣuru may yasyā`, wa huwal-‘azīzur-raḥīm…”
Maura begitu terpukau…
Gardin terus melantunkan ayat demi ayat dengan masih menggenggam tangan Maura dan meletakkan di pipinya, masih terus sesekali ia pun mencium tangan itu.
“wa’dallāh, lā yukhlifullāhu wa’dahụ wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya’lamụn..”
Maura mulai meneteskan airmata harunya. Ini serius suaminya begitu niat menghafal dan melafalkan ayat demi ayat. Walaupun terbata-bata dan nggak seindah qori yang ada di pengajian, di Youtube, atau di TV, tapi keinginan keras Gardin tetap membuat Maura begitu terharu.
“Faṣbir inna wa’dallāhi ḥaqquw wa lā yastakhiffannakallażīna lā yụqinụn.”
Gardin berhasil lho, 60 ayat surah Ar-Rum berhasil ia hafalkan.
“Sadaqallahul azim.” Gardin menyelesaikan lafalannya. Setelahnya dia pun membuka matanya dan menatap Maura tersipu-sipu. “Maap ya, masih banyak salah pengucapan.”
Maura mengambil tangannya yang masih digenggam Gardin untuk menghapus airmata harunya. “Kenapa harus surah Ar-Rum?” agak penasaran sih.
“Terinspirasi dari undangan-undangan kawinan.” Gardin pun nyengir. “Tapi kalau cuma ngapalin ayat itu aja, kok kurang menantang. Saat aku baca keseluruhan surah nya, dan membaca artinya ternyata maknanya dalem banget. Aku mengartikannya sebagai kondisi aku saat ini, aku yang yang pernah khilaf, yang pernah begitu sombong, aku yang kehilangan arah, dan aku yang akhirnya menemukan jalanku kembali kepada kamu karena Allah selalu meminta aku untuk menjadi manusia yang berfikir. Itu sih yang aku bisa maknai tentang surah ini.” Gardin menjelaskannya dengan Malu-malu.
Huuuuu Kok rasanya pengen meluk Gardin ya, sambil bilang I do… eh belom diminta ya? Maura sudah nggak sabar.
Gardin pun mengambil kembali tangan Maura yang dipakai untuk menghapus airmatanya tadi. Dia pun mengeluarkan cincin yang ada di jari kelingkingnya, dan kemudian menyematkan ke jari manis kiri Maura. “Aku pernah khilaf, mengkhianati kamu, pernah meminta kamu pergi dari hidupku, pernah nggak perduli apa yang kamu rasa, Membiarkan kamu menjalani kehamilanmu seorang diri. Aku pun tahu bahwa semua itu berat untuk kamu.” Gardin tersenyum, tapi dia bersungguh-sungguh dalam bicaranya. “Sekarang aku menyesal dan berusaha keras memperbaiki kesalahanku. Maura Amelia Andrakarma mau ya jadi istriku lagi?”
“Ya kalau sudah begini mana bisa nolak.” Maura pun memeluk Gardin.
Semoga ya, kali ini pernikahan ini bisa berkah untuk semua ya, hingga maut memisahkan dan bertemu lagi dalam Jannah yang di janjikan Allah,SWT.
Ternyata membuat perempuan luluh tuh nggak selalu mesti bunga, dan dekorasi cantik, dan berlutut ya. Kesungguhan dan keseriusan pun menjadi sangat penting dan romantis banget. Sekian liputan sore ini.
**
Disepakat pernikahan mereka berlangsung dua minggu kemudian. Walaupun sebenarnya secara administrasi tidak ada yang perlu mereka urus, karena memang secara hukum mereka tidak pernah bercerai. Maura tetap menginginkan prosesi pernikahan ini dilakukan oleh petugas KUA. Karena memang mereka membutuhkan wali hakim. Mengingat ayah Maura telah meninggal dunia, dan dia tidak mengenal saudara dari sang ayah yang bisa menjadi wali.
Maura pun masih mengajukan satu syarat lagi ke Gardin. Ha, syarat lagi? Iya, tapi sebenarnya nggak berat kok. Maura minta maharnya seperangkat perhiasan yang dipilih Gardin. Bukan siapa-siapa, bukan juga Mia atau orang suruhan Gardin lainnya. Tapi ternyata syarat itu cukup membuat Gardin pusing lho. Serius ini membuat Gardin pusing banget.
“Apa Din?” Ini sudah kesepuluh kalinya Gardin menelepon Maura dalam satu jam terakhir. Maura sedang ditemani Mia meeting dengan wedding organizer di kantor Gardin. Mereka akan menikah besok, dan WO baru dihubungi lima hari yang lalu, makanya WO nya pusing bukan kepalang.
“Ra, seperangkat itu artinya cincin, kalung dan anting ya?” Seberang telepon bertanya pada Maura.
“Iya sayang.” sambungan pun tertutup.
Baru mau bicara dengan pihak WO, telepon berbunyi lagi.
“Kenapa lagi sayang?”
“Kamu maunya berlian kan aku belinya di sensi aja ya?”
“Terserah kamu aja. Kamu mau beli emas di Melawai juga nggak papa.” Maura memutuskan hubungan teleponnya.
“Oh kamu mau aku beli di Melawai?”
“Nggak harus sayang, di pasar uler sekalipun juga nggak papa.” Maura sudah mulai gemes.
Terdengar Gardin kebingungan dan bertanya dengan orang yang ada di sana, “Pasar uler di mana?”
Maura tertawa dan menutup sambungan teleponnya.
Mereka pun melanjutkan meetingnya.
Kali ini telepon Mia yang berbunyi. “Ya pak?” Mia bicara begitu pelan takut Maura mendengar.
“Mi, ukuran cincin istri saya nomer berapa?” Gardin jadi ikut berbisik.
“Sepuluh pak.”
“Oh, ok.”
Maura mulai melirik Mia.
Pihak WO mulai menjelaskan lagi, sentuhan akhir dari dekorasinya. Ketika telepon Maura berbunyi lagi.
“Kenapa lagi?” Maura sudah mulai kesal nih.
“Ra, mau emas putih atau kuning?”
“Terserah Gardin, kalau kamu kasih emas hitam juga aku terima.” Maura langsung menutup teleponnya. Mulai emosi.
Berselang satu menit, telepon Mia yang berbunyi.
“Jangan dibantu ya Mi.” Pinta Maura
“Baik bu.” Mia pun mengangkat teleponnya. “Iya pak?”
“Mi, istri saya biasanya suka berlian yang kecil-kecil kayak pasir, atau yang besar sekalian?”
“Pak saya nggak boleh bantuin bapak, kata ibu.”
“Mia, bos kamu saya atau istri saya sih?”
“Pak, yang namanya istri bos itu, kedudukannya lebih tinggi dari bos.” Mia pun langsung menutup teleponnya melihat Maura mulai melotot.
Mia pun langsung berusaha fokus dengan pembicaraan dari pihak WO yang bawel banget itu. Tapi bagaimana pun dia nggak tega dengan bosnya, akhirnya dia pun mengambil satu majalah wedding, yang memperlihatkan iklan toko berlian yang mengiklankan seperangkat perhiasan berlian. Ini selera bu Maura banget modelnya. Mia pun langsung memphoto lembaran itu dan mengirimnya ke Arkan. Dia tahu kalau Arkan dan Angga sedang menemani Gardin membelikan Mas kawin untuk Maura.
“Mia, jangan dibantu!” Pinta Maura sekali lagi.
“Nggak bu, ini Arkan nanya meeting bapak kapan.”
Setelah meeting selesai, dan pihak WO sudah pamit pulang, Maura pun mendekati Mia. “Kamu kirim gambar yang mana?”
Eh ketahuan… Mia cengengesan. “Yang ini bu.” Dia pun menunjukan gambar yang dimaksud.
Maura pun mengamati. “Hm… bagus juga.” Cuma itu responnya.
**
Di Senayan city.
Gardin mengangkat telepon dari Jason. “Kenapa bang?”
“Woy, anak buah gue kenapa elo angkut?”
“Lha, elo nggak mau bantuin gue.”
“Kalau gue juga ikut ngurusin elo beli mahar, kantor elo siapa yang ngurus.” Jason mulai sewot.
“Ya ela bang, nggak akan bangkrut kantor gue kalau elo bantuin gue sehari aja sih.” Jawab Gardin enteng.
Nih orang, kalau deket udah dijitak deh. “Itu si Arkan ama Angga cepet suruh balik ke kantor! Kasihan Fendi ini bikin MOU sendirian, stafnya elo angkut semua.”
“Sabar bang, bentar lagi juga selesai nih.”
“Lagi juga Maura tuh nyuruh elo yang milih sendiri, kenapa harus bawa orang sih.”
“Gue pusing bang, bantuin kek. Paling nggak jangan bawel ah.” Gardin pun menutup teleponnya.
Meninggalkan Jason yang sewot. “Ini Kantor punya siapa sih? Kok Jadi gue sendirian yang pusing gini?” Jason kebingungan sendiri.
“Bang, Mbak Mia ngasih gambar nih Bang, sekalian nama tokonya.” Arkan memberi tahu Gardin.
“Oh ya? Ya udah kita beli ini aja.”
Mereka bertiga pun langsung ngacir mencari toko yang dimaksud. Sumpah ini tiga orang cowok sibuk belanja di mall di jam kerja udah kayak tiga anak SMA yang lagi bolos sekolah demi beli game PS yang mereka inginkan. Ribut dan ribet banget.
**
_*...Bersambung....*_
Bagus ceritanya sayangnya lama terbitnya 🙏😄😄
ReplyDelete