JANDA CEO
Part 12
Can I hug You
Gardin sudah wanti-wanti banget sama Angga dan Arkan, bahwa nanti pada saat mereka bertemu mereka harus pura-pura baru kenal depan Maura. Pokoknya gimana caranya lah agar Maura percaya bahwa Arkan dan Angga hanyalah mahasiswa yang baik padanya. Tanpa ada iming-iming mereka orang suruhan Gardin.
Rencananya, kedatangannya kali ini ke Brisbane, Gardin akan tinggal lima hari. Kali ini ia seorang diri. Karena kehadiran Jason sebagai orang kepercayaan Gardin sangat dibutuhkan di kantor ketika Gardin sedang cuti begini. Gardin benar-benar tidak sabar untuk bertemu Hiro. Dan dia pun berharap Maura sudi bertemu dirinya. Kalau Maura mengijinkan dia akan tinggal di unit Maura, tapi kalau tidak diijinkan maka ia akan check in di hotel di city. Maka, begitu Angga tadi menjemputnya di airport, Gardin tidak langsung check indi hotel.
Gardin pun memberikan senyum terbaik, ketika pintu terbuka, berharap Maura yang membukakan pintu untuknya.
“Masuk bang.” Ternyata Arkan yang membukakan pintu unit itu.
Senyum Gardin langsung hilang. Dia pun langsung memasuki unit itu. Oh begini ya wujud sebenarnya, unit yang setiap harinya ia intip dari CCTV. Gardin pun mengamati sekeliling. “Maura mana?”
“Ke kampus. Tapi baby Hiro ada kok di box nya.” Arkan menjelaskan.
Gardin menghela nafas, seketika dia sedih. Apa nggak bisa bolos kuliah sehari untuk menyambut dirinya, memangnya Muara nggak kangen dia ya? Mencoba menghibur diri, dia pun menghampiri Hiro yang sedang asik mengunyah mainannya dalam posisi berbaring.
Gardin pun tersenyum padanya. “Halo anak ayah, kangen nggak sama ayah?” Gardin pun bermaksud menggendongnya.
“Bang, cuci tangan dulu!” Arkan mengingatkan.
Mau marah, tapi dia benar. Anaknya memang harus selalu higenis. Akhirnya Gardin pun ke kamar mandi untuk cuci tangan. Setelah memastikan dia telah bersih, kembali melanjutkan rencana menggendong sang anak. Gardin menggendong Hiro, menciumnya dan mendekapnya.
Seakan menyadari bahwa Gardin ayahnya, Hiro pun terlihat sangat nyaman dalam dekapan Gardin, bayi empat bulan itu pun tetap bermain dengan mainannya, seakan menikmati kedatangan ayahnya. Gardin pun duduk di sofa masih menggendong Hiro.
“Kalian nggak kuliah?”
“Kuliah kita banyak intensive bang, minggu ini sama sekali nggak ada kuliah cuma assignment, tapi minggu besok, gue kuliah lima hari berturut-turut.” Angga menjelaskan. Sambil memberikan Gardin minuman dingin.
“Elo juga gitu Kan?”
“Polanya sama sih bang, tapi gue malah kebalikan Angga, minggu ini mulai besok gue intensif sampai minggu, tapi minggu depan cuma ada satu hari yang kuliah.”
“kita memang sengaja ngambil mata kuliah yang beda bang. Biar bisa gantian jagain Hiro. Mbak Maura masih belum tega nitipin Hiro di daycare.”
“Kalau kuliah Maura?”
“Kalau Business relative regular bang, Mbak Maura ngambil empat mata kuliah, praktis seminggu cuma dua kali ke kampus. Tapi ya seharian sih kuliahnya. Karena langsung dua mata kuliah.”
Gardin cukup berterima kasih mendengar kedua anak buahnya menjalankan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab. Sepertinya memang mereka juga mengerjakannya tanpa beban.
“Jadi hari ini Maura akan seharian di kampus?” Sedih juga sih, Gardin sudah sangat merindukan Maura.
“Biasanya Mbak Maura pulang siang bang, buat nyusuin Hiro, dan makan siang, terus balik lagi ke kampus.”
“Lho kalau Maura di kampus, Hiro minum apa?”
“Ada kulkas khusus yang isinya ASI untuk Hiro bang.” Angga menunjukan kulkas yang di maksud. Letaknya nggak jauh dari mereka, bukan di dapur, tapi di ruang tengah.
Gardin melongok. Dia nggak paham dengan penjelasan Angga.
Keduanya jadi kebingungan menjelaskan ke Gardin, Maura kan istrinya Gardin, masa mereka sih yang menjelaskan urusan perah memerah. Mereka agak rikuh. Tapi sepertinya Gardin sama sekali nggak paham.
“Elo tanya mbak Maura aja ya bang urusan itu. Kita bingung jelasinnya.” Arkan menggaruk kepalanya yang nggak gatal.
**
Maura memasuki kamarnya pelan-pelan. Arkan dan Angga tadi bilang kalau Gardin dan Hiro tidur siang di kamarnya. Benar adanya, Maura mendapati Gardin tertidur di samping Hiro. Maura terdiam menikmati pemandangan itu, dia tersenyum. Gaya Father and son itu lucu banget, sama-sama mengangkat tangan mereka ke atas. Tertidur dengan wajah polos. Mungkin Gardin masih jetlag, makanya jam segini dia bisa tertidur lelap. Laki-laki workaholicini sepertinya begitu menikmati masa cutinya.
Hiro terbangun, sepertinya dia menyadari kehadiran sang bunda, memang jadwalnya dia untuk minum ASI sih. Hiro pun tersenyum melihat kehadiran Maura yang ia rindukan. Maura pun tersenyum, perlahan ia pun menggendong sang bayi. Dia pun mencoba duduk di satu-satunya sofa yang ada di kamar itu. Sepintas dia bingung, ia hendak menyusui buah hatinya. Kalau menyusui di luar ada Arkan dan Angga. Lha kalau di sini bagaimana kalau Gardin terbangun, laki-laki ini kan membingungkan statusnya, suami sudah bukan lagi, dibilang mantanpun belum resmi. Maura jadi serba salah. Tapi Hiro sudah tidak sabar, sepertinya dalam hitungan detik kalau tidak diberikan buah dada Maura dia sudah siap untuk menangis. Akhirnya Maura pun memutuskan untuk memberikan ASI pada Hiro di kamarnya. Mengubah posisi duduknya agar tidak terlalu menghadap Gardin. Tapi tetap saja ia berharap semoga Gardin nggak terbangun selama ia menyusui. Hiro pun menghisap buah dada sang bunda dengan riangnya. Maura sangat menikmati momen kebersamaannya dengan bayi semata wayangnya itu.
Gardin terbangun ketika Maura sedang menepuk-nepuk punggung Hiro, setelah disusui memang bayi sebaiknya ditepuk-tepung punggungnya agar bersendawa.
“Sudah pulang Ra?” Sapa Gardin, dia pun bangun dari tidurnya sambil sedikit mengucek matanya. Bahagia rasanya ia bisa melihat langsung Maura lagi.
Maura tersenyum menyambut bangun tidurnya Gardin.
“Maaf saya tidur di tempat tidur kamu.”
Maura masih tersenyum ramah, tapi masih kaku kok. “Nggak papa, aku sudah mau kembali ke kampus. Kalau masih lelah tidur aja lagi.”
“Kamu sudah makan?”
Maura mengangguk. “Sebelum menyusui aku pasti makan dulu. Kamu sudah makan?”
Gardin menggeleng. “Tadi aku nunggu kamu.”
“Oh maaf aku nggak tahu. Kamu makan sama Angga dan Arkan saja ya. Sudah kenal dengan Flatmateku kan?”
Gardin mengangguk.
Maura pun menyerahkan Hiro pada Gardin, “Aku berangkat dulu ya.” Dia pun meninggalkan Gardin, tanpa Gardin bicara apa-apa lagi.
Gardin hanya bisa menghela nafas, berharap Maura bersedia bicara padanya lebih dari sekedar basa-basi. Rindu sekali ia pada belahan jiwanya itu, yang disadarinya begitu terlambat.
**
“Bang, elo mau gue sama Arkan beli kopi yang jauh?” Angga berbisik pada Gardin, saat itu pukul delapan malam. Maura baru saja pulang kuliah.
Gardin tersenyum dengan pengertian Angga. “Nggak sekarang, mungkin besok-besok. Sekarang gue butuh kalian malah, biar nggak akward.”
Oooo… Angga mengerti. Paling nggak dia sudah menawarkan.
“Ra, mau makan? Aku angetin ya sop buatan Arkannya?” Gardin menawarkan jasanya pada Maura.
Maura tersenyum.
“Sopnya masih anget kok…” Mulut Arkan langsung ditutup sama Angga. Nih orang kadang-kadang polos banget sih. Angga gregetan. Dia pun langsung membawa Arkan ke teras. Perasaan Arkan lebih tua deh dari dirinya, apa karena masih jomblo ya makanya polos gini?
“Hiro tadi sudah aku kasih susu Ra, makanya sekarang tidur.” Gardin memberikan keterangan ketika Maura melirik Hiro yang tertidur di boxnya.
Maura tersenyum kecil. Diapun menghampiri Gardin yang menantinya di meja makan. “Kamu sudah makan?”
Gardin menggeleng dan tersenyum teduh. “Nunggu kamu. Aku ambilin ya?” Pintanya ketika keduanya sudah duduk manis di kursi makan.
Maura hanya mengangguk. “Angga dan Arkan sudah makan?”
Gardin mengangguk lagi, dia pun sibuk memasukan lauk pauk ke piring yang ingin dia persembahkan untuk Maura.
Maura menerimanya, dan memulai makan mengucap Bismillah. Gardin pun ikut makan.
“Kamu mau tinggal di sini?” Maura agaknya bingung, kok Gardin meletakkan barang-barangnya di kamar Maura, sepertinya Gardin tidak berencana untuk check in di hotel.
Gardin diam sejenak. “Boleh kan Ra? Tujuan aku ke sini untuk bertemu Hiro dan kamu, kalau boleh aku ingin tinggal sama kalian selama di sini.”
Maura menghela nafas, terlihat sebenarnya dia nggak nyaman dan serba salah. “Kamu mau tidur di mana? Kita nggak mungkin tidur bersama.”
“Di mana saja, aku bisa tidur di sofa kok. Yang penting aku nggak jauh dari kalian. Aku sudah jauh-jauh ke sini, bolehkan aku merasakan satu rumah sama kamu dan Hiro? Aku pengen banget kalian pulang Ra. Tapi kalau memang kamu belum siap, paling nggak ijinkan aku merasakan ini sesaat.”
“Terserah kamu deh.”
Gardin menyentuh tangan Maura. “Ra, kasih tahu aku apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa maafin aku. Supaya kamu mau kembali pulang padaku! Apapun yang kamu mau akan aku lakukan.”
Maura kebingungan untuk menjawab permintaan Gardin.
“Apa kamu nggak pernah kangen aku Ra? Aku kangen kamu banget.”
Sepertinya Gardin tidak mau menyia-nyiakan kesempatannya untuk mengungkapkan isi hatinya pada Maura. Mungkin ini waktunya Maura pun terbuka. “Aku pun kangen kamu, Tapi aku mau, kalau satu saat kita kembali lagi aku ingin benar-benar ikhlas menerima kamu lagi. Tanpa ada rasa sakit, mampu melihat bahwa semua ini telah selesai.”
“Kasih tahu aku, apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa percaya aku lagi Ra!” Gardin begitu memohon.
“Ini bukan hanya tentang bagaimana usaha kamu untuk mengembalikan kepercayaanku. Tapi ini juga tentang aku. Tentang apakah aku mampu untuk ikhlas menganggap bahwa masalah ini telah selesai. Tentang bagaimana kemampuanku untuk memaafkan kamu. Tentang bagaimana komitmen aku untuk tidak lagi sakit hati apabila teringat tentang masalah ini suatu hari nanti. Semua itu nggak mudah. Kalau memang suatu saat kita akan bersama lagi, aku ingin selalu bisa tersenyum dan berlapang dada bahwa kejadian yang lalu adalah suatu pembelajaran yang diingat tanpa harus membangkitkan luka lagi.”
“Jadi apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa memaafkan aku?”
“Bersabar Gardin! Aku sudah tahu apa mau kamu. Aku sedang mencari tahu apa mauku. Karena aku takut, bagaimana kalau suatu hari kamu nggak menginginkan aku lagi. Kamu ingatkan kamu yang minta aku pergi dari hidup kamu disaat aku yakin aku bisa bertahan di sisi kamu.”
“Maafin aku, aku telah jahat sama kamu.” Gardin menyesal banget mengingat kejadian itu. Ingin rasanya ia bersimpuh di kaki perempuan yang dicintainya ini, tapi rasanya terlalu drama. Ia ingin Maura memaafkannya karena ia mampu meyakinkan, bukan karena penuh kegombalan.
Maura tersenyum tulus, “Aku tahu kamu menyesal. Kasih aku ruang untuk diriku sendiri ya.” Pinta Maura lembut.
“Pulang ya Ra! Akulah rumahmu, aku akan sabar menanti kamu, tapi pulang Ra, rumah ini hampa tanpa kamu!” Gardin begitu memohon.
Maura kembali dengan senyum tulusnya, dia pun bangkit hendak menyudahi pembicaraan ini. Apa yang ingin Gardin sampaikan sudah terucap dengan baik. Apa maunya pun sudah tersampaikan.
Gardin menyentuh tangan Maura. “Aku nggak akan lancang pada kamu. Tapi ijinkan aku peluk kamu ya Ra. Selama aku di sini, ijinkan aku peluk kamu sesering mungkin, hanya ingin mengingatkan kamu untuk pulang padaku.”
Maura mengangguk menyetujui permintaan Gardin. Dia pun hendak beranjak. Tapi Gardin masih saja memegang tangannya.
“Mulai dari sekarang Ra.” Expresi Gardin begitu penuh harap.
Maura pun tertawa dan mengangguk.
Gardin tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia pun langsung memeluk erat Maura. Kali ini Gardin yang berusaha memberikan kehangatan terbaiknya. “Please come home baby, Let me be your home again!” Pintanya dalam dekapan dengan mata terpejam. Gardin benar-benar menikmati kehangatan yang berusaha ia buat untuk Maura, hanya untuk Maura seorang.
_*.....Bersambung.....*_
Belum ada tanggapan untuk "Janda CEO Bagian 12 (Can I hug You)"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.