Home · Parenting · Konseling · Blogging · Tips · Daftar Isi

Masih Adakah Surga Untukku Bagian 10

#Masih Adakah Surga Untukku
#Laila
#Episode_10


Laila terbangun sebelum azan subuh berkumandang. Laila bangkit dan sedikit kaget melihat gaya berpakaiannya. Handuk yang semalam melilit pinggangnya terlepas, tinggallah kemeja putih Tama yang hanya menutupi tubuhnya sampai paha. Untung ia masih berada di dalam selimut tebal Tama.
Laila berjingkat agar tak menimbulkan suara. Dibukanya lemari pakaian Tama pelan-pelan. Lalu dicarinya sarung Tama yang kemarin malam dilihatnya di antara lipatan handuk dan baju tidur. Alhamdulillah, Laila mengucap syukur dalam hati begitu menemukan sarung motif kotak-kotak Tama yang berwarna maroon.
Bergegas Laila mengenakannya. Lalu Laila pun masuk kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus berwudhu. Badannya terasa segar ketika air wudhu membasuh sebagian anggota tubuhnya. Tak butuh waktu lama, Laila pun ke luar dari kamar mandi. Ia menuju ruangan sebelah, dan dilihatnya Tama masih bergelung di atas sofa bed dwi fungsi itu.
Laila mensejajarkan tubuhnya dengan Tama. Seperti pesan Tama kemarin pagi, agar membangunkan laki-laki ini ketika subuh. Laila pun bermaksud untuk membangunkan Tama. Tapi tiba-tiba Laila menjadi ragu. Tangannya yang sudah terangkat untuk menepuk pundak Tama, menggantung di udara.
Mata Laila malah asyik memperhatikan wajah laki-laki di hadapannya ini. Tidurnya terlihat begitu damai. Wajahnya bersih dengan alis tebal dan hidung mancung. Tampan. Satu kata itu yang mampu dikatakan Laila pada suaminya ini. Tiba-tiba Laila ingin menyentuh wajah di hadapannya ini. Tangan Laila kembali terangkat.
"Laila?" mata Tama terbuka lalu mengerjap memandang wajah cantik di hadapannya, yang berjarak begitu dekat dengannya.
"Eh, iya Da. Uda sudah bangun? Sebentar lagi azan subuh Da." Laila tergagap. Wajah cantiknya bersemu merah. Tama tergoda melihatnya. Tapi Laila telah buru-buru berdiri.
"Laila." langkah Laila terhenti ketika tangan Tama meraih jemari tangannya. Dada Laila berdegub kencang. Laila ingin berbalik, tapi ia takut melihat Tama. Takut hatinya tak dapat menahan diri untuk tidak tergoda dan terpesona.

"Makasih, ya." ucap Tama seraya bangkit. Laila mengangguk. Duh, Tuhan kenapa bisa jadi kelu begini ya? Laila merutuki dirinya sendiri. 
"Kamu lucu kayak gini", ujar Tama seraya melirik Laila dengan senyum tertahan. Berkemeja dan berkain sarung.
"Kayak orang mau sunatan," Tama pun akhirnya tak dapat menahan tawanya melihat gaya berpakaian Laila. Laila mengempaskan pegangan tangan Tama. Hatinya kesal sekali melihat Tama menertawakan penderitaannya.

Tama masuk ke kamar mandi masih dengan tawa menggodanya. Laila memilih duduk di pinggir tempat tidur. Sesaat kemudian terdengarlah suara azan berkumandang. Laila bingung mau turun ke bawah. Mukenanya ada di ruang sholat. Tadi sewaktu sholat tahajud, ia lupa membawa mukenanya sekalian. Kalau tadi belum ada penghuni rumah yang bangun. Tapi sekarang, tentu mak eteknya Tama juga udah bangun.
"Ayo, turun. Sholat di bawah." ajak Tama begitu ke luar dari kamar mandi.
"Da, Laila bisa minta tolong ga?" Laila menatap Tama ragu.
"Apa?"
"Bisa tolong ambilkan mukena Laila di ruang sholat? Laila lupa bawanya ke atas."
"Oh, itu di bagian bawah pakaian yang di hanger ada mukena baru. Kamu ambil aja." Tama lalu merapikan rambutnya di depan kaca besar di samping tempat tidurnya.

Laila buru-buru mencari mukena yang dimaksud Tama. Alhamdulillah, hatinya senang begitu menemukan mukena tersebut. Laila membukanya dan membentangkan mukena berwarna biru lembut itu di depan tubuhnya. Motif bordirannya terlihat begitu manis.
"Ini mukena siapa, Da?" tanya Laila yang tiba-tiba merasa heran. Kok tiba-tiba ada mukena di lemari Tama.
"Oh, itu mukena yang dikirim dari Bukit Tinggi kemarin. Yang lainnya sudah dibagikan ke mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla sama Pak Udin. Sengaja Uda sisakan satu untuk kamu."
"Aduh, makasih ya, Da. Mukenanya cantik." Laila terlihat meremas kain mukena yang dipegangnya dan menciumnya dengan sepenuh hati.
"Lebay." ujar Tama seraya berlalu dan ke luar dari kamarnya.

Ih, itu laki-laki kok ga bisa liat orang senang ya. Bukannya menjawab ucapan terima kasih orang, malah bilang lebay. Ck, menyebalkan. Mulut Laila mengerucut kesal. Akhirnya Laila pun turun ke ruang sholat.
****
Tama telah selesai berpakaian dan siap untuk berangkat. Laila terlihat masih malas-malasan di ruang teater Tama. 
"Hei, ayo. Mau ambil baju ga ke toko?" Tama berdiri di pintu penghubung kedua ruangan tersebut. Memakai kemeja berwarna biru pupus dan celana jeans biru tua, Tama terlihat begitu tampan. Laila mengalihkan tatapannya dari Tama. Jangan ... jangan sampai tergoda, bisik hati Laila. Laki-laki itu belum tentu juga akan menyukainya.

"Malas ah, Da. Ga ada baju buat pergi."
"Kamu mau, aku berangkat berdua aja sama Rani?"
"Kalau Uda memang mau begitu, ya silakan aja." Laila menjawab acuh. Ih, Tama gregetan lihat perempuan di sampingnya ini. Kok ga ada ngerti-ngertinya dikasih tahu.

"Ya, udah. Tapi jangan nyesal ya, ntar kami jalan-jalan ke monas, ke mesjid Istiqlal, istana presiden, keliling Jakarta." Tama pun bangkit dan berniat untuk pergi.
"Uda, Laila ikut. Tapi Laila pake baju apa?" Laila bangkit dan menatap Tama dengan bingung.

"Coba Uda tanyain ama mba Susi ya, siapa tau ada baju kamu di ruang setrika." Tama pun ke luar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan tergesa. Segera Tama mencari mba Susi yang ternyata memang sedang berada di ruang setrika. 
"Ada baju Laila sama jilbabnya di sini, Mba?" Tama setengah berbisik pada mba Susi.
"Ada, Pak. Bentar ya." mba Susi pun jongkok dan mengambilkannya di pakaian yang tersusun di keranjang.

"Ini, Pak." 
"Makasih, ya." Tama menerima pakaian Laila yang telah selesai disetrika mba Susi.
"Ternyata Bapak romantis juga, ya." suara mba Susi terdengar pelan tapi Tama masih bisa mendengarnya dengan jelas. Tama hanya tersenyum dan segera berlalu meninggalkan ruang setrika.

Di ruang keluarga, terlihat Rani dan ayahnya telah duduk menunggu Tama. Tama tergesa menaiki anak tangga. sampai di dalam kamar, Tama menyerahkan pakaian yang dibawanya itu pada Laila. Laila menerimanya dengan tatapan tak percaya.  Baik sekali laki-laki ini, mau melakukan hal seperti ini untuknya, bisik hati Laila.
"Makasih, ya Da."
"Ya, jangan dandan lama-lama." Tama beranjak ke ruang sebelah, memberikan kesempatan pada Laila untuk berganti pakaian.
"Gimana mau dandan juga, kosmetik orang di kasih semua ama si Rani," Laila bersungut-sungut. Tama berbalik lagi.
"Ga pake kosmetik juga udah cantik kok." ucap Tama dengan senyum menggoda. Uh, Laila tak ingin merona. Laki-laki kan begitu, suka gombal rutuk hatinya.

Tak berapa lama, Laila pun selesai berpakaian. Laila hanya memakai bedak tabur bayi yang dilihatnya di meja kerja Tama. Lalu Laila pun ke ruang sebelah, ke tempat tama duduk menunggunya.
"Udah selesai." 
"Udah." 
"Ayo." ajak Tama seraya bangkit. Laila mengikuti dari belakang. Mereka menuruni anak tangga berdua. 
"Berangkat sekarang, Da?" tanya Rani begitu melihat Tama turun dengan Laila.
"Ya." jawab Tama pendek.

Laila menuju dapur mencari Mak Eti. Terlihat mak Eti sedang sibuk menggiling bumbu gulai.
"Mak, maaf ya. Laila ga bantu masak hari ini." Mak Eti menoleh dan tersenyum pada Laila.
"Ga pa pa. Bersenang-senanglah," ujar mak Eti tulus. 
"Makasih, Mak. Laila berangkat dulu, ya." pamit Laila.
"Ya, hati-hati di jalan."
"Makasih, Mak." Laila pun berjalan menuju ruang tamu. Terlihat Tama, Rani, dan mak etek Eri telah menunggu di depan pintu masuk.

"Ga ikut sekalian, Mak?" 
"Ga usah, kalian aja. Bawain aja kemeja satu untuk Mamak nanti."
"Ya, Mak. Kami berangkat dulu." pamit Tama. 
"Berangkat ya, Mak." pamit Laila. Mak etek Eri mengangguk dan mengantar mereka sampai ke dekat mobil.

Tama yang telah menggenggam tangan Laila, membukakan pintu mobil untuk Laila.
"Masuklah," ujar Tama lembut. Laila menurut. Perempuan dengan jilbab warna milo itu masuk dan duduk di depan. Rani membuka pintu belakang dan segera duduk di belakang Laila.

Tama telah duduk di belakang stir. Laki-laki itu menoleh pada Laila. 
"Bisa pasang sabuknya?" tanya Tama pada Laila.
"Bisa, Da." jawab Laila lalu memasang sabuknya. Mobil pun mundur dan ke luar dari halaman. terlihat pak Udin berdiri di samping gerbang pagar.

"Berangkat, Pak." pamit Tama pada pak Udin. Pak Udin tersenyum dan mengangguk. Lalu mobil Tama pun ke luar dari perumahan elit itu. Tak berapa lama, kota Jakarta pun terlihat di hadapan mereka. Gedung-gedung tinggi pencakar langit, mall-mall besar dan megah, Laila berdecak kagum dalam hati. Ini untuk pertama kali ia melihat Jakarta. Ternyata benar-benar luar bisa. Mata Laila tak berkedip menyaksikan semua kemegahan di kiri kanan jalan.
"Gini, ya kalau bawa orang kampung ke Jakarta. Sampai ga bisa ngomong lihat gedung-gedung pencakar langit," goda Tama pada Laila. Laila mendelik kesal. 
"Nah, ini bundaran HI. Mau berhenti ga? Mau foto di depan air mancurnya?" goda Tama lagi.
"Iihh ..." Laila dengan kesal mencubit pinggang Tama. Kesal sekali rasanya diolok-olok Tama seperti itu, di depan Rani lagi.

"Aduh, sakit, Laila." Tama mengaduh dan langsung menangkap tangan Laila lalu mendekapnya ke dada. Laila tertegun. Dadanya berdebar tak karuan. Dicobanya menarik tangannya kuat-kuat, tapi Tama menahannya lebih kuat lagi. Laila mendelik kesal pada Tama. Tapi Tama terlihat acuh dan tetap menyetir tenang dengan sebelah tangannya.
"Jadi, Uni Laila baru kali ini juga jalan ke luar melihat Jakarta?" tanya Rani yang merasa risih melihat kemesraan dua orang di depannya ini. Ada yang terasa perih di hati Rani. Dari SMP dulu ia telah menyukai anak bakonya ini. Sampai saat ini, rasa itu tak pernah hilang. Impiannya hanya satu, bersanding dengan laki-laki di depannya ini.
"Uni Laila mana suka ke luar, Ran. Dia wanita rumahan. Wanita idamanlah untuk jadi seorang istri," ujar Tama seraya menoleh pada Laila dengan mesra. Laila menunduk, serius ataupun gombal kata-kata Tama barusan, yang jelas kata-kata iitu telah menghangatkan hati Laila. Tuhan, bolehkah aku meminta, Tama tidak sedang bersandiwara di hadapan Rani? Laila berbisik dan berdoa dalam hati. Lalu bibir indahnya tak dapat menahan senyum. Boleh kah ia merasa bahagia? Beginikah rasanya debar-debar cinta itu?
Uh, cinta? Rasanya belumlah. Laila pun akan menjaga hatinya untuk tidak mencintai laki-laki disampingnya ini, sampai ia yakin jika laki-laki ini juga mencintainya.
"Kenapa sih, senyum-senyum sendiri?" Laila tersadar dan menoleh pada Tama. Tatapan mereka bertemu.
"Minta dicium, ya?" ujar Tama dengan tatapan menggoda.

"Iiihhh, mulai lagi." Laila kembali menyubit pinggang Tama dengan kesal. 
"Kok suka banget ya, nyubit suami." ujar Tama seraya balik mecubit pipi Laila gemes. Wajah Laila makin merona. Sementara wajah Rani yang menyaksikan kedekatan Tama dan Laila pun menjadi merah. Tapi merah karena sakit hati.

Tama kemudian menyetel lagu. Terdengar lagu Naaf mengalun indah.
Akhirnya ku menemukanmu
Saat hati ini mulai meragu
Ku berharap engkaulah
Jawaban segala risau hatiku
Dan biarkan diriku
Mencintaimu hingga ujung usiaku

Jika nanti kusanding dirimu
Miliki aku dengan segala kelemahanku
Dan bila nanti engkau di sampingku
Jangan pernah letih untuk mencintaiku

"Lagu untukmu." ucap Tama seraya menoleh pada Laila.
Mata Laila membulat. Ya ampun, kenapa laki-laki ini makin membuat ia sesak nafas? Laila menghirup udara sebanya-banyaknya agar paru-parunya penuh oleh oksigen. 

Akhirnya mereka sampai di Mangga Dua. Tama mencari tempat parkir. Setelah memarkirkan mobilnya, Tama pun ke luar dan membukakan pintu untuk Laila. Masih menggandeng tangan Laila, Tama pun memasuki Mangga Dua Mall. Tama membawa Laila dan Rani  ke lantai empat, ke toko pakaian wanita miliknya.
Sesampai di depan toko miliknya, karyawan toko Tama langsung menyambut kedatangan Tama dan Laila. Mereka semua telah mengenali Laila istri Tama lewat foto di profil WA Tama. 
"Wah, Uda Tama bawa siapa ni." ujar salah seorang pegawainya.

"Ayo, kenalkan. Ini Uni Laila." Tama memperkenalkan Laila.
Para pegawai yang wanita berebutan menyalami Laila. 
"Ternyata Uni Laila lebih cantik aslinya daripada di foto." celetuk salah seorang pegawai Tama lagi. Laila menyambut uluran tangan gadis-gadis berseragam di depannya dengan tersenyum ramah. Lalu dua orang karyawan laki-laki Tama juga mendekat ingin bersalaman dengan Laila. Laila hanya menangkupkan tangannya ke dada seraya tersenyum dan mengangguk.  Mereka pun membalas dengan sikap yang sama.

"Dan ini Rani, anak Mamak Uda." Tama pun memperkenalkan Rani pada pegawai-pegawainya. Pegawai Tama pun bergantian menyalami Rani.
"Pilihlah mana yang kamu suka Rani." ucap Tama pada Rani. Mata Rani berbinar menatap ke sekeliling toko. Baju-baju hijaber yang modis amat memanjakan matanya. 
"Temani Rani memilih baju yang disukainya ya, Tia, Nia." erintah Tama pada dua orang karyawan wanitanya. 
"Baik, Da." jawab mereka serantak.

"Kamu ada yang suka?" tanya Tama pada Laila. Laila memperhatikan baju-baju yang berjejer cantik di seluruh toko.  Dia merasa bingung, mau yang mana.
"Aku yang pilihin?" tanya Tama. Laila mengangguk.
"M kan?" tanya Tama lagi. Laila kembali mengangguk.

Tama lalu bicara dengan salah seorang pegawai wanitanya. Pegawainya terlihat mengangguk dan segera masuk ke dalam. Tama mengikuti dari belakang. Tapi sesaat kemudian Tama kembali ke arah Laila, ia membawa sebuah kursi untuk Laila.
"Duduklah, nanti capek," Tama melatakkan kursi itu di samping Laila. Laila pun mendudukkan pantatnya dengan suka cita.

"Tunggu bentar ya, aku ambilkan beberapa baju untukmu. Yang di sini bisa untuk hari-hari kamu. Kalau mau yang bagus, nanti kita ke butiq yang di senayan ya." ujar Tama sebelum meninggalkan Laila menuju stok pakaian mereka di belakang meja kasir. Laila kembali mengangguk.
Laila memang tak terlalu hobbi belanja. Selama ini, yang membelikan pakaian dan perlengkapannya adalah kakak-kakaknya. Tak berapa lama, Tama pun kembali dengan dua kantong besar di tangannya. Tama menyerahkan pada karyawan laki-lakinya untuk diletakkan di mobil. Berikutnya Rani juga datang dengan dua kantong besar di kiri dan kanan tangannya. Lebih besar dari kantong yang dibawa Tama tadi. Mata Laila membulat melihatnya. Apa perempuan ini mau merampok, bisik hati Laila.
"Uda, segini boleh ya?" Rani mengangkat kedua kantong di di kiri dan kanan tangannya. Tama menoleh pada Rani. 
"Ya, boleh." jawab Tama santai.
"Makasih, Da." ujar Rani dengan mata berbinar bahagia.

Tama lalu memanggil pegawai-pegawainya. Mereka pun pamit. Laila menyalami kembali satu persatu pegawai-pegawai Tama.
"Nanti, main-main ke sini lagi ya, Uni Laila." ujar Tia dengan riang.
"Iya, insyaAllah. Makasih ya semuanya. Uni pamit dulu." ucap Laila ramah.
"Ya, Uni." jawab mereka serentak.

Tama membawa Laila dan Rani ke lantai tiga. Ke toko pakaian tidur. Tapi itu bukan toko Tama. Di Mangga Dua, Tama hanya memiliki toko pakaian khusus muslimah, toko pakaian laki-laki, dan toko perlengkapan haji dan umrah.
"Wah, ada pengantin baru." pemilik toko yang merupakan teman Tama menyambut kedatangan mereka. 
"Kenalin, ini istri gua, Laila," ujar Tama pada temannya. Teman Tama mengulurkan tangannya pada Laila, Laila kembali menangkupkan tangannya ke dada seraya tersenyum dan mengangguk pada laki-laki di depannya. Teman Tama akhirnya melakukan hal yang sama.

"Ayo, silakan Uni, pilih mana yang Uni suka," teman Tama yang bernama Rio mempersilakan Laila.
"Oh iya, ini Rani, anak om gua." ujar Tama yang lupa memperkenalkan Rani. Rio dan Rani pun bersalaman.

"Rani boleh pilih juga kan, Da?" tanya Rani dengan mata penuh harap.
"Ya, pilih aja," ujar Tama. Pegawai Rio pun datang dan menemani Rani memilih baju tidur.

Laila hanya diam melihat-lihat baju di hadapannya. Tama heran melihat perempuan satu ini. Kok ga seperti perempuan-perempuan lainnya ya, yang bersemangat jika diajak belanja.
"Mau aku pilihin lagi," ujar Tama pada Laila.
"Ya, boleh." jawab Laila seraya mengangguk.
"Tapi jangan salahin aku ya, kalau yang aku pilih yang seksi semua," bisik Tama di telinga Laila.

What? Laila hampir terlonjak karena kaget. Ya ampun, kok laki-laki ini makin berani ya. Ga ... Laila ga mau jika Tama akan memilihkan baju tidur seperti yang dikatakannya itu. Lebih baik Laila memilih sendiri. Akhirnya Laila mengambil tiga buah baju tidur berbahan satin dengan stelan celana panjang dan blous bertangan panjang juga. Ada maroon, dongker dan broken white.
"Udah, Da." ucap Laila seraya menunjukkan pilihannya yang telah terlipat di meja kasir. 
"Cuma segitu?" tanya Tama heran.
"Cukuplah Da, udah bisa tuk ganti-ganti seminggu," jawab Laila santai. Ck, Tama berdecak heran. Benar-benar perempuan aneh. Disuruh milih banyak-banyak malah cuma ngambil tiga.

Akhirnya Tama menghampiri pegawai toko Rio. Terlihat Tama dan pegawai itu ke belakang meja kasir. Laila memilih duduk di kursi yang disediakan oleh Rio. Sementara Rani terlihat masih asyik memilih-milih baju tidur untuknya. Tak berapa lama, Tama ke luar dan menenteng dua kantong besar lagi di tangannya. Tama menyerahkan kantong-kantong itu pada Laila.
"Banyak amat, Da?" Laila menatap kantong-kantong itu dengan heran.
"Ga pa pa, biar ga beli baju tidur satu tahun," jawab Tama santai. Tama baru akan menjuju meja kasir untuk membayar baju-baju tidur yang telah dipilihnya untuk Laila. Tiba-tiba Rani datang dan menunjukkan dua kantong besar di tangannya. 
"Boleh segini, Da?" tanya Rani seperti tadi pada Tama. Tama kembali mengangguk. 
"Ya, boleh, tarok di kasir biar dihitung sekalian," ucap Tama seraya berjalan ke meja kasir.

Di meja kasir, Rio tersenyum menggoda pada Tama. 
"Sebenarnya yang istri kamu yang mana, sih?" tanya Rio dengan tawa jahat pada Tama. Tama meninju bahu Rio dengan kesal.
"Hati-hati bicaramu. Nanti istri aku dengar." ucap Tama kesal. Rio malah  tertawa makin keras.
"Suami takut istri, ya." ledek Rio makin menjadi.
"Ga gua bayar baru tahu rasa lo ya." ancam Tama sadis. 
"Tinggal gua pindahin aja yang di lantai atas ke sini." ujar Rio dengan santai.

Setelah selesai bertransaksi, Tama pun pamit pada Rio. 
"Makasih ya, Bro. Udah borong dagangan gua." teriak Rio dengan riang begitu Tama ke luar dari tokonya. Tama hanya mengangkat jempol tangan kanannya.  Sebelum turun dengan eskalator, Tama berbisik pada Laila.

"Nanti malam pakai baju tidur yang Uda pilihkan tadi ya," Laila menoleh pada Tama dan menatap Tama dengan heran. Apa maksud laki-laki di sampingnya ini? Tapi Laila merinding juga mendengar kata-kata Tama itu. Baju tidur seperti apa yang telah dimasukkan laki-laki itu ke kantong belanjaannya tadi, Laila bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tama yang menerima tatapan bingung dari Laila malah  tersenyum dan mengedipkan matanya menggoda Laila. Wajah Laila pun bersemu merah.
bersambung ....

Eps 1 >> Eps 2 >> Eps 3 >> Eps 4 >> Eps 5 >> Eps 6 >> Eps 7 >> Eps 8 >> Eps 9 >> Eps 10 >> Eps 11 >> Eps 12 >> Eps 13 >> Eps 14 >> Eps 15 >> Eps 16 >> Eps 17 >> Eps 18 >> Eps 19 >> Eps 20 >> Eps 21 >> Eps 22

Artikel keren lainnya:

Ceramah Singkat: Semangat Bekerja Karena Allah SWT

Materi Kultum: Semangat Bekerja Karena Allah SWT

Assalamu ‘Alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Jihad adalah istilah Islam yang memiliki makna beragam. Selain bermakna asli yang cukup beragam dan luas, kata jihad juga telah dipakai berbagai kelompok Islam sepert pada zaman Nabi dan para Sahabat sebagai bentuk perlawanan mati-matian terhadap musuh yang mengancam agama  Islam dan umatnya. Sedemikian tegas dan kerasnya perlawanan yang diberikan umat Islam (atas dorongan ajaran ini) sehingga banyak orang  yang mengartikan jihad sebagai bentuk pengerahan massa, perlawanan sekelompok orang Islam secara emosional. Padahal artinya tidak hanya terbatas pada sikap perlawanan fisik terhadap mereka yang benci kepada Islam, atau hidup dalam rangka menegakkan semangat keislaman.
Ciri-ciri muslim yang berstatus karyawan yang memimiliki semangat jihad a.l.:
1. Memiliki semangat pengabdian kepada Allah:
Ali bin Abi Thalib adalah cermin tauladan bagi para karyawan muslim. Meskipun posisi Ali sebagai ilmuwan terpandang, sebenarnya ia pernah menjadi karyawan seorang wanita Yahudi dengan bekerja sebagai penimba air. Sebagai karyawan upahnya bukanlah dirham tetapi segenggam kurma. Namun pekerjaannya tetap dilaksanakan dengan penuh pengabdian. Fakta ini jelas sebagai bukti sejarah yang menunjukkan betapa pentingnya semangat pengabdian dalam menjalankan tugas-tugas sebagai seorang karyawan muslim.
2.    Memiliki sikap istiqamah dalam bekerja:
Karyawan dalam pandangan Al-Qur’an hendaklah memiliki sikap istiqamah dalam menjalankan amanah yang diberikan kepadanya dari atasannya. Artinya ia tidak gampang goyah dalam melaksanakan tugas meskipun kadangkala ujian hidup atau problem rumah tangga bisa membuatnya gelap mata dan melenceng dari aturan Allah dan melanggar amanah yang diberikan kepadanya. Ujian hidup merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindari oleh siapapun sebab Allah SWT dalam  QS. 2/al-Baqarah : 155 berfirman: “Kami akan mencoba kamu dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang sabar “. Sikap istiqamah merupakan ciri-ciri seorang karyawan yang memiliki semangat jihad yang tinggi.
3.   Berusaha Menegakkan agama Allah dalam kerjanya:
Yakni menjalankan dan mengamalkan sistem yang ditetapkan oleh Islam dalam kerjannya, seperti bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh kejujuran dengan keyakinan bahwa dengan menjalankan tugas secara demikian, akan membuka jalan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT dalam setiap usahanya.
Berupaya Mencapai ridha ilahi:
Yakni apa-apa tugas yang dilaksanakannya dilandasi oleh semangat pengabdian kepada Allah. Jadi bukan sekedar bekerja agar mendapat penghargaan dari manusia atau perhatian khusus dari pimpinan ataupun atasan, melainkan dimaksudkan untuk meraih keridhaan Allah sebagai puncak tertinggi dari segala harapan manusia. Dengan dilandasi upaya meraih ridha ilahi membuat seseorang memiliki daya tahan yang tinggi terhadap berbagai tantangan yang ia hadapi dalam pengelolaan tugas-tugasnya.
Wassalamu ‘Alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh

Artikel keren lainnya:

Mad Jaiz Munfashil: Pengertian dan Contoh

Pengertian Mad Jaiz Munfashil | Contoh Mad Jaiz Munfashil
Secara harfiah mad artinya panjang, jaiz artinya boleh dan munfashil artinya terpisah. Mad jaiz munfashil adalah mad bertemu hamzah pada dua kata. Disebut mad jaiz karena tidak semua ulama ahli qiraat sepakat untuk memanjangkan mad ini lebih dari dua harakat. Disebut munfashil karena terpisahnya antara mad dengan hamzah yang terdapat di kata setelahnya. Panjangnya 4-5 harakat dengan yang lebih utama adalah 4 harakat.
Ahkam Mad
Dalam pembagian mad far'i ada yang dinamakan dengan mad jaiz munfashil. Mad jaiz munfashil berbeda dengan mad wajib muttashil. Letak perbedaannya adalah pada keberadaan hamzah setelah mad. Apabila mad wajib berada pada satu kata sedangkan mad jaiz terdapat pada dua kata.
Contoh mad jaiz munfashil:
كَلَّا إِذَا - إِنِّيْ أَخَافُ – تُوْبُوْا إِلَى اللهِ
Bila diperhatikan lebih seksama ternyata hamzah pada mad jaiz munfashil berbentuk seperti alif. Perlu diingat bahwa tanda alis atau coret panjang bukanlah merupakan bagian dari tanda mad jaiz munfashil. Jadi walaupun tidak ada tanda alis maka jika ada mad bertemu hamzah pada dua kata haruslah dibaca panjang. Terus untuk apa tanda alis tersebut? Tanda tersebut untuk memudahkan para pembaca khususnya yang belum menguasai teori ilmu tajwid.
Contoh mad jaiz munfashil:
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Sekian pemaparan tentang mad jaiz munfashil mulai dari pengertian dan juga contohnya. Semoga bermanfaat! Amin.

Artikel keren lainnya:

Cerpen: Menikah Dengan Syetan Part 3

MENIKAH DENGAN SETAN (Part 3)
Tiga malam berlalu, Halimah berdiri didepan rumah, ia memandangi bulan. 
Rasanya ia ingin sekali berteriak pada bulan untuk menyampaikan rindunya yang teramat dalam pada laki-laki pujaan hatinya, kadang ia diam, kadang ia berpuisi, kadang ia tersenyum, kadang ia menangis.

Halimah Gadis desa itu sedang dimabuk cinta, ia sangat begitu mengharapkan kehadiran Haikal dihadapannya.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam Ayu!” Sahabat dekatnya itu datang mengunjunginya, Ayu adalah putri dari Kepala Desa, ia sahabat dekatnya sejak SMP.
“ya Allah, kamu tau saja sahabatmu ini lagi pusing.”
“Hmm..”Jawabnya dengan bibir menyungging satu keatas.
“Kamu kenapa yu? Malam-malam begini.”
“Halimah, aku sudah tahu kedekatanmu dengan Haikal. Baiknya kamu tinggalkan Haikal.”
“Loh kenapa yu? Mas Haikal sudah melamarku yu, insyaAllah bulan depan kami menikah!” tegasnya.
“Aku hanya khawatir terjadi sesuatu denganmu mah.”
“Kenapa?”
“Baiknya kamu tinggalkan saja dia.”
“Ngga yu, ngga akan.”
“Kalau begitu kamu hati-hati ya.” Jawabnya memperingati seraya meninggalkan Halimah didalam keheningan malam.
Halimah sedikit khawatir dengan ucapan Ayu barusan, hanya saja ia meyakini barang kali Ayu hanya ingin menyampaikan pesan, bahwa keluarganya dengan keluarga Haikal tak semapan, atau mungkin Ayu cemburu.
"Bismillah.” Gusar Halimah dalam hati.
Halimah tak bisa tidur memikirkan sikap Ayu padanya semalam, kenapa wanita itu menyuruh untuk berhati-hati, apa yang akan terjadi jika ia tetap menikah dengan Haikal. 
Halimah bangun dari tidurnya ia berdoa di sepertiga malam memohon keselamatan baginya juga laki-laki yang hendak akan menikahinya.

Pagi hari, aktivitasnya berjalan seperti biasa ia membuat sarapan, membereskan rumah, sholat subuh, lalu berangkat kerja, saat matahari sudah menunjukkan keperkasaannya, ia kembali mengayuh sepeda. 
Hari itu sinar matahari tidak begitu terang, cahayanya tertutupi oleh gumpalan awan Yang terbentui sangat Indah.

Mendung , namun tak Ada tanda-tanda lain Akan turunnya hujan, Halimah terus mengayuh sepeda Tak lupa ia melemparkan senyum pada setiap warga Yang melintas dihadapannya, dan kemudian  seperti biasa  ia akan berjumpa dengan beberapa anak yang bermain di Gedong tua sambil berteriak-teriak
“Setaan..metuu, Setan metuu”(setan keluar, setan keluar).
Seperti biasa ia pun mengusir kerusuhan mereka, ia memandang keatas, melihat gedong tua yang nampak memang tak berpenghuni, rumah itu sangat besar pantas disebut gedong warna putih pada cat dindingnya sudah berubah gelap kecoklatan, pepohonan disekitar rimbun bagaikan hutan yang tak terjamah, dedaunan kering dan sudah  dua musim berlalu menumpuk membuat rumah itu semakin angker dan menakutkan, jika senja tiba kabut akan berkumpul menyelimuti rumah itu dan tak ada satupun yang berani melewati rumahnya, hanya mereka yang menggunakan kendaraan beroda empat saja yang berani melintas didepannya.
Halimah terperangah, ada tirai  yang bergerak disalah satu jendela atas lantai dua, ia sangat kaget dan takut, ia kayuh kembali sepedanya  dan  lanjutkan perjalanannya.
Tak jauh dari sana rantai sepeda ontel miliknya terlepas, ia tak bisa melanjutkan perjalanan.
“Innalillahi.. ada ada saja.”
Tak ada siapa-siapa di jalan perbukitan itu hanya Halimah dan suara-suara burung yang sibuk menyambut pagi.
Ia sibuk membenarkan rantai sepedanya, pelan bulu kuduknya berdiri, keringatnya mengucur suara langkah kaki itu berada persis dibelakangnya.
Halimah pun berdiri dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil menggandeng sepedanya disisi kanan, ia berjalan cepat dan semakin cepat, ia merasa ada yang mengikuti dari belakang.
Tak lama sebuah jeep terlihat dari jauh, mobil jeep yang ia ketahui sering dikendarai oleh calon suaminya Haikal.
“Halimah,,, hai Halimah..”
“Alhamdulillah..” ia bernafas lega.
“Sepeda kamu kenapa mah?” tanya Faisal yang baru saja turun dari mobil, ia mengenakan celana jeans, jake jeans juga kaca mata hitam.
Tiga hari ini Faisal menunjukkan sikap aneh padanya, sejujurnya Halimah merasa sangat terusik dengannya.
“Ayo saya antar..”
“Ngga terimakasih, saya jalan saja.”
“Jauh loh mah, 8 km lagi.. kasian murid-murid kamu nanti.”
Halimah berfikir ada benarnya, lagian tidak ada salahnya ia menolak bantuan Faisal sahabat Haikal.
Faisal menaikkan sepedanya keatas jeep, lalu ia membukakan pintu mobil untuknya, Faisal berusaha bersikap mesra padanya. 
Tubuhnya sedikit condong kedepan.

“Nanti pulangnya saya jemput lagi saja ya Halimah.”
“Tidak perlu mas, dekat pendopo ada bengkel, nanti saya benarkan disana saja.” Jawab Halimah ketus, Faisal pun berlalu meninggalkannya di Surau.
Matahari berdiri sejajar persis diatasnya hari sudah siang, saatnya ia pulang.
Kemalangan satu lagi menimpanya, bengkel langganan tutup, namun tak jauh dari sana ia melihat mobil jeep yang dikendarai Faisal tadi pagi masih menunggunya, rasa sungkan juga risih menghampiri dirinya, laki-laki itu pasti akan keluar dan menawarkan bantuan, Halimah tidak bisa berbuat apa-apa  pelan ia melangkahkan kakinya menuju rumah.
“Halimah.!” teriak Faisal. Benar dugaannya laki-laki itu memanggilnya,
“Ayoo saya antar pulang.” .
Halimah menarik nafas dan dengan segala kertepaksaan yang ada ia pun menerima tawarannya.
Dijalan arah pulang, Halimah terus berdoa. Mulut laki-laki itu terus mengoceh mengajaknya berbicara, ia hanya diam dan mengangguk menjawab pertanyaannya.
Sore hari selepas Ashar, Dasinun pergi mengantarkan jahitan dan dua adik laki-lakinya belum kembali dari aktivitasnya di sekolah, Halimah sendiri ia sibukkan diri dengan membereskan rumah juga mencuci pakaian di belakang.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dari arah depan, Halimah sedikit terperangah, ia bangun dari tempat ia mencuci. “Bue…Sur….Dwi.” tak ada suara yang menyaut, ia berjalan perlahan pintu depannya tertutup, padahal baru saja ia merasakan ada orang yang masuk kedalam rumahnya.
“Halimah..” suara laki-laki datang dari arah yang tak diduga-duga.  Halimah terkejut ia sangat kaget,
“FAISAL!””” Ucap dia geram, ia menarik tirai yang memisahkan dua ruang itu untuk menutupi pakaiannya yang melekat karena basah, kepala masih tertutup rapi dengan hijabnya.
“TIDAK SOPAN KAMU FAISAL, KELUAR KAMU!!” jawab Halimah Murka.
“Relax..Halimah, tidak ada yang tau aku disini, tidak ada yang melihat kita, jadi kita bebas sayang..”
Faisal membuka kancing bajunya satu persatu, dan perlahan mendekat ke arahnya, wajahnya menunjukkan haus yang begitu mendalam.
“BIADAB KAMU..,!” Ia melemparkan beberapa barang ke arahnya, dan berlari kearah keluar untuk meminta pertolongan, ia lihat pintunya tak terkunci ia bisa bebas dari mangsa Setan berwujud manusia itu, Halimah berlari, Faisal menarik tubuhnya yang mungil itu ketubuhnya spontan tangisannya pecah karena takut “TOLONG!!”
Tak lama terdengar suara puluhan warga desa yang menghampiri rumahnya, mereka datang dengan kebencian diwajah mereka.
“HALIMAH…KELUAR KAMU!”, mendengarnya spontan Halimah berlari keluar “TOLONG!!” teriaknya, puluhan warga sudah menunggu didepan rumah, beberapa diantaranya ada yang memegang obor, wanita, laki-laki semua berkumpul disana.
“TOLONG., LAKI-LAKI ITU BERUSAHA INGIN MENODAI SAYA PAK.!” teriak Halimah menjerit ketakutan dan menangis.  
Faisal keluar dengan keadaan pakaian yang terbuka, dengan santainya ia berbicara

“BOHONG!!, kami melakukannya karena kami saling menyukai, Halimah terus menggoda saya, hingga saya khilaf”
“BOHONG! KEJI KAMU FAISAL!” teriaknya memperjelas.
Warga terdiam mempertanyakan kebenaran apa yang baru saja mereka lihat, sebelumnya warga desa digegerkan dengan berita, bahwa Halimah sedang melakukan perzinahan dengan Laki-laki kota dirumahnya, entah dari mana kabar angin tersebut, namun kabarnya sangat membuat murka warga, mereka berduyun-duyun datang kerumahnya untuk memberikan sanksi akan perbuatannya. Seperti yang mereka lakukan sebelum sebelumnya, setiap orang yang ketauan melakukan perzinahan, mereka akan menghukum secara adat warga.
“Jelaskan pada kami Halimah!” teriak suara kepala desa yang baru saja datang bersama ibu.
Halimah berlari ketakutan kearahnya
“Tolong saya pak, saya berbicara jujur laki-laki itu berusaha ingin menodai saya!” ucap Halimah, matanya berkaca-kaca ia memohon.
“Ayu… kamu sahabatku kan.. katakan pada mereka, kalau aku tidak berbohong, yu..”
Ayu yang berdiri sejajar dengan Ayahnya itu memalingkan wajah, ia merogoh tas dan mengeluarkan setumpuk foto lalu memberikannya pada Kepala Desa.
Halimah memperhatikan Ayu, wajahnya membiru Pak Kades bersama warga yang berdiri persis dibelakangnya melihat dengan sungguh-sungguh foto yang diberikan Ayu.
“Pembohong kamu Halimah..!”
“Tidaaak saya tidak berbohong..!” Teriaknya menjerit.
“Lalu ini apa Halimah?” Jawab Pak Kades memberikan setumpuk foto-foto antara dia dengan Faisal.
“Ini Fitnah..Ini Fitnah,… ini tidak benar..!”
Warga yang melihat foto-foto itu naik pitam foto itu adalah foto Halimah bersama Faisal, entah siapa yang mengambil gambar mereka namun yang jelas ini seperti jebakan.
Warga murka, wajah mereka terlihat sangar tidak ada kedamaian diwajah mereka hanya kebencian juga kekerasan,
Mereka menarik tirai yang ia pakai untuk menutupi bajunya yang basah, menampar wajahnya, menjambak hijabnya dan mempermalukan Halimah dihadapan warga, dan Faisal sekejap menghilang, ia tak lagi berada dikerumunan warga.
“Tidaak..tidaak.. saya mohon..!” teriaknya menjerit pedih ia menangis terisak-isak berharap ada satu diatara warganya yang iba padanya, Halimah kacau ia payah hanya Allah saat itu yang sanggup menolongnya.
Warga murka mereka menarik tangannya dan menyeretnya ke jalan, Halimah menjerit-jerit kesakitan.
“Halimaaaah…!” teriak Dasinun yang baru saja kembali mengantarkan jahitan dari desa sebelah.
“Ada apa ini bapak-bapak?” jawab Dasinun melindungi putrinya yang lemah tak berdaya.
“Buee..eeee!” tangisan Halimah pecah dipelukannya, ia sulit bernafas.
“HEI DASINUN!! PUTRIMU TELAH MENCORENG NAMA BAIK KAMPUNG KAMI, IA PANTAS DIHUKUM!!”
“Tenang bapak-bapak apa yang telah Halimah lakukan hingga ia harus diperlakukan seperti ini?”
“PUTRIMU ITU PENZINAH, DASINUN!””
“Nggak..itu nggak benar, putri saya putri baik-baik ia tak mungkin melakukan hal serendah itu.!”
“Kami menyaksikan sendiri Dasinun ia ada didalam bersama laki-laki berselimutkan tirai!”
Dasinun menatap wajah anaknya “Katakan itu tidak benar, nak…katakan pada mereka.”
Halimah menggelengkan kepala, ia menangis sejadi-jadinya, darah di dahinya akibat hantaman keras dari warga mengucur menjadi air mata.
“SAYA SANGAT YAKIN PUTRI SAYA TIDAK MELANGGAR NORMA TUHAN!””
“BAKAR SAJA MEREKA!!””
“BAKAR!”
“TIDAK TOLONG SAYA MOHON..!” Wajah Dasinun memelas ia memohon pengampunan untuk putrinya.
“AHH..!” Bongkahan batu terbang ke arahnya, ia melindungi putrinya, “TIDAAK SAYA MOHON JANGAN..!”” Halimah berteriak, semangatnya mendadak bangkit ia melihat wajah ibunya yang sudah dilumuri darah, ia menangis terisak-isak, semua warga yang mengepungnya melempari mereka dengan batu.
“BERHENTII!!!”” Dua laki-laki itu datang, Dwi juga Sur mereka masih sangat muda, namun dengan sekuat tenaga mereka melawan warga yang berusaha menyakiti ibu dan kakak perempuannya, “HENTIKAN!” teriak mereka, warga melakukan perlawanan begitupun mereka, suasana menjadi semakin mengerikan saat seseorang berteriak
“BAKAR RUMAH MEREKA, BAKAR TEMPAT YANG SUDAH DIJADIKAN SARANG DOSA!”  BAKAAAAR!” teriak mereka, dan beberapa dari mereka melemparkan obor ke arah rumah Halimah,
“TIDAAAK..” Halimah menjerit.. Mereka tak berdaya, mereka terdiam saat melihat rumahnya habis dilahap api, kenangan akan Ayahnya dilahap abis oleh api entah kemalangan apa ini, Halimah menangis sesegukan, Dasinun memeluk ketiga anaknya seraya menangis menguatkan mereka, warga meninggalkan mereka dalam kondisi yang mengenaskan.
Senjapun datang, perlahan Matahari meninggalkan sarangnya, kegelapan mulai menyelimuti mereka, mereka berteduh direruntuhan rumah yang separuhnya sudah habis terbakar.
Halimah masih menangis meratapi nasibnya, tak lama Dasinun ambruk, pandangannya gelap, ia tak bisa melihat apapun ia pingsan, ada pembengkakkan di perut Dasinun akibat benturan batu yang menghujam mereka.
“Kakak Buee!” teriak kedua adiknya. Halimah menghampiri wanita yang tak berdaya itu, “Buee bangun bue.. Bueee..!”
Halimah dan Sur berlari keluar mereka meminta pertolongan pada setiap warga mereka pergi kedua arah yang berbeda, mereka mengetuk setiap pintu untuk meminta bantuan, “Tolong bantu saya..ibu saya sekarat.. Tolong..!” tak satupun diantara mereka yang membukakan pintu untuknya, tolong bantu saya..
“TOLOONG..!” Ia menjerit di heningnya malam. 
Seketika kemurkaan menyelimuti Desa tempat mereka tinggal, tiada pertolongan yang ia dapatkan setelah segala upaya ia cari.

Dari jauh Sur kembali kearah rumahnya, dengan keadaan lesu tak berdaya adiknya itu tak mendapatkan satu bantuan sedikitpun.
Halimah tak patah arang, ia teringat cerita warga desa tentang Gedong tua, rumah angker yang setiap pagi ia lewati, menurut mereka penghuni gedong tua hanya keluar saat malam tiba.
Hari itu sudah malam, kekhawatiran akan Bue nya memberikan semangat pada setiap langkahnya, Halimah terus berjalan memupuk keberanian sedikit demi sedikit menuju ke Gedong tua, ia berharap instingnya benar bahwa penghuni Gedong tua adalah seorang manusia, bukan jin/setan atau jelmaan jin seperti apa yang dikatakan warga desa.
Halimah tiba didepan gerbang rumah yang ia sebut Gedong tua, penampakannya sungguh angker persis 8 meter dibelakangnya adalah jurang kecil perbukitan yang akan membawanya ke desanya jika ia terjun kebawah, Lorong jalan itu tak bercahaya, hanya cahaya rembulan yang tertutup awan malam, jantung Halimah berdetak semakin cepat,biasanya disiang hari gerbang ini tertutup rapat dan terkunci, ia mencoba
“Bismillah.La Haula walaa quwwata Illa Billah"” ucap Halimah, dan benar gerbang itu tak terkunci dan bisa ia buka dengan mudah.
“Ngeeek..!” Suara gerbang sangat nyaring besi pada setiap sudutnya sudah sangat tua dan berkarat, pantas saja warga desa tau kapan Penghuni tempat ini keluar.
Ia masuk dengan perlahan, sekujur tubuhnya berkeringat, air matanya terus mengalir bibirnya terus mengucap Asma Allah dan berdzikir, setiap langkahnya menimbulkan suara dedaunan kering yang ia injak, tak ada cahaya lampu disekitar, tiba-tiba sekelebat cahaya melintas dihadapannya, ia memberanikan diri menatap ruangan di lantai dua itu awalnya menyala, tiba-tiba saja redup, ia yakin cahaya itu bersumber dari sana.
Ia terus melangkahkan kakinya, jarak pintu gerbang dengan muka rumah sekitar 20 meter jauhnya, Lafaz dzikir terus ia bacakan di bibirnya, raja istighfar, shalawat nabi, dan lainnya ia membaca semampu yang ia bisa.
Tiba-tiba “Non..!” Suara laki-laki tua terdengar dari arah belakang, terdengar jelas ditelinga kanan.
Halimah berhenti ia memejamkan mata saking takutnya, tubuhnya mengigil ketakutan.
“Mau kemana Non?” suara itu makin jelas, dan tak lama ia memegang pundak Halimah. Halimah menjerit ketakutan .
“Haaaaaaa, Astagfirullah..Alhamdulillah.” Ia adalah seorang Bapak  berusia kurang lebih 50 tahunan,
“Non mau apa ketempat ini? Tempat ini ngga berpenghuni non.” Jelasnya pada Halimah.
“Saya mau minta tolong pak, ibu saya sedang sekarat dibawah saya mau minta tolong selamatkan ibu saya.”
“Huh” Bapak ini menarik nafas, tidak ada siapa-siapa disini non, non lebih baik pulang saja" kecewa Halimah kembali, bapak itu mengantarnya hingga gerbang dan tak lama.
“Min...Darmin!” Suara wanita yang sebaya dengannya memanggilnya dari jauh, ia berlari ke arah Halimah dan Bapak tua yang baru ia tahu namanya dengan Darmin. Wanita itu membisikkan sesuatu ditelinga Darmin.
“Oh yo wis” Ucap  Darmin.
“Non ayo ikut saya.” Ajak wanita itu. Seketika hati Halimah merasa lega, ia merasa seperti mendapat secercah harapan.
“Monggo masuk Non.”
“Nggih mbok.”
“Non tunggu disini saja, maaf ya Non tak ada lampu dirumah ini.” 
Wanita yang ia sapa mbok itu pergi, lalu ia kembali lagi dengan membawa dua buah lilin kemudian ia pasangkan didekat Halimah.
Halimah duduk diatas lantai yang terbuat dari kayu, beberapa lukisan juga pajangan keramik bisa ia lihat setelah lilin itu dinyalakan, sejenak hatinya merasa lega, namun setelah si mbok pergi meninggalkannya sendiri, Jantungnya kembali berderu, berdetak cepat seperti ingin keluar dari tempatnya.
“Ada perlu apa kamu kesini?” Tanya seorang laki-laki yang ia tak tau dari mana arahnya.
Halimah terperangah ia bingung menjawab, ia tak tahu dengan siapa ia bicara saat ini, tak ada wajah yang bisa ia lihat hanya suara, suara yang begitu tebal dan jelas.
“KAMU TULI!” Lanjutnya kesal, Halimah belum menjawab pertanyaannya.
“Maafkan saya..saya mohon maaf jika kedatangan saya menganggu, saya membutuhkan bantuan anda saat ini, ibu saya sedang sekarat tidak ada satupun yang mau membantu saya, saya mohon, mohon dengan sangat.”
Halimah memohon seraya menangis, tangisannya pecah badannya menunduk memohon.
Laki-laki itu terdiam, “Pak Darmin!” Ia berteriak memanggil bapak tua yang baru saja ia tahu namanya.
“Iya den.” Darmin berlari dan menghampirnya.
“Bantu dia” jawabnya dan tak lama suara itupun menghilang.
“Nggih den.”
“Terimakasih, terimakasih, terimakasih.” Halimah terisak.
Tak lama kemudian Darmin mengeluarkan sebuah mobil jeep dari garasi belakang, benar apa yang ia pikirkan didalam rumah ini ada kehidupan, Halimah dan Darmin pun beranjak pergi, dan melaju menuju Desanya tempat dimana ibunya sekarat dan kedua adiknya gelisah menunggu kedatangannya.
Darmin membawa mobil dengan sangat cepat, tak lama Dasinun juga kedua adiknya berangkat bersama dengannya ke Rumah Sakit.
Dasinun selamat, pertolongan untuknya tidak terlambat Halimah datang sebelum pendarahannya semakin menjadi, Dasinun di rawat di UGD Rumah Sakit Sayidiman, Halimah bersyukur setidaknya malam ini ia dan keluarganya bisa selamat dari amukan massa yang tak mengenal arti fitnah, ia sangat menyayangkan mereka yang rajin bershalawat, mereka yang rajin pergi ke surau, mereka yang memiliki putri, mereka yang memiliki istri bisa menjadi teramat keji hanya karena sebuah tuduhan yang tidak bedasar yang dituduhkan untuknya, hari ini ia diselamatkan Allah, namun ia yakin suatu saat Allah akan membalas perbuatan mereka dengan siksaan yang lebih keji dari apa yang telah ia dapatkan hari ini.
#bersambung

Artikel keren lainnya:

Pantun Tentang Ilmu dan Pendidikan

Pantun tentang menuntut ilmu | Pantun tentang pendidikan
Pendidikan sangatlah penting bagi kehidupan seseorang. Karena begitu pentingnya, maka semua orang berkewajiban untuk menuntut ilmu. Negara dan Agama pun memerintahkan untuk senantiasa belajar.
Pendidikan
Kumpulan pantun tentang pentingnya menuntut ilmu, pentingnya belajar dan urgensi pendidikan dalam kehidupan manusia:

Ikan asin dengan kuah
Ikan bawal ada dua
Rajin-rajinlah bersekolah
Jadi bekal ketika tua

Harimau belang turun sekawan
Mati ditikam si Janda balu
Ilmu akhirat tuntutlah tuan
Barulah sempurna segala fardu

Dua Mei hari Pendidikan Nasional
Hari lahir Ki Hajar Dewantara
Jika orang tidak berpendidikan
Seumur hidup akan sengsara

Ramai orang menggali perigi
Ambil buluh lalu diikat
Ilmu dicari tak akan rugi
Buat bekal dunia akhirat

Kemumu di dalam semak
Jatuh sehelai selarasnya
Meski ilmu setinggi tegak
Tidak sembahyang apa gunanya

Kalau menyangkal petuah ibu
Hidup sesat dunia akhirat
Kalau beramal tidak berilmu
Pikiran tumpat pahala tak dapat

Kait-kait di padang temu
Terap ditimbun di ujung galah
Baik-baik berpegang pada ilmu
Harapkan ampun pada Allah

Temu itu banyak warnanya
Ada yang putih ada yang biru
Ilmu itu banyak gunanya
Tiada boleh orang menggaru

Dari kecil nak cincilak padi
Sudah besar cincilak padang
Dari kecil nak duduk mengaji
Sudah besar tegak sembahyang

Sabtu Minggu bekerja bakti
Bersih tempat kampung halaman
Bagi kamu yang suka ngaji
Ada tempat di sisi Tuhan

Harimau belang turun sekawan
Mati ditikam si janda balu
Ilmu akhirat tuntutlah tuan
Barulah sempurna segala fardu

Elok langkah karena pedoman
Elok laku karena beramal
Elok manusia karena beriman
Elok ilmu karena beramal

Saya pergi beli tembaga
Saya pakai untuk merekatkan parang
Apabila ingin masuk surga
Sering-sering mengaji dan sembahyang

Dari kecil menanam biji
Saat besar jadi pohonan
Sejak kecil rajin mengaji
Makin teguhlah dalam beriman

Elok adat karena dikaji
Elok kaji karena sunnah
Elok ummat karena berbudi
Elok berbudi karena lillah

Elok budi karena ikhlas
Elok kerja karena niat
Elok kaji karena dibahas
Elok manusia karena syariat

Parang ditetak kebatang sena
Belah buluh taruhlah temu
Barang dikerja takkan sempurna
Bila tak penuh menaruh ilmu

Kehulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian

Berburu kepadang datar
Dapatkan rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Bagaikan bunga kembang tak jadi

Kemuning ditengah balai
Bertumbuh terus semakin tinggi
Berunding dengan orang tak pandai
Bagaikan alu pencungkil duri

Kehulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian

Usaha itu adalah ikhtiar
Kalau ikthiar jangan ragu
Apa tugas seorang pelajar
Tugasnya menuntut ilmu

Ke stasiun naik kereta api
Naik kereta api ke Kota Surabaya
Belajar itu sebagai akarnya
Ilmu itu sebagai buahnya

Pahit itu ramuan jamu
Rasa pahitnya tak jemu-jemu
Bergiatlah dalam menuntut ilmu
Agar jadi orang yang berguna

Pagi hari menanam tebu
Tebunya ditanam di tanah lapang
Ayo semangat menuntut ilmu
Agar masa depan lebih gemilang

Matahari terbit diwaktu fajar
Sinarnya menembus awan
Siapa yang suka belajar
Akan jadi orang sukses kemudian

Badan lelah habis berburu
Tidak berjumpa tidak bertemu
Murid itu harus hormati guru
Karena guru sumbernya ilmu

Burung irian burung cendrawasih
Cukup sekian dan terima kasih

Artikel keren lainnya:

Pengertian Wawangsalan Bahasa Sunda Dan Contohnya

Pengertian Wawangsalan Dalam Bahasa Sunda Dan Contohnya
Wawangsalan adalah sisindiran yang terdiri dari sindir dan isi. Biasanya wawangsalan terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama berisi soal dan pada kalimat yang kedua terdapat klu yang mengarah ke jawabannya. Contoh wawangsalan:
Lauk rebing saba laut
Kari-kari jalir jangji (pari)
Kalimat pertama merupakan soal yang bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia “Ikan lebar yang berkeliaran di laut”. Para sobat tahu kan ikan yang lebar? Yaps, jawabannya ikan pari. Nah pada kalimat kedua harus ada suku kata yang sama atau mendekati jawabannya. adapun klu pada contoh di atas adalah kata “kari-kari” yang mendekati “pari”.


Kumpulan contoh wawangsalan bahasa Sunda:

Abdi mah caruluk Arab
henteu tarima téh teuing (korma)

Abdi téh sok ngembang kawung
inggis teu ngareunah teuing (pengis)

Ajag lembur Indramayu
naha bet kalangsu teuing (asu)

Alun-alun paleuweungan
gagal temen mun teu jadi (tegal)

Anak munding masih nyusu
aduh endén buah ati (énéng)

Angeun somah pakampungan
kajeun bedo ti kamari (bodo)

Aringgis sok nyatang bolang
kapongpongan siang wengi (lompong)

Awi ngora téh jaradi
temah matak jadi liwung (iwung)

Aya mesin bisa ngapung
kapidara diri abdi kapal (udara)

Baku sok ngalebu badag
reueus keur sareng jeung istri (areng)

Bango héjo hérang jangjang
piraku engkang ka abdi (merak)

Baréto gé batur pirus
juragan geuning pelekik (akik)

Béas ditutuan deui
iraha atuh patepung (tipung)

Bedog urang Darmaraja
kawantu abdi mah miskin (sekin)

Bendi panjang roda opat
ulah kalah ka Carita (kareta)

Bedug wedalan Eropa
abdi teu asa dipuji (tanji)

Biasa ngadodol gula
abdi henteu dipaduli (gulali)

Bibika tipung tarigu
ku engkang tacan kaharti (roti)

Careuh beureum pasawahan
nu dusun leuwih ti misti (lasun)

Catetan bulan jeung taun
juragan ménak utami (almenak)

Cék lémék Jawa sumuhun
hayang téh ulah kapanggih (enggih)

Cisusu kentel dimasak
ulah téga-téga teuing (mantéga)

Dadampar di pagulingan
alim ka nu kirang surti (kasur)

Daun kasap kosok méja
tobat ulah nolas teuing (hampelas)

Désémber tangtu ditéma
geulisna lir widadari (Janwari)

Di Cikajang aya gunung
asa paturay jasmani (Cikuray)

Dudukuy panjang gagangna
pikir bati ngalanglayung (payung)

Ékék lembut pupuntiran
tingsérédét kana ati (cécéndét)

Engkang téh ngajukut laut
seger mun tepung jeung nyai (ager)

Gamparan mah sangu atah
keur ménak kawuwuh sugih (gigih)

Gedong luhur panénjoan
narah keur saheulaanan (munara)

Gedong ngambang tengah laut
ulah kapalang nya béla. (kapal)

Hayam cempa lalayaran
matak teuing nyeri ati (meri)

Hui bulu réa akar
bongan sok rayungan teuing (kamayung)

Imah ngambang di sagara
ulah kapalang nya bela (kapal)

Insuting ngadaun luhur
ari ras ka diri abdi (kararas)

Jagong tuhur beunang ngunun
dunungan bagéa sumping (emping)

Jampana bugang dadakan
panasaran diri kuring (pasaran)

Kacang panjang disayuran
bati ngageremet ati (gemet)

Kacang jangkung leutik daun
engkang mah satria raris (hiris)

Kadeuleu langir caina
kayap-keyep anu geulis (keuyeup)

Kalong leutik saba gedang
sumedot rasaning ati (cocodot)

Kebon paré dicaian
siwah niat jalir jangji (sawah)

Kembang bodas buah bunder
ngaheruk nya pipikiran (jeruk)

Kendang gedé pakauman
dagdigdug rasaning ati (bedug)

Ketuk leutik panayagan
ka abdi mah ningnang teuing (bonang)

Koja awi dihuaan sageuy
lamun teu kasorang (korang)

Kota kuloneun Lampegan
purah-purah tunggu bumi (suka bumi)

Laleur hideung panyeureudan
ngilari sakolong langit (reungit)

Lamun kapalupuh nangtung
lamun jadi kapimilik (bilik)

Langgir cai leumpang ngijing
kadeuleu kayap-keyepna (keuyeup)

Manuk hawuk beureum suku
katingal keur imut leutik (galatik)

Manuk lisung anu jalu
dagoan di pasampangan (jago)

Manuk tukung saba gunung
uyuhan daék ka abdi (puyuh)

Méga beureum surupna geus burit
ngalanglayun panas pipikiran (layung)

Mencek leutik saba alas
abdi daék ngaréncangan (peucang)

Monyét hideung sisi leuweung
susah nu taya tungtungna (lutung)

Mun jagan kadadar tipung
upami kagungan rabi (surabi)

Nu dahar taya sésanangan
asa dipoyok badis (ledis)

Nu nutu miceun huutna
mun awon moal ditampi (napi)

Nya hujan taya eureuna
abdi mah kalangkung ajrih (ngijih)

Nyiar paré tutukeuran
teu pantes hayang ka abdi (nguyang)

Nyiruan genténg cangkéngna
masing mindeng pulang anting (papanting)

Péso pangot ninggang lontar
acan katuliskeun diri (nulis)

Péso raut Cibarusa
sugan welas ka nu miskin (sekin)

Teu beunang dirangkong kolong
teu beunang dipikahayang (hayam)

Teu beunang disihung tipung
teu beunang dipapagonan (sasagon)

Teu beunang disitu lembur
teu beunang diulah-ulah (kulah)

Sangrayan peupeus meueusan
ulah jadi rengat galih (rengat)

Teu beunang dipiring leutik
teu beunang dipikaisin (pisin)

Teu beunang diopak kembung
teu beunang dientong-entong (kolontong)

Teu beunang disupa dulang
teu beunang dibébénjokeun (kéjo)

Teu beunang ditihang pondok
teu beunang dideudeuleukeun (deudeul)

Teu beunang diwaru leuweung
teu beunang diboro-boro (bisoro)

Walanda hideung soldadu
umambon engkang ka nyai urang (Ambon)

Artikel keren lainnya: