Waktunya Pulang
Desember ini merupakan waktu yang riweh buat Gardin. Bayangin aja, dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dia harus melaksanakan banyak kegiatan. Yang pertama, Maura wisuda. Walaupun Maura sangat maklum kalau Gardin nggak bisa hadir, tapi Gardin kekeuh mau hadir. Setiap tahap hidup Maura dia harus ada di dalamnya. Ini sudah menjadi komitmen Gardin pada dirinya sendiri, bahwa dia harus selalu hadir untuk Maura. Baginya kini keluarga yang utama. Ibaratnya nih, kalau Maura minta Gardin untuk pensiun dia juga siap kok, pokoknya dia akan memprioritaskan Maura selalu. Ini merupakan wujud dirinya memperbaiki diri. Nah yang kedua, ini urusan kerjaan. Gardin diharuskan datang ke Texas, berhubungan dengan kerja sama yang dilakukan perusahaannya dengan satu perusahaan energy yang ada di sana. Sudah tiga tahun perusahaannya melakukan kerja sama, dan rencananya kerja sama ini akan berlangsung lima tahun untuk tahap pertama. Apabila kedua belah pihak merasa cukup diuntungkan maka tidak menutup kemungkinan akan ada tahap ke dua. Sebagai konsekwensinya, setiap akhir tahun, Gardin diminta mempresentasikan hasil kerja sama mereka dalam satu tahun terakhir, di depan para direktur, CEO, dan pemegang saham yang ada di sana. Harus Gardin, nggak boleh diwakilkan.
Padahal ya, Gardin tuh pengen banget jemput Maura dan Hiro pulang, membawa mereka kembali ke rumah di Pondok Indah. Kebayang dong repotnya Maura pindahan dari Brisbane ke Jakarta. Tapi apa mau dikata, Gardin harus terbang ke Texas bersamaan dengan Maura yang pulang ke Indonesia. Mau nggak mau nih, Gardin harus mengandalkan dua anak buahnya lagi.
“Atau gimana kalau kamu sama Hiro ikut aku aja ke Texas sayang?” Gardin menawarkan Maura.
“Ribet Gardin, lagi pun visa US ku sudah lama habis Hiro juga belum apply visa. Aku juga masih banyak yang harus diurus. Sudah kamu berangkat sajalah. Aku dan Hiro nggak papa kok.” Maura berusaha menenangkan.
Gardin sedang membantu Maura untuk packing. Kemarin Maura baru saja wisuda. Rencananya, besok siang Gardin akan dijemput Jason dan Denny menggunakan pesawat jet pribadi Gardin untuk terbang ke Texas. Sedangkan Maura, Hiro, Arkan dan Angga akan menggunakan pesawat komersil menuju Jakarta dalam tiga hari ini.
Lucu deh, dari awal perjalanan Jakarta-Brisbane dalam rangka menjemput Gardin, Jason wanti-wanti banget sama Denny, bahwa dia harus pura-pura baru mengenal Arkan dan Angga. Awalnya Denny kebingungan, lha Angga dan Arkan kan sebelum mereka sekolah ke UQ merupakan teman makan siang Denny, kok jadi harus pura-pura baru kenal? Tanpa bertanya lebih jauh alasannya, Denny nurut aja deh, pada saat bertemu Angga dan Arkan juga sepertinya sudah tahu bahwa mereka harus berakting sama.
Denny memang lebih dulu bekerja di Kantor Gardin. Sedangkan Arkan dan Angga memang relative baru, ya kira-kira baru tiga tahunlah sebelum mereka sekolah. Kalau Denny memang sudah hampir lima tahun menjadi asisten pribadi Gardin. In total tujuh tahunan sudah Denny bekerja di Kantor Gardin. Kalau selama ini Maura nggak pernah mengenal Arkan dan Angga ya karena memang mereka dulu ruangan kantornya beda lantai sama Gardin. Mereka kan orang legal, anak buah Jason. Wajar-wajar aja sih Maura dulu nggak pernah bertemu mereka. Maura juga nggak sering-sering amat ke kantor Gardin, dan pegawai kantornya Gardin di Jakarta ada sekitar 800 orang. Masa iya Maura hapal semua. Itu kantor pusat ya, kalau cabang seluruh Indonesia mah totalnya bisa ribuan.
Udah ah, sepertinya too much information. Back to story, Gardin berangkat ke Texas via Gold coast, karena di airport Brisbane pesawatnya nggak dapet tempat untuk parkir. Ya maklumlah, Brisbanekan airport yang sibuk. Karena Maura masih ribet sama urusan pemindah hak usaha kecilnya ke seorang PR Indonesia di waktu yang bersamaan jadi nggak ikut nganter Gardin ke Gold coast deh.
“Sampai ketemu di Jakarta ya?” Gardin memeluk erat Maura. Setelahnya mencium Hiro.
Maura mengangguk mesra. “Hati-hati pak bos. I love you.”
“Kalau cinta jangan lama-lama bikin aku nunggu dong!” Jawab Gardin.
“Ye… sabar pak bos.” Maura masih menggoda.
Arkan, Denny dan Angga sudah bersiap di dalam mobil. Angga dan Arkan akan mengantar ketiganya ke Goldcoast.
“Jalan dulu ya Ra.” Jason pamit.
“Ati-ati ya bang, tolong titip Gardin biar nggak nakal lagi.” Maura tersenyum menggoda.
“Udah kapok kok dia.” Jason menimpali.
Maka berangkatlah kelima lelaki itu meninggalkan Maura dan Hiro. Rencananya Gardin dan team akan menghabiskan total satu minggu dalam perjalanan bisnis mereka kali ini.
Tiga hari berselang giliran Maura, Hiro, Arkan dan Angga yang terbang ke Jakarta. Karena mereka bertugas menjaga dan menemani Hiro dan Maura, maka, Angga dan Arkan kembali mendapatkan pernerbangan bisnis class, sama dengan Maura dan Hiro. Ah benar-benar menyenangkan tugas mereka ini, sekaligus mereka lega karena tugas mereka yang mereka jalani lebih dari dua tahun ini hampir selesai. Terlebih buat Angga karena rencananya tiga bulan lagi ia akan nikah… horeeee…
“Kalian dijemput?” Tanya Maura ketika mereka sudah landing di Soekarno-Hatta.
Arkan dan Angga mengangguk serempak. “Mbak Maura gimana, mau kita anter?”
“Tuh pasukannya Gardin udah nunggu.” Maura menunjuk sekelompok orang yang telah menantinya. Ada Mia, sang sekertaris Gardin, Pak Karim supir keluarga mereka, Ahmad dan Rian dua bodyguard yang sudah cukup Maura kenal. Kalau melihat pemandangan ini, Ya Gardin bangetlah, Maura sangat terbiasa dengan cara Gardin melindungi dirinya seperti sebelum Gardin berpaling ke Lusy. Apalagi sekarang sudah ada Hiro, Gardin pasti makin over protective deh, Maura sudah mempersiapkan mentalnya untuk itu. Hadeuh belum resmi rujuk aja udah kayak begini, gimana kalau udah rujuk?
Angga dan Arkan takjub dengan pemandangan di hadapan mereka.
“Ya udah mbak, kita tetep saling kontak ya.” Pinta Angga. Berniat untuk pamit.
Arkan pun berniat melakukan hal yang sama.
Maura menatap mereka dalam. “Aku kok jadi mellow ya, kita harus tetap saling kontak ya!” pinta Maura. Maura pun tanpa ragu memeluk mereka satu-satu. Mereka sudah seperti adik bagi Maura, bukan lagi sekedar sahabat. Hiro pun sepertinya ikut merasakan kegalauan, dia pun ikut sibuk memeluk dua unclenya itu.
“Pastilah mbak, kitakan udah bikin grup WA dengan nomer Indonesia kita.”
“Undang aku lho ya, nikahan kamu!” PInta Maura pada Angga.
“Ya pastilah!”
“Kamu juga lho Kan, kalau jodoh sama si Indah itu, juga undang aku!”
“Doain ya mbak!” Pinta Arkan. “Mbak Maura juga undang kita makan-makan ya pas rujuk sama bang Gardin!”
Maura tertawa. “Doain aja ya.”
Mereka pun berpisah, nggak enak juga lama-lama prosesi peluk-pelukannya diliatin sama bodyguard dua orang, tampangnya galak-galak. Angga dan Arkan jadi ketakutan. Hehehe.
“Pak Karim, ini alamat rumah saya, saya juga belum pernah ke rumah itu, jadi kita pake google map ya!” Ketika memasuki Alpard milik Gardin, Maura memberikan instruksi pada sang supir.
Kesemuanya terkejut mendengar instruksi itu.
“Lho, kita nggak ke Pondok Indah bu?” Mia kebingungan.
“Lho, sayakan belum rujuk sama Gardin Mi. InshaAllah setelah saya rujuk saya baru kembali tinggal di sana.” Maura menjawab dengan santai. Dia sudah sangat tahu bahwa itu akan menjadi pertanyaan mereka.
“Nanti kalau bapak tanya kami bilang apa bu?” Pak Karim sepertinya ketakutan.
“Ya jawab yang seperti tadi saya sampaikan. Tapi kalau pak Karim bingung, suruh bapak ngomong ke saya langsung ya! Makanya Pak Karim inget-inget jalan ke rumah sayanya, biar kalau bapak nanya Pak Karim bisa anter!”
Dengan negosiasi yang panjang, akhirnya tim sepakat mengantarkan Hiro dan Maura ke perumahan yang terletak di Sumarecon Bekasi. Lokasi yang sama sekali tidak mereka bayangkan sebelumnya. Dari Pondok Indah ke Bekasi man, beda galaksi, bisa dibayangkan dong berapa banyak hutan, danau dan lembah yang harus mereka lalui hingga menuju ke sana. Ini apa sih? Maap banget ya warga Bekasi, aku padamu lho!!
Begitu mereka sampai rumah yang dimaksud, ternyata Pak Mochtar sudah menunggu Maura untuk menyerahkan kunci rumah dan dokumen penting lainnya. Nggak lama bertamu di sana, hanya memperlihatkan kondisi rumah secara keseluruhan, Pak Mochtar pun undur diri. Tanpa diketahui Gardin, Maura memang sudah membeli rumah ini enam bulan sebelum kepulangnnya ke Indonesia. Atas bantuan Pak Mochtar, Maura membeli rumah, dan mengisinya dengan perabotan sesuai cita rasanya. Maura pun juga menyewa designer interior dalam rangka membuat rumahnya menjadi nyaman. Hubungan dengan designer itu melalui email. Semua begitu terencana sehingga begitu dia dan Hiro sampai, semuanya telah siap. Nggak cuma rumah sih, tempat usahanya nanti berupa restorant juga sudah dia beli, bangun, design, dan reasilasikan dengan matang. Semua dilakukan dengan bantuan Pak Mochtar beserta relasinya, dan mereka berhubungan melalui email. Sehingga apa yang dilakukannya sama sekali tidak tercium oleh Gardin. Maura tersenyum puas, sekarang saatnya memnati respon Gardin. Tahu banget Gardin akan merasa kebakaran jenggot karena nggak bisa mengendalikan Maura sesuai yang dia mau. Tanpa mengurangi rasa hormatnya pada sang suami, Maura cuma sekedar memberi tahu Gardin aja kok, bahwa dia yang suah bukan lagi Maura yang lugu. Sekali-kali ngerjain suami, boleh dong.
Empat hari berselang, Gardin datang menghampiri Maura. Maura sudah menantinya dengan senyum yang paling manis. Sudah bisa menduga sih bagaimana reaksi Gardin.
“Kamu apa-apaan sih Ra?” Gardin begitu frustasi. Dia nggak mungkin keras sama Maura, bisa-bisa nanti malah nggak jadi rujuk.
“Aku kenapa?” Maura pura-pura bingung dengan pertanyaan Gardin.
“Kok nggak pulang ke rumah kita?”
“Kan kita belum rujuk sayang. Masa sih aku tinggal di sana.”
Gardin memeluk Maura, dalam posisi berlutut, Mauranya duduk manis soalnya. “Pulang dong sayang, aku ingin kita benar-benar jadi keluarga. Aku kangen kamu, kangen Hiro.” Gardin begitu memohon.
Maura pun membalas pelukan itu, diciumnya kening Gardin. “Aku pasti pulang sayang, seperti yang aku minta ya, kasih aku waktu untuk bikin usaha aku dulu, baru kita rujuk, yang artinya setelah itu ya aku pasti taat padamu.”
“Kenapa harus tinggal sejauh ini Ra?”
“Karena usaha restorantku akan dibuat di sini.”
“Dimana?”
“Nggak jauh dari sini, di jalan Juanda. Lokasinya sangat strategis sayang. Aku sudah membeli dua ruko di wilayah itu.”
“Kapan sih kamu beli rumah ini dan ruko itu?” Gardin heran aja.
“Enam bulan yang lalu. Dibantu sama Pak Mochtar. Tapi aku juga sudah cukup tahu lokasi ini.”
Kok dia bisa nggak tahu ya? Gardin bertanya dalam hati.
“Kenapa, dua anak buah kamu nggak ngasih laporan ke kamu mengenai ini, ya karena memang mereka nggak tahu?”
“Dua anak buah?” Gardin heran.
“Angga dan Arkan lah, kamu fikir aku nggak tahu mereka orang-orang suruhan kamu untuk jaga aku?”
“Ha?” Gardin kaget, terlihat hendak berdalih.
“Ayo, janji nggak mau bohong lagi sama aku.”
Gardin tersenyum malu, modusnya terbaca. “Kok bisa tahu Ra?”
“I know you well baby.”
“Sejak kapan kamu tahu?”
“Sejak awal pastinya. Makanya aku iseng ngerjain kamu sekarang, diam-diam beli rumah ini kamu nggak tahu. Gantian dong, memangnya cuma kamu yang bisa drama.” Maura pun mendelik jahil.
Gardin pun akhirnya bangkit. Bener-bener merasa dipermainkan Maura. Tapi bukan sesuatu yang menyakitkan kok. “Jadi bener nih belum mau pulang ke rumah kita?”
Maura mengangguk mantap.
“Ya udah aku ngalah. Aku ke pak RT dulu ya.” Gardin pun hendak keluar rumah.
“Ha, ngapain?”
“Ngasih photo copy surat nikah kita. Well legally we are marriage. Kalau kamu nggak mau pulang, ya udah, aku yang tinggal di sini.”
“What?” Maura yang kaget sekarang.
“Kamu nggak bisa ngelarang aku, karena secara hukum kamu masih istri aku. Dan aku berhak tinggal sama kamu.” Gardin merasa menang sekarang.
“Religiously we are not marriage anymore.”
Gardin tersenyum. “Jangan khawatir Ra, aku nggak akan lancang, kok. Aku hanya ingin mengingatkan kamu kalau kita ini satu keluarga. Aku akan sabar menanti sampai kita benar-benar rujuk, sementara ini aku akan tidur sama Hiro.” Gardin pun keluar rumah itu menuju rumah pak RT.
“Kamu tahu rumahnya Pak RT dimana?”
“Ntar aku tanya satpam.” Jawab Gardin berlalu.
Maura kebingungan. Lha mau ngerjain Gardin, kok malah dia yang sekarang dikerjain?
Malam harinya kehidupan mulai seperti keluarga seutuhnya. Hiro asik nonton TV, Maura dan Gardin menemaninya di ruangan yang sama.
“Ra, tahu nggak?” Mencoba membuka pembicaraan.
Maura hanya menoleh ke Gardin, menunjukan bahwa ia mempersilahkan Gardin melanjutkan pembicaraannya.
“Aku tuh sudah konsultasi ke banyak ulama tentang status kita. Ternyata menurut mereka talak yang aku berikan ke kamu itu nggak sah lho, karena pada saat itu aku nggak tahu kalau kamu sedang hamil.”
Maura tersenyum, terbaca sih modusnya Gardin. “Jadi?”
“Ya artinya sebenarnya secara agama pun kita nggak pernah bercerai lho.” Gardin bicara agak hati-hati. Sangat mengerti bahwa Maura pun paham maksudnya.
“Coba langsung pada pointnya Pak Gardin?”
Gardin pun malu-malu bicara, “Ya, terserah kamu sih, mengartikannya gimana.”
Maura tersenyum. “Mungkin kamu benar. Kita bisa jadi masih halal satu sama lain. Tapi perkataan dan perbuatan kamu dulu begitu menyakitkan.” Dia tidak lagi bercanda dengan perkataannya.
Gardin sangat tahu dengan hal itu.
“Jadi yang aku maksud dengan rujuk bagi kita adalah kemampuan aku untuk memaafkan atas kejadian yang lalu, dan ikhlas menerima kamu kembali. Dan aku akan merasa kamu bersungguh-sungguh mencintai, menyayangi aku beserta hak dan kewajiban kamu sebagai suami, ketika kamu mengucapkan kembali Ijab Qabul itu.”
Gardin mengerti dengan semua permintaan Maura. “Aku siap kapan pun kalau kamu menginginkan aku mengulang itu semua. Tapi kapan Ra, aku sangat membutuhkan kamu sebagai istri.”
Maura menghela nafas. “Enam bulan dari sekarang ya, bahkan kalau memang usahaku tidak berjalan baik, aku akan menyerah dengan segala ambisiku. Aku akan menepai janjiku untuk bersedia lagi menjadi istri kamu seutuhnya.”
“Bener ya 6 bulan?”
Maura mengangguk. “Tapi kamu doain usahaku sukses ya, jadi aku menjalani janjiku dengan bahagia.”
“Pastilah aku juga pengen kok kamu sukses, aku selalu ingin kamu bahagia bersama aku.”
“Janji ya, walaupun aku sudah jadi istri kamu seutuhnya kamu nggak akan melarang aku menjalani usahaku.”
Gardin mengangguk mantap. “Iya, aku nggak akan melarang kamu sejauh kamu nggak melupakan keluargamu.” Gardin pun berjalan ke kalender yang tergantung di salah satu dinding ruangan itu. dia siap dengan sebuah spidol di tangannya. Menuliskan kata ‘rujuk’ yang begitu besar di bulan Juni.
Melihat itu, Maura hanya tersenyum
Sub section: The cutest Hiro
“Hiro, let’s go to bed. Tonight you sleep with ayah, ok.” Gardin mengajak Hiro tidur.
Hiro pun mengangguk, dengan menggenggam susu botolnya, dia pun memeluk sang bunda yang ada di sampingnya. “Good night bunda, See you tomorrow.” Setelahnya dia pun berjalan menuju sang ayah yang menunggunya di depan pintu kamar.
Gardin dan Hiro pun meninggalkan Maura yang masih di ruang tengah menonton acara malam.
Hari kedua:
“Hari ini Hiro tidur sama bunda ya, bunda kan kangen.” Maura meminta sambil menunjukan wajah manjanya pada sang anak.
Hiro pun mengangguk.
“Lho ayah sama siapa dong?” Gardin nggak mau kalah.
Anak dua tahun itu kebingungan harus memilih. “Ayah jangan sedih ya, besok aku temenin ayah kok.” Bujuknya.
Gardin pun tersenyum. Iseng ah, ngerjain anaknya. “Kita tidur bertiga aja yuk!”
Hiro agak bingung, berdasarkan pengalaman masa lalunya itu tidak pernah terjadi. “Nggak bisa ayah?”
“Why?”
“Tempat tidurnya nggak muat.” Hanya itu yang terlintas dalam fikiran bocah lucu itu.
Hiro pun bangkit dan duduk di pangkuan sang ayah, dia pun mencium kening sang ayah. “Don’t you worry ayah, I will sleep with you tomorrow, ok?” Terlihat sekali anak ini berusaha adil dengan kedua orang tuanya.
So cute, Gardin pun terharu melihat usaha sang anak untuk memperlihatkan keinginannya bahwa ia menyayangi kedua orang tuanya. Gardin pun mengangguk setuju, nggak ingin sang anak terkukung dalam dilemma yang terlalu drama. Kasihan Hiro juga sih.
Maura pun menggandeng Hiro menuju kamarnya.
“Cute.” Maura mengucapkan kata itu penuh haru pada Gardin tanpa suara.
_*....Bersambung.....*_
Belum ada tanggapan untuk "Janda CEO Part 16 (Waktunya Pulang)"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.