*Memberi Bukti Bukan Janji
Akhirnya Pernikahan yang dimaksudpun terlaksana juga. Pelaksanaannya agak unik. Karena diselenggarakan di hari Jumat, pagi hari pukul delapan, jam kerja, dan lokasinya adalah di ruang serba guna kantor Gardin. Pernikahan ini disaksikan oleh seluruh pegawai Gardin yang ada di Jakarta, kepala cabang dari seluruh Indonesia, dan para undangan yang merupakan relasi bisnis Gardin. Restoran Maura ditutup hari ini, karena seluruh pegawainya datang ke acara pernikahan sang bos. Pastinya ada Pak Mochtar jugalah di acara ini. Kira-kira ada seribu orang yang hadir di peristiwa itu. Prosesinya ya pernikahan pada umumnyalah, pengajian, ijab qobul, penyerahan mahar, dan lainnya. Hanya saja tidak ada penanda tanganan surat nikah, karena mereka telah punya surat nikah sejak empat belas tahun yang lalu.
Yang lucu adalah pernikahannya seperti acara halal bi halal kantor, para pegawai salaman kepada pengantin, mengambil makanan dan mereka pun kembali bekerja. Tapi untuk hari ini, para pegawai dipersilahkan mengambil makanan yang tersaji dari pagi hingga jam makan siang nanti, artinya makanan tersedia hingga selesai sholat jumat. Syaratnya kalau mau bawa ke ruangan, jangan pake piring katering ya. Pihak catering menyediakan container untuk dibawa kemanapun kok. Kalau para tamu yang bukan pegawai kantor itu, mereka datang mengikuti prosesi akad, ramah tamah menikmati hidangan dan pulang deh. Yah, pukul sepuluh para tamu di luar pegawai kantor ya sudah pulang lagi, kembali dengan aktivitas mereka. Nggak ada pelaminan, Maura pun nggak memakai make up yang berlebihan layaknya pengantin, hanya selayaknya nyonya rumah menyambut tamu aja. Gardin dan Hiro menggunakan baju koko yang telah disiapkan Maura, senada dengan kebaya Maura. Acaranya terbilang biasa-biasa saja, nggak romantis, nggak mewah, tapi terkesan mingle dan nyaman saja buat semua. Bagaimanapun hari itu merupakan hari yang membahagiakan bagi keduanya. Gardin dari tadi banyak senyum deh menyambut semua orang dengan begitu ramah.
Dalam pidato singkatnya Gardin mengucapkan terima kasih atas segala dukungan para staffnya selama ini. Sedangkan Maura juga memberikan sedikit sambutan untuk meminta para karyawan membantunya menjaga Gardin dari godaan. Ih mulai kelihatan nih posesifnya. Hehehe.
Arkan dan Angga menghampiri Maura dan Hiro diantara banyaknya tamu. Gardin sepertinya sedang menemani relasinya yang lain.
“Selamat ya Mbak.” Arkan dan Angga bergantian memeluk Maura.
Maura pun menerima pelukan hangat dari dua orang yang sudah ia anggap adik itu.
“Makasih ya, tanpa bantuan kalian dan Bang Jason belum tentu nih kami bersatu lagi.” Ucapan terima kasih Maura yang begitu tulus untuk keduanya.
“Such a great honnor mbak.” Jawab Angga.
“Gue sih nggak keberatan sama sekali mbak, jagain elo serasa jagain kakak ipar.” Arkan menimpali.
“Betul-betul.” Angga setuju.
“Wah berarti elo nganggap gue abang nih, kalau Maura kakak ipar?” Tiba-tiba Gardin sudah di samping mereka dan menimpali pembicaraan.
Angga dan Arkan langsung saling pandang.
“Mau lu anggap dia abang? Udahlah selingkuh, nyia-nyiain istri, terus begitu mau balik bikin repot lagi.” Tanya Angga.
“Iya, gue sih ogah.” Jawab Arkan.
Gardin langsung emosi, tahu sih dua anak muda ini bercanda. Dia langsung mengalungkan kedua tangannya pada kedua leher Angga dan Arkan sambil membentuk kondisi membiting layaknya kepiting. “Ayo ngomong lagi, gue bikin nggak nafas sekalian.”
“Ayah jangan!” Hiro yang ketakutan.
Semuanya tertawa melihat Hiro panik.
“Nggak papa kok, Ayah bercanda sayang.” Maura menenangkan Hiro.
Gardin pun melepas keduanya.
“Tuh, Hiro aja pro kita ya.” Arkan pun melakukan hi five pada Hiro.
Merekapun tertawa bersama merayakan bersatunya kembali Gardin dan Maura.
Pukul sepuluh pagi, ketika suasana sudah mulai sepi. Gardin, Maura, Hiro masih duduk manis di salah satu meja bundar yang ada di sana. Gardin dan Maura sedang menemani Hiro yang sedang asik makan es krim, ketika Jason menghampiri mereka.
“Mau sekarang?” Tanyanya pada Gardin.
Gardin sepintas mengamati sekeliling, sepertinya memang sudah tidak ada lagi tamu yang hadir. Tinggal para karyawan yang masih menikmati hidangan. Dia pun mengangguk, kemudian mengajak Maura dan Hiro meninggalkan ruangan itu menuju ruangannya di lantai 25.
Mereka berempatpun naik lift menuju ruangan Gardin. Ketika menuju ruangan, mereka melalui Mia yang sedang ngobrol di mejanya bersama beberapa pegawai perempuan lainnya, sepertinya mereka masih menikmati hidangan yang tersedia di lantai bawah.
“Mi, titip Hiro bentar ya!” Pinta Gardin.
Sepertinya Mia sudah siap sih karena sebelumnya Gardin juga sudah bilang kalau dia akan ada pertemuan serius antara dia dan sang istri juga Jason. Justru Maura yang nggak tahu tentang pertemuan ini.
Gardin pun berlutut bicara pada Hiro. “Ayah sama bunda ada di ruangan itu ya, Hiro di sini sebentar sama tante Mia.” Gardin menunjukan ruang meeting yang transparan di samping mereka, sehingga Hiro pun bisa mengamati mereka.
Hiro mengangguk mengerti.
Mereka bertiga memasuki ruangan meeting. Maura masih bertanya-tanya pertemuan apa sih ini, kok kayaknya serius ya.
Jason pun menelepon seseorang, sepertinya anak buahnya untuk dibawakan dokumen.
Nggak lama, Fendi pun datang dengan map berisi dokumen yang kemudian ia serahkan ke Jason, dan kemudian Fendi pergi lagi meninggalkan mereka kembali ke ruangannya.
Jason kemudian menyerahkan semua dokumen itu ke Gardin.
Gardin pun tersenyum menatap Maura, “Seharusnya aku melakukan ini sejak dulu.” Gardin pun satu-satu memberikan dokumen itu pada Maura. Memintanya membaca pelan-pelan.
Maura pun melakukan apa yang diminta Gardin. Yang pertama adalah saham perusahaan Gardin. Gardin mendapatkan warisan dari sang ayah berupa 65% saham perusahaan ini. Tapi sekarang saham itu sudah berkurang menjadi 60% karena 5% telah dia hibahkan ke Jason. Secara keseluruhan, Gardin memiliki saham 60%, sebuah perusahaan tambang dari Norwegia memiliki 30% saham, selebihnya Pak Mochtar 5% dan Jason 5%. Nah surat yang sedang dibaca Maura saat ini adalah Gardin menghibahkan saham yang dimilikinya dengan: 20% untuk Maura, 30% untuk Hiro, jadi untuk dirinya sendiri sekarang hanya 10% saja. Maura sangat kaget membaca dokumen yang di hadapannya itu.
“Sekarang perusahaan ini perusahaan kita Ra, bukan lagi hanya aku seperti yang dulu kamu katakan.” Gardin memberi keterangan.
Belum selesai, Gardin pun menyerahkan dokumen kedua, yaitu menjelaskan pemindah tanganan beberapa property diantaranya rumah di pondok Indah, beberapa unit apartemen mewah yang terletak di Jakarta, Bali, Bandung, Hongkong, Melbourn, dan Singapore dari nama Gardin menjadi milik Maura. Belum termasuk unit yang di Brisbane ya, kalau itukan memang dari awal sudah atas nama Maura.
Masih belum selesai, Gardin menyerahkan dokumen yang ketiga berupa pindah tangan tabungan pribadi Gardin ke nama Maura, ada beberapa rekening yang disampaikan di sana. Jumlah nolnya itu bikin pingsan makanya Maura cuma berani mengintip.
“Gardin, ini apa-apaan?” Maura menatap Gardin demikian serius. “Ok lah kalau kamu mau semua ini atas nama Hiro, tapi bukan nama aku.”
“Aku mau ngasih tahu kamu kali ini aku serius Ra, aku memasrahkan semuanya sama kamu. Biar kamu aja yang mengelola semua harta pribadi kita. Jadi aku nggak mungkin minta kamu untuk pergi dari hidup aku lagi. Kalau perusahaan tetap aku yang mengelola, tapi artinya aku bekerja untuk kamu dan Hiro. Karena seperti itukan tugas kepala keluarga.”
“Aku nggak mau menerima ini semua. Aku cinta kamu, berikan aku sewajarnya, bukan seperti ini!”
Gardin menggeleng. “Ra, terima dong. Semua ini atas nama kamu agar aku nggak lagi semena-mena terhadap kamu seperti dulu. Tapi aku yakin kamu nggak akan ninggalin aku dengan membawa semua itu kok. Aku juga akan tetap merasakan itu semua.”
“Din, aku nggak mau. Aku mau rumah tangga kita berjalan wajar. Kita saling sayang, saling dukung satu sama lain. Bukan begini.”
“Nggak ada yang berbeda lho. Semuanya wajar-wajar aja. Semua ini agar kejadian lalu nggak terulang lagi. Sudah itu aja kok.”
“Sebesar apa sih keyakinan kamu kalau aku akan selalu setia pada kamu?”
Gardin menggeleng. “Aku cinta kamu. Kalau kamu mau balas dendampun aku pasrah.”
Pertemuan pun berakhir dengan Maura yang begitu kebingungan atas amanah yang begitu besar.
**
Maura menepati janjinya untuk kembali bersedia diboyong ke Pondok Indah. Gardin pun nggak mau menunggu lama, begitu semua acara telah selesai, mereka langsung pulang ke Pondok Indah, nggak ada lagi mampir-mampir ke Bekasi. Gardin bilang semua barang-barang mereka di sana sudah di pindahkan oleh timnya.
Hiro yang kebingungan ketika memasuki rumah mereka di Pondok Indah, Besar banget, semua fasilitas tersedia lengkap. Dia pun terheran-heran dengan banyaknya orang yang ada di sana.
“Halo Mas Hiro. Apa kabar?” Sapa bu Siti. Ini memang pertama kalinya Hiro bertemu dengan Bu Siti. Ia pun tersenyum ramah pada Hiro.
Hiro pun tersenyum, dan mengajak Bu Siti berjabat tangan dengan sopan. Nalurinya berkata bahwa perempuan tua di hadapannya adalah orang yang bisa ia percaya.
Bu Siti pun menggandeng tangan Hiro dan memperkenalkan Hiro dengan staf lainnya yang memang pekerja di rumah itu, ada dua belas orang. Setelahnya Bu Siti meminta ijin pada Gardin dan Maura untuk mengajak Hiro berkeliling rumah.
Gardin pun mengijinkannya. Dia sangat percaya dengan Bu Siti. Kepala rumah tangga yang telah mengabdi pada keluarga itu puluhan tahun lamanya.
Maura dan Gardin pun berjalan ke luar rumah menuju kolam renang, ada sofa tidak jauh di sana, dulu tempat ini merupakan tempat favorit mereka menikmati sore dan weekend bersama. Maura dan Gardin pun duduk di sofa itu, Maura duduk sambil mengamati wilayah sekitar. Nggak ada yang berubah, semua masih sama, nyaman, bersih dan hijau.
“Selamat datang di rumah kamu sayang, aku nebeng ya.” Gardin tersenyum sambil membelai pipi Maura.
“Apaan sih.” Maura menyenderkan kepalanya ke bahu Gardin dengan manja.
“Baru lima belas menit kita ada di sini, rasanya nyaman banget kamu dan Hiro pulang.”
Maura tersenyum mendengar itu, dia masih bergelayut manja pada Gardin.
Lima menit mereka duduk di pinggir kolam renang, Rini salah satu asisten rumah tangga di bawah asuhan Bu Siti menghidangkan dua cangkir teh hangat untuk Gardin dan Maura beserta kue coklat. Maura tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Maura pun mengambil teh yang telah tersedia, dia meminumnya sedikit, berfikir sejenak seperti mengingat sesuatu. “Kayaknya aku kenal deh dengan aroma teh ini.”
Gardin tersenyum. “Kenal bagaimana?”
Begitu teringat dia langsung kaget. “Jangan bilang teh yang tergeletak di meja makan itu dari kamu?”
Gardin pun tersenyum simpul.
“Serius, kamu suruh siapa? Jangan bilang Mia kamu suruh ke Brisbane cuma untuk ngasih aku teh ini?”
Masih nggak mau jawab, masih saja tersenyum.
Maura tertawa sendiri, sambil menggeleng-geleng nggak habis fikir. “Ya ampun itu Arkan sama Angga hal kecil aja sampai ngadu ke kamu ya.”
“Angga dan Arkan nggak ngomong apa-apa kok.”
“Lho kok bisa tahu?”
“Suami itu punya telepati Ra, jadi pasti tahu kalau istrinya yang lagi hamil ngidam sesuatu.” Gardin nggak berani ngomong kalau ada CCTV di rumah itu. Bisa-bisa malah nanti Maura menduga hal-hal yang lain.
Sebenarnya Maura penasaran. Tapi ya sudahlah nggak penting juga. Lagi pengen menikmati suasana romantis dengan suami tersayang ajalah. Dia pun kembali menyenderkan kepalanya ke bahu Gardin. Gardin menerimanya dengan senang hati.
“Sejak kapan sih kamu menginginkan aku kembali, apa sejak kamu tahu aku hamil?” Sebenarnya Maura sudah lama penasaran. Dia pun sekarang menatap sang suami.
Gardin menggeleng. “Aku malah nggak tahu kamu hamil pada saat itu.”
“Oh ya? Kapan tuh. Karena seingatku dulu kamu mantap banget menceraikan aku. Kok tiba-tiba berubah fikiran?”
Gardin tersenyum mencoba mengingat kejadian yang sebenarnya tidak ingin ia ingat. “Kamu ingat saat kita bertemu lagi pertama kalinya sejak kamu meninggalkan rumah ini? Ketika kita membuat kesepakatan kita akan bercerai?”
“Di kantor kamu?” Tanya Maura
Gardin mengangguk. “Saat kamu memeluk aku, dan justru mengucapkan terima kasih telah bersedia hidup bersama kamu. Saat itulah aku merasa aku melakukan kesalahan besar melepas kamu. Nuraniku terusik menyadari mungkin hanya kamu perempuan di dunia ini yang mampu mengucapkan terima kasih demikian tulus ketika dalam keadaan tersakiti.”
Maura terkejut. “Aku sama sekali nggak niat membuat kamu berubah fikiran lho. Aku memang merasa wajib berterima kasih pada kamu.”
“You know what? Itu yang namanya ketulusan Ra, kamu melakukannya tanpa punya indikasi lain. Itu pulalah yang membuat kamu memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain.” Gardin pun mencium kening Maura, dan kemudian mendekapnya dalam pelukan terbaiknya.
“Terima kasih bersedia kembali bersama aku sayang. Aku bahagia bersama kamu.” Maura menikmati pelukan hangat Gardin.
“Aku yang terima kasih sayang, terima kasih mau memaafkan aku, terima kasih untuk mau pulang lagi.”
Keduanya menikmati kehangatan yang saling mereka berikan. Bersantai di sore yang indah, di hari pertama mereka resmi bersatu lagi, kembali dari awal lagi menjalani hidup bersama. Ketika logika berjalan, hati bicara, dan naluri berkata bahwa kamulah belahan jiwa yang Tuhan kirimkan untuk aku menjalani hidup bersama hingga maut memisahkan, apapun kedepannya pasti akan dilalui dengan penuh keikhlasan.
**
end.
Belum ada tanggapan untuk "Janda CEO 19 (End): Memberi Bukti Bukan Janji"
Post a Comment
Dilarang membagikan link judi, pornografi, narkoba, dan kekerasan. Terimakasih.